Sederhana di Santa Clara

Yah, sama halnya dengan PPIC berencana, mesin rusak menentukan, maka perjalanan #KelilingKAJ menjadi tidak sesederhana perencanaannya. Nyatanya, hingga saat tulisan ini belum turun, pencapaian #KelilingKAJ hanya sepertiga saja. Dan, uhuk, umat seiman yang menyapa saya masih hanya sebiji di Jalan Malang saja. Tanya kenapa? Heuheu.

Salah satu kesimpulan sementara saya pada perjalanan #KelilingKAJ adalah bahwa hidup menjadi orang Katolik di Jakarta itu mudah. Parameter utama adalah kalau mau ke Gereja, bisa dilakoni dengan sangat mudah. Kurang mudah apa ketika naik TransJakarta PGC-Harmoni, kita sudah cukup dekat dengan Gereja Cililitan, Bidara Cina (depan halte persis), Matraman (ini juga!), Kramat (tidak jauh-jauh amat dari halte), Kapel RS Carolus (cukup dekat dengan halte), Katedral (lumayan berkeringat untuk jalan kaki dari Juanda), hingga Kemakmuran yang tidak jauh dari Harmoni. Sungguhpun tidak ada alasan–menurut saya–bagi orang Katolik di Jakarta untuk tidak ke Gereja.

Tapi itu di Jakarta.


Tidak jauh benar dari Jakarta ada sekelompok umat Katolik yang sedang berjuang untuk memiliki Gereja. Sudah dapat IMB, tapi demo dan kekuatan-kekuatan lain pada akhirnya membuat IMB yang seharusnya Ijin Mendirikan Bangunan menjadi Ijin Masihlah Buntu. Yes, mereka adalah teman-teman di Paroki Santa Clara, Bekasi Utara.

Sejauh saya berkeliling, agaknya baru di Clara ini yang Pastornya dari Kapusin. Sebagai mantan umat Keusukupan Padang yang Bapak Uskupnya begitu awet sejak saya masih unyu sampai sekarang kunyuk begini, tentu Imam-Imam Kapusin bukanlah hal yang aneh. Hanya agak jarang saya temukan selama putar-putar KAJ.

Memang demikian adanya, pada tahun 1995, dua pastor Kapusin yakni Pastor Thomas S. Saragi dan Pastor Albert Pandiangan tiba di Jakarta dan memulai karya di Bekasi Utara, tepatnya dari sebuah rumah kontrakan di Perumahan Taman Wisma Asri. Adapun wilayahnya adalah dibagi dari Paroki Kranji dan Paroki Arnoldus, dua Paroki yang sudah cukup mapan dengan dua sekolah Katolik di sekitarnya. Adapun unuk administrasi sendiri, Stasi Santa Clara telah memulainya sejak awal 1996.

Bayangkan, kurang lebih sebelas tahun menjadi mandiri, hingga kini Paroki Santa Clara masih berupaya dapat membangun gedung Gereja. IMB sih dapat, tapi ya itu. Ah, sudahlah.

Salah satu tempat untuk beribadah yang digunakan oleh umat Paroki Santa Clara adalah di kapel Wisma Asri, letaknya tidak jauh-jauh benar dari Perumahan Mutiara Gading, Bekasi Utara. Namanya kapel, ya kecil. Sudahlah kecil, tempatnya sebelah menyebelah dengan Gereja lainnya. Maka, kalau melihat jadwal misa di tempat itu pasti heran karena tidak ada misa pukul 07.00, 08.00, apalagi 10.00 dan 11.00. Adanya enam pagi, empat sore, dan enam sore, untuk di hari Minggu.

Mungkin menjadi umat Paroki Santa Clara berarti harus bersiap misa di bawah lindungan langit belaka. Tapi lucunya, ketika saya di kapel itu, masih banyak tempat kosong di bagian dalam atawa depan, tetapi ketika saya melihat ke belakang, pengguna kursi plastik luber sampai jauh, semacam Bengawan Oslo, eh, Solo. Parkir mobil atau sepeda motor tentu jangan bandingkan dengan Mangga Besar yang sirkulasinya optimal, apalagi dengan Bojong Indah yang luas halamannya. Ada lapangan bola yang bisa dan biasa digunakan untuk parkir. Jangan pula ngimpi ada tempat parkir beratap semisal di Paskalis atau Matraman. Langit adalah atap ketika misa, maka langit adalah atap ketika parkir sepeda motor.

Pastor dan rombongan datang dari sebelah mana? Dari lantai 2. Lektornya di sebelah mana? Ada sebuah sudut, bersempit ria dengan koor. Bahkan ruang sound system–yang di Kapel Kedoya begitu indahnya–untuk di Santa Clara ini adalah sebuah tempat berpartisi dengan luas ruangan kurang lebih 1 meter persegi.

Menjadi menarik karena ini adalah Bekasi Utara. Bekasi–bagaimanapun–adalah tempat pemukiman bertumbuh. Segambreng perumahan dibangun di area milik Santa Clara, mulai dari yang mudah diangsur maupun yang untuk mengangsurnya butuh ikhtiar, ikhitsar, dan hutang nan sangat besar. Menarik karena anak-anak bertumbuh kembang dalam keadaan Gereja nan panas, yang beda sekali dengan Gereja lain di KAJ yang bahkan bisa bikin saya pakai jaket sepanjang misa.

Tapi ya bagaimana, itu kan pilihan? Dan kalau dipikir-pikir, Santa Clara yang mungil dan sederhana itu mungkin tampak lain dari perspektif ketika saya menulis posting ini dari kota Serang. Ingat, Gereja Katolik dari Merak-Cilegon-Serang ya hanya 1 yang dekat mesjid agung. Menjadi orang beragama di Indonesia memang bukan sekadar keharusan daripada dicap murtad, tapi butuh seni untuk menjalaninya.

Salam #KelilingKAJ!

One thought on “Sederhana di Santa Clara”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.