Sesudah beberapa pekan sepi karena banyak hal, maka perjalanan #KelilingKAJ kembali dimulai persis pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus alias harinya komuni pertama. Tenang saja, saya tidak dalam posisi ngeh melakukan #KelilingKAJ pada saat komuni pertama. Cuma kok pas sampai Gereja, banyak anak dengan baju putih-putih, baru sadar. Sadar kalau misanya bakal lama, maksudnya.
TKP #KelilingKAJ kali ini sebenarnya sudah saya incar dari dulu karena keunikannya, baru sempat setelah saya melihat Google Street terlebih dahulu dan jalannya diketahui dengan pasti. Kenapa begitu? Nanti pasti tahu, deh, soalnya #KelilingKAJ kali ini melangkah ke Gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio.
Dimana itu?
Untuk mencapai Gereja Toasebio ini, halte TransJakarta terdekat adalah Halte Glodok. Dari halte, keluar ke arah gedung yang baru dibangun, lantas berjalan sampai kelihatan JNE dan sebuah jalan berpagar hitam. Dari situ jalan saja dan ikuti petunjuk yang sangat membantu, yakni adanya papan petunjuk sekolah Ricci. Nanti akan sampai di Vihara, dari situ belok kiri lalu ikuti saja jalan yang ada dan nanti di sebelah kanan akan tampak sekolah Ricci nan megah. Gereja Toasebio ini berada persis di sebelah sekolah Ricci. Sekilas pandang, tidak jauh berbeda dengan Vihara karena sebenarnya letak keduanya boleh dibilang belakang-belakangan.
Nah, untuk membahas Gereja Toasebio ini, sebenarnya dari dulu saya sudah survei di website santamariadefatima.org. Apa daya, ketika saya buka, katanya domainnya expired. Dibuka lagi, eh, account suspended. Ehehehe, mungkin karena lomba dari KAJ sudah selesai, atau karena kebetulan belaka. Jadi, saya kehilangan informasi yang dulu sudah pernah saya baca, utamanya tentang sejarah dari Gereja Toasebio. Akhirnya saya masuk ke Sketsa Petjinan sebagai sumber informasi.
Secara gedung, Gereja Toasebio ini boleh dibilang sebagai bangunan Gereja tertua di Jakarta soalnya sudah dibangun abad 19. Namun waktu itu masih milik keluarga Tjioe dan baru dibeli oleh Gereja sekitar tahun 1950, serta digunakan untuk Gereja pada 1955. Bahkan katanya tabernakel–yang berwarna emas dan merah itu–adalah bekas tempat penghormatan nenek moyang keluarga ini. Arsitekturnya yang khas Fukien (Tiongkok Selatan) kemudian menjadikannya sebagai cagar budaya sejak 1972. Menjadi cagar budaya memang bermakna ganda, diakui pemerintah sih iya, namun tidak bisa diapa-apakan. Atau bisa, tapi harus ijin. Mirip kasus Matraman, sudah cagar budaya, tapi renovasinya disesuaikan. Kalau Gereja Bukittinggi itu juga cagar budaya, tapi nggak perlu direnovasi karena umatnya juga nggak bludak-bludak banget, wong anak-anak sana kalau sudah SMA atau kuliah pasti cabut ke Jakarta dan nggak balik-balik lagi. #Uhuk.
Oya, niatan awal kenapa sampai perlu tanah adalah untuk mendirikan Gereja, sekolah, hingga asrama orang-orang Hoakiau alias Tionghoa Perantauan. Kalau sadar, nama Ricci pada sekolahan itu nggak main-main. Orang Katolik yang ngerti, pasti tahu nama Matteo Ricci seorang imam Jesuit yang menyebarkan Katolik di daratan Tiongkok. Masuk ke Gereja ini pada awalnya tidak ngerasa Gereja karena nuansanya memang sangat pecinan bahkan ada dua patung singa di bagian depan Gereja, ornamen merah dan emas juga memenuhi bangunan yang kalau saya lihat-lihat bahkan tampak lebih kecil dibandingkan kapel Kolese Kanisius, dan tentu jangan bandingkan dengan eks pabrik di Mangga Besar. Jadi, ini adalah bentuk inkulturasi dengan budaya karena memang Gereja ini terletak di chinatown-nya Jakarta. Maka memang profil umatnya tidak jauh beda dengan Mangga Besar dan Kemakmuran, dua Gereja terdekat dengan Toasebio. Ada Cideng juga, sih, tapi belum nemu jalan kesana.
Begitu misa hampir dimulai, saya agak kaget karena Pastornya semacam tidak asing. Logika mulai bermain, Toasebio ini kan boleh dibilang daerah kental Tionghoa, dan salah satu yang punya concern di bagian itu adalah imam-imam SX. Kenapa? Yah, lihat saja sejarah hidup Santo Fransiskus Xaverius. Saya lumayan ngerti karena itu kan pelindung sekolah saya dulu. Karena SX, jadi wajar bahwa saya tidak asing. Lha, wong Pastor Jonas itu pernah tugas sekejap di Bukittinggi, kok. Pas saya pulang, dan pas waktu itu lektornya nggak ada, Pastornya keluar sakristi, lalu minta tolong ke umat buat jadi lektor. Bukittinggi mah memang gitu.
Walau bangunan tua (banget), tapi tentu saja Gereja Toasebio tidak lepas dari modernisasi. Saya sendiri tidak melihat ada mikrofon di altar, namun suara Pastornya jelas sekali. Kemudian di bagian atas altar dan tengah Gereja ada kamera yang semacam CCTV, jadi tidak butuh tukang syuting, wong kameranya sudah ada dan menetap. LCD juga ada, ditempatkan kira-kira di atas Yesus dan Bunda Maria. AC? Tentu saja ada, dan mungkin memang secara modal tidak sebesar kalau mau pasang AC di Pasar Minggu, misalnya.
Satu hal yang unik dari komuni pertama di Toasebio adalah bareng-bareng orangtua. Saya jadi trenyuh dan haru melihat bocah bawa lilin, diapit orangtua untuk nanti komuni pertama. Bagaimanapun komuni pertama adalah awal mula karier saya di dunia perlektoran yang sudah merambah beberapa kota dan Gereja serta kapel itu. Hal menarik lainnya adalah untuk kolekte kedua minggu depan, diumumkannya hari ini. Mungkin untuk dipersiapkan membawa kali ya. Kebetulan sebelah saya agar berisik, pakai acara panggil-panggil, “Bu Idris, Bu Idris”, padahal Bu Idrisnya sedang fokus mengarahkan anak-anak komuni pertama. Tapi, ya, gimana, orang Katolik mah gitu. Heuheu.
Misa di Toasebio dipersembahkan pada hari Sabtu pukul 18.00, kemudian dilanjut hari Minggu pukul 06.00, 07.30, 09.30, dan 18.00. Jadi kalau ada jadwal yang bilang pukul 07.00 dan 09.00 jangan percaya. Itu hoax. Oh, di Toasebio juga ada pulul 16.15 khusus Misa Mandarin. Boleh banget untuk dicoba bagi yang mengerti. Saya jadi ingat Misa di Hati Kudus Palembang yang juga ada versi Mandarin.
Untuk Gua Maria nggak usah repot-repot mencari. Begitu masuk halaman Gereja, pasti langsung tampak Gua Maria yang gedenya super dan dikondisikan sesuai namanya, Maria de Fatima, termasuk juga tiga bocah yang mendapatkan penglihatan itu digambarkan dalam ukuran segede bocah beneran. Dan Gua Maria ini depan-depanan sama menara lonceng dengan patung Yesus. Kebetulan, halaman Gereja Toasebio bebas mobil, kemungkinan besar parkir mobilnya di Ricci. Ya, masak di Glodok.
Sepulang dari Toasebio, ada pilihan menarik untuk kuliner mie, baik yang halal maupun haram. Lagi-lagi ingat di Palembang, yang habis misa, lalu berburu mie haram di Jalan M Isa. Yah, waktu memang tidak bisa kembali. Baiklah, sebenarnya saya masih bisa menulis tentang beberapa yang dekat semacam Theresia, Paskalis, hingga Katedral, tapi nanti satu-satu ya. Hehe. Salam #KelilingKAJ!
4 thoughts on “Menyambangi Cagar Budaya Santa Maria de Fatima”