Sejak dua bulan yang lalu saya dikasih tahu sama Dokter Riani bahwa akan ada rekoleksi tim pelayanan PITC. Dari aneka grup yang tersedia, saya membaca sekilas tempatnya, namun yang teringat di kepala hanya Sindanglaya. Ya, sudah, booking jadwal pribadi dan meniadakan agenda #KelilingKAJ serta latihan bareng CFX di Kolese Kanisius.
Mengingat hidup saya sangat tergantung jadwal dinas, mulailah saya deg-degan ketika minggu lalu ada wacana dinas ke Kupang. Tapi seperti pernah saya tulis di blog ini juga bahwa entah kenapa kalau urusannya untuk pelayanan, hawa-hawa lancar itu selalu terasa. Pada akhirnya saya ke Kupang tanggal 17 sampai 19 Maret. Tanggal terakhir ini ulang tahun pacar, dan ketika pacar ulang tahun saya malah sibuk berusaha mencapai kos dari El Tari.
Dua malam di hotel, lalu semalam nggak kerasa di kosan, saya kemudian akan mendapatkan dua malam lainnya di Sindanglaya. Sungguh, hidup sebagai petualang itu indah. Asal bukan petualang cinta.
Hari Jumat, saya bergegas cabut dari kantor ketika jam sudah menunjuk angka 4. Sembari lari ke halte TransJakarta, saya mencoba mengingat-ingat apakah fingerprint saya tadi beneran sudah menunjuk 16 lewat sekian, atau malah belum. Ah, kalau cuma potong income gara-gara absensi, tahun lalu saya sukses dipotong 200 ribu lebih kok. Rapopolah. Ketika sedang jalan di JPO, TransJakarta yang dinanti lewat. Sudah mau firasat buruk, tapi saya lanjutkan. Eh, baru sampai, sudah dapat bis berikutnya. Jalan punya jalan, loh, bis yang tadi sudah pas ada di depan mata. Tentu saja ini karena via lampu merah Matraman, yang durasi bangjonya melebihi durasi menanak nasi. Mungkin menanak dan menggoreng nasi.
Sampai di Dukuh Atas dan pindah ke koridor 1, kok tumben lama lewatnya. Akhirnya saya naik saja Kopaja–tentu dengan membayar 5000 hanya untuk Dukuh Atas ke GBK. Ketika saya sedang jalan di JPO, bis cantik imut biru kotak-kotak AC 121A yang lumayan kosong melintas perlahan. Cuma, ya, seperlahan-perlahannya, tetep wae ane bukan flash, gan! Maka, saya lewatkanlah bis itu, dan tidak lama kemudian, persis setengah 6, saya berhasil naik shuttle Lippo Cikarang…
…di jalur cepat. Wislah, mbelgedhes tenan og dalanan Jakarta ki.
Woke, dari setengah 6, sampailah saya di kos Kedasih kenangan pukul setengah 8. Kurang lebih tiga jam, hanya dari Jakarta Pusat sampai ke kota terlengkap di timur Jakarta (uhuk…). Kenapa sih harus ke Cikarang? Ya, karena saya ikut rekoleksinya PITC. Kalau saya ikut rekoleksinya Kemakmuran, tentu saja saya ke Harmoni. Bukan begitu?
Sesudah berada di titik kumpul dan kemudian kumpul sambil tunggu-tungguan segala macam, akhirnya saya sukses nebeng di jok mobil Mas Didiet. Mobil berangkat jam 11 malam, via Cibitung dan seterusnya sampai Bekasi Timur demi menghindari macet, yang ternyata nggak macet. Bah. Sembari di jalan, saya membaca percakapan di aneka grup WA yang saya punya, berikut portal berita, dan ternyata JAKARTA HUJAN DERAS DAN KEMUDIAN BANJIR! Hmmm, oke, ini biasa. Tapi menjadi nggak biasa dan dipenuhi rasa syukur ketika itu terjadi persis di belakang saya. Jadi saya cabut dari GBK, hujan mulai turun, deras, dan lalu banjir.
Sebagai penumpang yang baik, setiap kali nebeng saya selalu berusaha untuk tidak terlelap. Perspektif saya selalu ‘wis nebeng, gratis, numpang turu sisan‘. Namun, ya namanya juga ngantuk lelah perjalanan dinas belum kelar, saya bobo juga dikit-dikit. Jadi saya tahu rutenya dari Tol Cikampek, terus ke Jagorawi, terus ke Ciawi–sempat ngelihat rambu menuju Pusdiklatwas BPKP juga, terus macet.
Iya, macet.
Sesudah lepas dari macet, mobil Mas Didiet, berikut mobil Pak Paulus, serta kemudian mobilnya Pak Indo mampir di warung pinggir jalan. Sejujurnya, pada saat makan jam 2-an pagi inilah saya baru tahu bahwa tempat itu adalah Puncak. Iya, saya belum pernah ke Puncak. Eh, mungkin pernah, tapi pas orientasi itu kayaknya kok bukan Puncak. Ah, ya, pokoknya saya baru kali ini tahu yang namanya Puncak Pass. Mlipir Indonesia baru sampai Kupang dan Manado, wajarlah kalau ke Puncak malah belum.
Sampai TKP pukul 4 pagi, tiada lagi alasan untuk tidak terlelap. Maka, lelapnya saya di sebuah kamar tanpa cahaya. Di kosan saya memang mematikan lampu, namun karena berada di koridor, cahaya lampu masih nembus kamar, di Sindanglaya? Nggak ada.
Pagi hari saya baru tahu bahwa saya itu berada di Wisma Samadi Shalom, bukan Samadi Klender, karena kalau di Klender saya mah bakal naik KRL. Wisma ini adalah tempat karya Fransiskan. Setidaknya saya tahu itu dari peta di dinding tentang negara suster FMM berkarya. Kalau depannya F itu kira-kira terkait Fransiskan, soalnya saya dulu sekolah di SDF, SD Fransiskus.
Ketika acara dimulai, saya itu bingung, kok orangnya banyak. Bukan apa-apa, saya selama ini kan ikutnya rutin di Balkesmas, sebagai apoteker beneran sekali sebulan. Sementara yang lain kan ada dari pelayanan lainnya di PITC, berikut keluarganya pula. Jadi ya ada bapak yang entah suaminya siapa, ibu yang entah istrinya siapa, dan Pak Agung yang entah pacarnya siapa.
Idenya bagus, menurut saya, karena membawa keluarga untuk mengetahui perihal pelayanan itu krusial. Persis dulu waktu Rayon Santo Matheus Paroki Santo Petrus Claver Bukittinggi belum pingsan karena kekurangan anggota, saya itu kadang heran bapakku ki ngopo wae kok bengi mbalah metu, ra nang omah. Atau kadang hari Minggu, bukannya nyetrika apa bungkus es, eh malah keluyuran. Padahal Bapak saya melakukan tugas pelayanan. Dukungan keluarga itu penting loh bagi pelayan Tuhan yang berumah tangga. Kalau ada suami yang kerjaannya melayani orang lain doang tapi anak istri nggak makan, yo edan kuwi, pun sebaliknya. Maka, menanamkan spiritualitas pelayanan via hal semacam ini buat saya patut diacungi jempol.
Bintang tamu di rekoleksinya PITC ini ternyata bukan main-main. Bruder Petrus Partono, PSS nongol sebagai pembicara. Buat yang nggak tahu, googling sajalah. Bruder ini punya karya di Cilincing, yang mana daripada belum bisa saya jadikan tujuan #KelilingKAJ karena belum nemu angkutan umum yang relevan.
Datang-datang, nggak kenalan, langsung baca Sabda Tuhan. Ini bruder macam apa? Eh, ternyata kemudian bruder yang satu itu lucunya nggak kalah dari Abdur atau bahkan Mas Mbong. Sudah lama saya nggak ketemu sosok seperti bruder ini, dari cara omongnya, dan berikut punchline kompor gas dari setiap joke yang diungkapkan.
Bruder Petrus menyebut bahwa yang lebih penting dari pelayanan adalah bagaimana memperkenalkan Tuhan, bukan diri sendiri terlebih dahulu. Jadi bukan melayani untuk dapat nama dan semacamnya. Kalau dapat jodoh, mungkin boleh, kan efek samping. Bruder Petrus juga bercerita aneka pengalamannya ketika Tuhan mencukupkan setiap karya yang dilakukannya. Nggak ada beras, tahu-tahu ada yang ngirim beras. Nggak ada duit, tahu-tahu ada donator. Ternyata memang begitu. Saya sepakat karena sudah lumayan sering merasakan lancarnya perjalanan kalau mau melakukan pelayanan.
Perihal talenta juga diungkapkan oleh Bruder Petrus. Talenta utama yang kita miliki sebenarnya jelas: TUBUH. Kalau nggak ada tubuh, ya, nggak bisa berkarya. Selain tubuh, ada jiwa, rasa, pikiran, dan juga pengetahuan. Namun, lepas dari semuanya itu, yang lebih penting adalah memiliki gambaran diri yang sehat terlebih dahulu. Mikir ‘ah, gue kan nggak bisa ini, mana mungkin gue melayani’ adalah contohnya. Kayak beberapa apoteker (beneran) yang saya ajak ke Balkesmas tapi kemudian keder sendiri karena ngakunya nggak paham obat-obatan. Kata Bruder, harusnya bilangnya ‘AKU PASTI BISA!’. Begitu dulu. Citra positif akan memperlancar semuanya. Kalau Citra yang lain, itu mantannya kawan saya yang playboy.
Bruder Petrus juga bilang bahwa ada empat aspek penting di dalam menjadi pelayan yakni bisa dipercaya, jujur, bertanggung jawab, dan memiliki relasi yang baik. Bruder sering bilang soal tertib administrasi. Hehe, even pegawai yang digaji negara aja masih susah soal tertib administrasi, ternyata justru itu yang terutama dalam melayani. Simpelnya, bantuan ini itu dapat dari mana, disalurkan kemana, dan semacam itu. Arahnya jelas ke akuntabilitas, sementara di PNS, akuntabilitas malah dihilangkan sehingga LAKIP menjadi LKIP. Iya, di peraturan baru tentang pelaporan kinerja, tidak ada kata-kata akuntabilitas di judulnya.
Bruder yang kemungkinan kalau komersil bisa lebih mahal dari Mario Teguh ini berhasil membuat Pak Paulus nggak bobo dan malah manthuk-manthuk sepanjang sesi. Tidak hanya Pak Paulus, bocah-bocah juga duduk manis mendengarkan semua yang disampaikan. Keren juga, ya.
Sesi bruder selesai sebelum Maghrib, dan sesudahnya diisi dengan KOREK API. Itu ada kepanjangannya loh, beneran ada. Tapi saya nggak nyatet, wong petengan.
Sesudah bobo manis secara tampan selama 7 jam tanpa gangguan, saya bangun dan mengikuti ibadat pagi. Sebagai manusia yang kurang gaji dan kurang religius, baru sekali ini saya ikut ibadat pagi. Waktu di Manado, ada dua ibu yang sahut-sahutan dengan kata-kata dan irama yang mirip. Saya baru mahfum apa yang dilakukan oleh di ibu di Gereja Santo Ignatius Manado, yang terletak di sebelah Hotel Travello itu, merupakan ibadat pagi.
Lanjut! Sesinya kemudian adalah milik Suster Christina Sri Murni, FMM. Suster ini adalah tuan rumah karena yang megang wisma tempat rekoleksi ini. Bahkan menurut sebuah blog suster, Suster Christina itu Provinsial FMM. Sebagai produk pendidikan masa kecil Fransiskan–dulu Kepsek selama 9 tahun adalah suster OSF–tentu saya paham model pelayanan Fransiskan. Dan ya semacam itu yang terjadi. Mirip dengan perkataan Bruder dan sesi korek api, yang sebenarnya dalam melayani ya semata-mata KASIH. So, simpel, tapi dijamin susah.
Suster yang ternyata adalah adeknya Uskup dan berlatar belakang Ketua Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) ini banyak berbagi kisahnya di Soweto, Afrika Selatan. Ah, jadi ingat tante suster yang dulu juga lama di Ghana dan pulang dari sana ikutan menghitam. Dalam menghadapi kekuranganpun sama, ada saja yang akan mencukupkan. Pokoknya cukup aja. Kalau nggak karena Tuhan, terus siapa?
Sebenarnya ya, yang disampaikan oleh Bruder dan Suster ini adalah hal biasa yang sudah sering didengar oleh orang yang rajin beribadah. Ada pula di kitab suci. Cuma, memang harus orang lain yang menyampaikan kali ya, supaya sadar.
Untuk menutup tiga hari nan keren ini, ada misa yang dipimpin oleh Pater Martin Harun, OFM. Ini juga orang keren karena beliau punya gelar Profesor Doktor. Dosen di banyak STF, dan enam tahun yang lalu pernah diberitakan meninggal, lalu tahu-tahu nongol di kampus padahal sudah ada persiapan requiem. Ternyata salah Martin. Sebagai Profesor Doktor yang memasrahkan beberapa hal terkait lagu kepada umat ala-ala kayak saya, jadi ingat pada umat yang sok-sokan ngajari tata cara tertentu kepada umat lainnya harusnya begini-begitu (pas misanya langsung pula) hanya karena pernah ikut seminar bersama Romo Anu. Hehe. Memang ya, orang kalau semakin berisi itu benar-benar semakin merunduk.
Secara fisik, ini tentu bukan weekend yang oke bagi saya menyongsong pekan yang entah akan berat atau tidak ke depan ini. Namun, secara spiritual, weekend ini cukup menyenangkan dan menenangkan. Bahwa sesungguhnya hidup itu memang harus dijalani dengan syukur, dan tiada syukur tanpa peduli.
Super sekali mas ariesadhar.com, 2 hari yg luar biasa bertemu Tuhan lewat 2 tokoh super inspiratif.
LikeLike
Tiga, sama romonya.. Hehehehehe…
LikeLike
Eh 4 mas, Dan suster Yoshepin 😀
LikeLike
5. Bruder Agung. #rauwisuwis
LikeLike