Sesudah kabur ke Ciawi, Bogor dalam rangka menghilangkan huruf C yang memperseret kemajuan peredaran darah di dompet–dan bukan dalam rangka raun alias jalan-jalan, akhirnya saya kembali lagi ke Jakarta yang royo-royo. Karena masih lelah oleh hasil internalisasi nilai-nilai ANEKA, akhirnya saya melanjutkan #KelilingKAJ ke tempat yang dekat-dekat saja, yang penting kesinambungan project ini terjaga. So, saya akhirnya mampir ke Gereja Keluarga Kudus Rawamangun.
Sesuai dengan #KelilingKAJ sebelum-sebelumnya, sebisa mungkin saya mencapai lokasi dengan menggunakan kendaraan umum. Kali ini bukan masalah idealisme, namun masalahnya memang sepeda motor saya rusak. Ah, ini semacam dejavu. 2005 saya hidup dengan sepeda motor penuh dilema yang delapan tahun kemudian tertuang kisah kampretnya di dalam buku OOM ALFA. 2015, saya kini harus berhadapan dengan si BG. Memang dari sisi umur dia layak bermasalah, sih. Tapi sebenarnya dia motor yang jelas jauh lebih tangguh daripada OOM ALFA, dan yang lebih penting dari semuanya, si BG ini saya beli dengan setengah mati menggunakan uang sendiri.
Nah, dengan menggunakan kendaraan umum bernama TransJakarta saya menuju ke Rawamangun. Sebenarnya gampang sekali, kok. Tinggal naik TransJakarta koridor Dukuh Atas-TU Gas yang stoknya bisnya sangat variatif itu, mulai dari yang baru sumbangan Trikomsel, abu-abu buluk penuh balada, hingga rekondisi yang pintunya cuma satu tapi kursinya empuk itu. Tinggal turun di halte Voldemort, eh, Velodrome, kemudian berjalan sedikit ke Jalan Balai Pustaka yang mana daripada kita melewati pom bensin Pertamina dulu. Atau lebih tepatnya belok pas kantor pusat Arion.
Dari situ kita akan menemukan deretan fotokopian. Tempat yang satu ini memang terkemuka dan ternama dalam hal fotokopian dan perspandukan. Saya sempat berpikir apakah yang disasar itu UNJ, tapi apa iya mahasiswa UNJ sebanyak itu sampai fotokopian besar-besar nangkring di tempat yang sama. Tapi kemudian boleh jadi sasarannya juga Tarakanita hingga Labschool yang memang letaknya dekat situ. Sesudah menembus deretan fotokopian, kita akan menemukan Gereja Keluarga Kudus Rawamangun ini di sisi kiri jalan lewat sebuah rambu. Letaknya–sama halnya dengan Gereja-Gereja lain di Jakarta–bersebelahan dengan sekolah Katolik.
Paroki Keluarga Kudus Rawamangun ini punya website keluargakudus.org, namun saya kok kesulitan menemukan sejarah dari Gereja ini sendiri. Hasil tanya-tanya ke Mbah Google pun saya hanya mendapati bahwa Paroki Keluarga Kudus Rawamangun didirikan 27 Juli 1970, berada di Dekenat Timur sehingga berbatasan dengan Paroki Bonaventura Pulomas, Paroki Santa Anna Duren Sawit, Paroki Bidara Cina, dan Paroki Matraman. Disebutkan pula bahwa Gereja ini dibangun oleh arsitek. Ir. Han Awal. Gereja ini letaknya tidak jauh dari HKBP, maka kalau ketemu mamang bajaj yang tidak Nasrani kemungkinan akan ditanya, “Mau ke Gereja mana, Bang? Kudus apa Batak?”
Dari sisi arsitektur ada kesan Gereja Rawamangun ini berstruktur kemah. Mungkin mirip-mirip Bojong Indah yang oktagon kali ya. Salah satu yang unik mungkin profil Yesus di altarnya yang tidak menggunakan salib pada umumnya, namun menggunakan pendekatan yang berbeda. Kemudian, ini agak anomali dibandingkan Gereja KAJ pada umumnya, di Rawamangun belum menganut prinsip AC. Bahwa ada pendingin, iya, namun letaknya hanya di pojokan dan tidak menjangkau sampai ke tengah sehingga untuk yang di tengah masih mendapat suplai CO2 yang disentor via kipas. Saya hanya membandingkan betapa kedinginannya saya waktu di Bojong Indah maupun Pantai Indah Kapuk. Tapi tentu saja di Rawamangun ini tidak sepanas di Mangga Besar yang sama sekali tidak pakai AC.
Pastor yang bertugas di Rawamangun ini kiranya sejalan dengan namanya, Keluarga Kudus. Iya, Pastor-Pastor MSF. Sama dengan yang bertugas di Gereja Banteng Jogja. Cuma memang agak menarik ya, karena di KAJ saja ada dua Keluarga Kudus. Satunya lagi sudah pernah saya kunjungi di sebuah pagi syahdu, di Pasar Minggu. Entahlah mengapa bisa sama begitu. Sekali lagi, saya sudah berusaha ke Mbah Google. Mungkin nanti kalau kartu perpustakaan nasional saya ketemu, saya bisa cari-cari lagi soal sejarah, sekaligus mencari kelengkapan sejarah untuk #KelilingKAJ lainnya.
Petugas misa masuk dari sisi kiri dan kembali ke sakristi dari pintu yang berbeda. Lektornya merangkap komentator, itu pas saya kesana kemaren. Dari sisi kostum bagi saya biasa, masih belum ada yang semenarik Kemakmuran. Kemudian pemazmurnya, ya ampun, saya trenyuh pada tembakan-tembakan nadanya yang kurang-kurang setengah hingga seperempat. Ya, nggak apa-apa. Niatnya baik. Koornya sendiri ada di sebelah kanan dengan mimbar dirigen yang agak naik sedikit. Mimbar untuk lektor dan mazmur ada di sisi kanan, sementara mimbar Pastor ada di sisi kiri. Altarnya boleh dibilang cukup luas, tentu karena Gerejanya sendiri juga cukup luas. Cukup proporsional tentu saja.
Satu hal yang menarik dari kunjungan kemaren adalah homili tentang hukuman mati dan sikap Gereja. Pastornya memancing dengan berkata, “..(sesuatu tentang penolakan terhadap hukuman mati)… Amin?”
Apa jawab umat? Ya, seperti umat Katolik pada umumnya kalau disentil Pastor, diam. Pastornya sendiri juga bilang, “Tuh kan, diam. Tidak ada jawaban.”
Umat Katolik mah gitu orangnya.
Satu lagi yang menarik di Rawamangun ini adalah prosesi berkat anak-anak yang dilakukan bersamaan dengan komuni, dan panjangnya antrean itu minta ampun. Dan saya selalu suka melihat itu. Jadi para prodiakon/prodiakones membagi komuni di samping, Pastornya memberkati bocil-bocil di barisan tengah. Memang terjadi semacam tabrakan arus manusia, namun tidak terlalu signifikan juga kok. Memang cakupan Paroki Rawamangun ini lumayan masih menjadi basis keluarga muda. Agak berbeda dengan beberapa Paroki yang berada di daerah sangat matang, sehingga perkembangan keluarga mudanya minimal dan berdampak pada jumlah umat muda yang menurun.
Oh, iya, sebelum masuk dan mengikuti misa, saya menyempatkan diri berkunjung ke taman doa yang dimiliki oleh Paroki Rawamangun persis di belakang Gereja. Ada Pieta di taman tersebut, bersamaan dengan jalur jalan salib. Melihat Pieta yang tersendiri–dan bukannya ada di pojokan Gereja–saya jadi ingat ke Bojong Indah lagi. Untuk Patung Keluarga Kudus-nya sendiri ada di dalam Gereja, kalau dari sisi umat tampak di sebelah kanan.
Misa di Rawamangun dipersembahkan pada Sabtu sore pukul 17.00 kemudian Minggu pada pukul 06.30, 08.30, 17.00 dan 19.00. Nah, sebagai pencerahan sekaligus memperlihatkan betapa nikmatnya jadi umat di KAJ, per 14 Juni 2015 ada tambahan jadwal misa di Rawamangun ini pada pukul 10.30. Tuh, sudah segambreng Paroki, segambreng misa, masih nggak ke Gereja? Terlalu, kata Bang Rhoma.
Btw, Paroki Keluarga Kudus ini tampak telah mencoba melakukan pendekatan media sosial dengan keberadaan Facebook dan Twitter. Cocok dengan tulisan saya–yang nggak dimuat Hidup. Cuma, ya itu, ada website tapi saya kesulitan menggali tentang sejarah paroki ini, padahal usianya sudah hampir setengah abad. Mungkin memang websitenya masih pengembangan karena saya melihat masih ada beberapa bagian yang linknya kembali ke laman utama. Semoga terus diperbaiki ke depannya.
Yap! Sekian perjalanan #KelilingKAJ ke timur kali ini. Sampai ketemu di #KelilingKAJ selanjutnya!