Enam Senja di Papua

Hidup ini memang selalu ada konsekuensinya, bisa baik, pun bisa buruk. Nah, salah satu hal yang bahkan hingga 1 tahun yang lalu tidak terbayangkan oleh saya, justru terwujud ketika saya nyemplung di pekerjaan sekarang ini. Jika saya tetap berada di pabrik, jadi PPIC nan berjaya dan membahana membelah angkasa, maka sampai metode perencanaan Johnson beranak pinak jadi Johnson Simamora dan Johnson Simorangkir pun saya nggak bakal bisa menulis cerita ini. Ya, ada beberapa keinginan sederhana di dalam hidup ini dan sejujurnya salah satu yang masuk list itu adalah…

…menginjak tanah Papua!

wpid-photogrid_1435162319419.jpg

Kenapa? Entah, saya bahkan tidak tahu sama sekali alasan yang tepat. Namun saya mungkin mau mengira-ngira bahwa saya sudah pernah berada di Nias Selatan, maka saya ingin berada di sudut lain negeri nan indah bernama Indonesia ini. Tempat itu, ya, Papua. Maka, ketika tanggal 3 Juni silam dapat kabar bahwa akan ditugaskan ke Jayapura, harapan saya sungguh sangat sederhana. Jangan batal. Untunglah pada akhirnya tidak batal. Walau memang harus begebug sangat karena baru ditinggal pergi satu pekan, masuk sehari, lalu pergi lagi, saya lantas rela-rela saja. Ya, karena memang harus rela. Menurut ngana, pegawai-biasa-nan-agak-merana macam saya ini bisa apa? Heuheu.

Nah, perjalanan ke Jayapura dimulai dari bandara Soekarno-Hatta, dengan penerbangan GA650 yang tulisannya sih langsung Sentani. Tulisan itu memang nggak salah-salah benar, sih, karena pesawat yang sama memang membawa saya sampai ke Sentani. Masalahnya, pesawat itu berhenti dahulu di Makassar (tengah malam), dan kemudian di Biak (pagi-subuh-subuh-gitu), baru kemudian benar-benar landing di Jayapura.

Perjalanan ke Jayapura ini juga menjadi berbeda karena otomatis menjadi penerbangan terlama yang pernah saya tempuh, plus menjadi kesempatan pertama kali saya menginjak bumi WIT. Ah, saya memang sungguh-sungguh ndeso. Excitement saya sebenarnya muncul hanya karena saya tidak pernah pergi ke Papua sebelumnya. Sederhana sekali bukan?

Setengah sial, saya ternyata duduk di seat 29K, alias kursi yang persis tepat di depan jendela darurat. Dampaknya, tidak ada sandaran hati, eh, tangan, plus itu kursi tidak bisa diturunkan. Maka dari Jakarta ke Makassar, Makassar ke Biak, sampai Biak ke Jayapura saya harus puas dengan kursi tegak itu sepanjang malam hingga pagi. Asem. Buat pelajaran saya, lini 29 adalah seat yang perlu dihindari ketika besok-besok mau check in.

Oya, ketika sampai Biak, saya ikut-ikutan turun meski sebenarnya pesawatnya sama. Bukan apa-apa, saya cuma pengen menginjak pulau yang melegenda pada era Perang Dunia II itu. Lumayan toh, saya bisa sampai di Bandara Internasional Frans Kaisiepo. Bahkan sampai Selasa pagi saya bahkan tidak tahu kalau saya bakal–setidaknya–lewat di tempat itu. Iya, saya memang SSN, sungguh-sungguh ndeso. Cuma nih, gara-gara turun di Biak, boarding pass saya jadi berabe, namanya hilang-hilang sedikit. Bisa bahaya kalau kemudian tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ngeri, tiketnya kan mihil pakai bingit.

wpid-jyp6.jpg

Kurang lebih pukul 07.00, saya melihat dan merasakan bahwa pesawat sudah melintas di Danau Sentani, danau terbesar di Papua. Itu tandanya sudah akan sampai karena memang bandara Sentani letaknya persis di pinggir Danau Sentani, dan finally…

…saya sampai ke Papua! Eureka! Eureka!

Nah, ternyata lokasi kantor itu bukan di Jayapura beneran. Ya, masih Jayapura, sih, tapi lebih spesifik di Abepura. Kurang lebih setengah perjalanan kalau dari Sentani ke Jayapura. Di tempat yang biasa disebut Abe ini, baru dua hari sebelumnya rusuh, bahkan mobil kantor yang saya tumpangi juga melewati daerah Padang Bulan dan saya melihat sebuah tempat bekas terbakar dengan garis polisi yang menyertainya. Perjalanan dilanjutkan Hotel Grand Abe, peraduan selama menjalani enam senja di Jayapura. Kemudian?

Kerja dong! Soal kerja mah nggak usah dibahas, kan saya jauh-jauh ke Papua itu dalam rangka kerja, bukan berlibur. Cerita ini sekadar membahas dari sisi perjalanannya saja. Ya kan? Ya kan?

wpid-photogrid_1435162474942.jpg

Di sela-sela waktu sesudah bekerja, saya dan teman-teman kantor dibawa ke sebuah tempat nan tinggi, pemancar TVRI Jayapura. Tempatnya sungguh uwow! Uwow berbahaya karena ketinggian tapi nyaris tanpa pengaman, namun uwow–sekali lagi–uwow indahnya! Dari tempat ini, kita bisa melihat profil kota Jayapura yang merupakan kota pantai namun langsung ada gunungnya. Kelihatan juga pelabuhan, hotel Swiss-Belhotel, dan juga kantor gubernur tempat Pak Lukas Enembe ngantor.

wpid-photogrid_1435162376588.jpg

Jayapura memang kota pantai plus gunung, namun tampaknya arah dan tujuan justru pergi ke gunung. Maka, destinasi sambilan kerja berikutnya adalah ke tempat Jenderal MacArthur di Gunung Ifar, Sentani. Ini juga spot penting di Perang Dunia II, ditandai dengan sebuah monumen. Lokasi ini boleh dibilang tempat wisata paling aman karena berada di kawasan Rindam XVII Cendrawasih. Silakan saja mau berbuat kriminal, nek wani. Disini juga tidak kalah indah karena Gunung Ifar ini persis berada di atas Danau Sentani plus Bandara Sentani. Jadi, kita bahkan bisa melihat pesawat sedang take off dan landing. Tentu, ini beda dengan sekadar melongok di jalan akses Tangerang kalau di Cengkareng, sungguh beda. Pokoknya beda, ra sah ngeyel.

wpid-photogrid_1435162513118.jpg

Enam senja di Jayapura, Distrik Abepura, saya mengalami jalan tergenang juga kok. Genangannya nggak jauh beda dari Jakarta, even Palembang sekalipun. Drainase adalah PR besar di negeri ini, terlebih ketika dia menjadi versus dari pembangunan banyak fasilitas. Padahal drainase di Abepura ini dalamnya bisa bikin hanyut orang kalau pas penuh. Pada sisi lain, saya juga beruntung bisa melihat senja yang cakep karena mentari terbenam di balik gunung. Sungguh, Jayapura secara khusus dan Papua secara umum sungguh indah. Sangat indah. Plus, karena melintas hari Minggu, saya harus mencari Gereja dan untungnya dekat, yakni di Paroki Abepura, Gereja Gembala Baik. Gereja yang nggak kalah sama Gereja-Gereja di #KelilingKAJ karena punya perlengkapan multimedia nan hore.

wpid-photogrid_1435162432704.jpg

Ketika berada di Jayapura, saya berhasil membuktikan bahwa Rumah Makan Padang itu memang ada dimanapun. Saya pernah berada di Nias Selatan mblusuk hingga Abepura, sama-sama ada Rumah Makan Padang. Super sekali, bukan? Nah, hal sejenis yang saya lihat adalah soal keberadaan orang Jawa di Papua. Ketika beli nasi goreng, yang dagang orang Trenggalek. Sampai di puncak MacArthur ada bakul bakso, yang dagang orang Malang. Di tempat yang sama ada tukang untuk bikin tower, tebak orang mana? Wonogiri. Terus di dekat jalan situ ada kue-kue sagu, hayo, yang jual dari mana? Turunan Sragen, ex relawan sipil Trikora. Kemudian bakul mujair bakar di dekat Aneka Batik, Wonogiri juga! Saya jadi meragukan konsep ‘makan nggak makan asal kumpul’ karena kalau memang hanya kumpul, kenapa mereka jauh-jauh sampai ke Papua? Pastinya karena mencari makan, kan?

Begitulah. Pada pagi hari nan tenang saya akhirnya melaju mlipir Danau Sentani menuju bandara. Melihat dinding batu yang itu tinggal diambil, direndam, lalu digosok dan dapat dijual. Di Papua ini kayaknya nggak bisa batu yang biasa, wong kalau batu biasa-biasa saja tinggal pungut di seberang Danau Sentani. Saya memasuki pesawat dengan terkantuk-kantuk dan kemudian terlelap hingga Pulau Biak, meninggalkan perjalanan perdana saya di tanah Papua.

Advertisement

5 thoughts on “Enam Senja di Papua”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.