Tentang Hoax PPA: Perlukah Kita Menyisihkan Secuil Otak di Jempol?

Minggu lalu waktu saya sedang leyeh-leyeh di Hotel Neo, Sarkem, tetiba dapat pesan WA dari Pak Tri, dedengkot pelayanan di Cikarang sono. Pesannya simpel, hendak mengkonfirmasi terhadap sebuah share-share-an berikut ini:

wpid-photogrid_1442934054717.jpgSungguh, ketika membaca gambar itu untuk pertama kali, saya ngakak habis! Tapi lama kelamaan, ketika saya terus bermain di linimasa, saya malah jadi sedih karena gambar kampret itu tersebar kemana-mana dengan pesan untuk berhati-hati. Saya memang ngakak, karena saya mengerti isu itu. Yah, anak farmasi lawas pasti juga tahu kalau konten gambar itu lucu. Cuma memang, nggak semua orang paham.

Hal yang bikin saya merasa gemas, selain karena pembuatnya nan kekurangan otak, adalah ketidakcermatan banyak sekali manusia ketika menyebar hoax itu di linimasa. Saya sungguh apresiasi orang-orang seperti Pak Tri atau juga Vivi yang kemudian mencoba mengkonfirmasi kepada orang yang tepat. Informasi di linimasa sudah terlalu gila hingga aspek konfirmasi menjadi sangat penting. Namun, tanpa perlu konfirmasi terlebih dahulu, hanya sedikit ketidakcermatan sudah pasti bikin kita tahu bahwa gambar kacrut itu sebenar-benarnya HOAX.

Sesederhana itu? Ah, itu kan karena yang nulis apoteker, kan?

Hmmm, mboh, sih. Makanya, sini mari kita cerna sedikit beberapa kekampretan yang dilakukan si pembuat yang tiada berotak itu.

Alamat

Pada gambar mbelgedhes itu dituliskan Siloam Hospitals, tempat kejadian suatu problem medis bertajuk Buvanest beberapa waktu yang lalu. Apa yang salah? Sebenarnya letaknya saja sudah salah. Kalau memang dimaksud bahwa email itu dari si Andri, mestinya alamat yang satu grup di pojok kiri atas itu adanya di bawah. Itu sudah janggal. Belum lagi kalau kita lihat telepon dan faksimili, tanpa kode area. Orang kantoran sejati pasti paham dan tidak akan serta merta memasang template email seperti itu tanpa kode area.

Email dan Website

Namanya juga nggak punya otak, si pembuat hoax pasti nggak sempat mikir soal bagian ini. Dan sejujurnya, seharusnya orang yang hendak menyebar hoax ini sudah menghentikan jempol hanya dari bagian email dan web. Kenapa? Lihat saja emailnya!

andri@siloamglenea

Kalau manusia yang punya Facebook, sudah pasti punya email, toh? Nah, jelas-jelas punya email, masak sih nggak ngeh kalau disitu ada alamat email bodong bin abal-abal. Mosok alamat email cuma at saja, nggak ada dot apa gitu?

Yang kenal dunia farmasi, atau minimal pernah berobat ke Siloam, atau hanya sekadar belanja di kompleks Lippo di Kupang atau Palembang pasti ngeh bahwa grup Siloam tidak lagi mengenakan embel-embel glenea. Bahkan sebenarnya juga bukan ‘glenea’ tapi dulu awal mulanya bernama Siloam Gleneagles, jadi yang bikin hoax mungkin kurang nge-crop. Demikian juga dengan alamat websitenya http://www.siloamhealtcare.com. Sekali lagi, ketiadaan otak menyebabkan pembuat hoax ini lupa menyelipkan huruf ‘h’ sesudah ‘healt’. Dan karena domain itu bikin kita harus bayar, sebodoh-bodohnya orang atau perusahaan nggak mungkin bikin website-nya typo begitu. Typo itu justru cara pemilik domain mengejar traffic lewat salah ketik, misal ‘gogle.com’, ‘detiki.com’, dan tentu saja bukan ariesadhar.com.

Paragraf Pertama

Ini juga jelas ngawurnya, tapi kok ya masih pada nge-share toh? Sedih akuh. Heu. Tertulis jelas ‘DAFTAR OBAT DILARANG – SURAT KEPUTUSAN BADAN POM DIKUTIP DARI SURAT KEPUTUSAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN BPOM) REPUBLIK INDONESIA’. Hayo, buka kurung pas BPOM-nya mana? Dan bagian paling tidak menggunakan medula oblongata dalam konteks ini adalah kata ‘PENGAWASAN’. Heloh, Badan POM itu adalah Badan PENGAWAS Obat dan Makanan, tanpa ‘an’.

Alasan

Okelah kita lewatkan sederet nama produk, kita masuk ke alasan saja. Nomor 1 sudah mbel, sejak kapan ada peringatan pemerintah dengan diksi ‘prosentase’?. Hmmm, jangan-jangan pembuat hoax ini orang lama, atau otaknya ketinggalan di masa lalu. Plus, saya ngebayangin ada obat kandungan PPA-nya 15%, itu alangkah hebatnya si PPA! Karena sejatinya sebagian besar obat itu komponen terbesarnya justru di eksipien, entah itu pengisi, pengikat, dan sejenisnya. Isu pelarangan PPA dalam dosis tertentu sendiri muncul sekitar tahun 2000 atau mungkin lebih awal, pokokmen saya belum jadi mahasiswa farmasi kala itu. Sekali lagi, dosis tertentu yang satuannya ya 15 mg atau 5 mg, bukan 15%.

Nomor 3 juga lutjuk! Katanya ‘Obat-obatan di atas mengandung racun yang amat berbahaya bagi produksi reproduksi tubuh manusia dalam hal ini kualitas sperma dan kualitas sel telur’. Kamsude ‘produksi reproduksi’ ki opo jal? Lebih wagu lagi nomor 4, ‘Obat-obatan diatas tidak bisa dikembalikan ke distributor/pabriknya bila rusak Dan itu berbahaya bagi pembeli yang mengkonsumsinya.’

Sudah jelas bahwa yang bikin hoax ini nggak ngerti kalau pabrik obat itu jualannya via Pedagang Besar Farmasi (PBF). Sudah jelas juga kalau manusia yang otaknya lebih parah dari udang itu nggak ngerti yang benar adalah ‘di atas’ atau ‘diatas’. Jelas juga kalau makhluk hidup yang entah kenapa kok masih hidup di dunia itu menulis ‘Dan’ dengan huruf besar, padahal bukan di awal kalimat.

Kepala Badan POM

Sumpah, ini bagian yang paling bikin saya ngakak ketika pertama kali dapat gambar geje itu dari Pak Tri. Kepala Badan POM yang tertulis dalam gambar adalah ‘Drs. H. Sampurno, M.B.A.’. Dengan segala hormat, Pak Sampurno sudah bukan lagi Kepala Badan POM, dan untuk menambah wagunya konteks hoax ini, sesudah Pak Sampurno itu ada Bu Ance, ada Bu Kustantinah, ada Bu Lucky, dan sekarang Pak Dr. Roy Alexander Sparringa, M.App.Sc. Adapun Pak Sampurno menjabat sejak 30 Januari 2001 hingga digantikan oleh Bu Ance pada 17 Mei 2006.

Nah, jadi gini man-teman. Hoax dengan kalimat yang sama persis itu sudah muncul setidaknya tahun 2009 dan mungkin lebih awal lagi. Lucu toh, sesuatu yang sudah ada, sudah lawas, dan sudah pernah ngebohongin kita 6-7 tahun silam sekarang muncul lagi? Makanya, sekali lagi, bukan cuma berita tentang Jokowi dan Prabowo yang butuh kecerdasan dalam menelaah, tapi juga hoax semacam ini. Lalu, apakah kita perlu menyuil otak kita sedikit dan menaruhnya di jempol agar tangan kita sedikit lebih cerdas dalam bersikap di linimasa?

Jawabannya dalam hidup kita masing-masing. Amin.

Advertisement

3 thoughts on “Tentang Hoax PPA: Perlukah Kita Menyisihkan Secuil Otak di Jempol?”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.