Enam Petang di Palembang

Yah, begitulah. Memang sepertinya isi blog ini bakal sepi. Huiks. Semoga sih tidak, tapi memang apa daya, ada kendala waktu, terlebih ketika saya harus melakoni tugas negara. Ketika tugas negara, waktu saya kurang, jadi ngeblog cuma sekadar mimpi yang bukan basah. At least, saya tetap bikin poin-poin untuk di-blog-kan. Belum 3 post rasanya saya nulis sejak Tujuh Hari di Kendari. Iya, memang begitu. Sesudah bertualang ke Celebes, kali ini saya mendapat tugas di Andalas. Dan bagi seorang sentimentil melankolis semacam saya, penugasan kali ini agak menyingkap sisi hati. Uhuk. Batuk Pak Haji?

Untitled7

Ketika pertama kali mengetahui bahwa saya dapat penugasan di kota itu, saya senang-senang sedih. Senangnya tentu karena kota itu punya memori luar biasa bagi hidup saya. Sedihnya? Justru karena saya pernah tinggal berbilang tahun, kok rasanya sayang kalau jadi tujuan. Soalnya dari list penugasan, ada beberapa kota yang memang belum sempat saya injak.

Mungkin karena masih mix feeling itu, Tuhan punya rencana untuk saya. Tetiba tujuan dialihkan ke kota lainnya dengan pertimbangan kabut asap. Dan memang, sepekan sebelumnya kawan-kawan mengupload foto soal kabut asap. Saya lantas jadi senang-senang sedih lagi. Senang karena akan menginjak kota baru, sedih karena ternyata ada sisi hati nan mellow kayak sendal Swallow itu tadi. Nah, ternyata kota kedua ini juga ada problema. Namanya akhir tahun, ternyata banyak even digelar, dan kebetulan kota tersebut sedang menggelar event gede sehingga penginapan penuh. Ujungnya, rencana dikembalikan sesudah memastikan bahwa tidak ada problema mendalam soal penerbangan. Yup, pada akhirnya saya berangkat ke Palembang.

Dua tahun lebih lima hari saya menjadi menduduk Palembang. Mengawali karier sebagai seorang pekerja di Segitiga Merah. Menjadi seorang perantauan tanpa kenal siapapun di sebuah kota yang benar-benar baru. Dua tahun yang selalu menjadi bekal bagus buat hidup saya karena gemblengan hidup di Segitiga Merah sungguh super. Keras, sih, tapi mengena. Mungkin kalau saya kerja di tempat lain, akan beda rasanya. Agak sayang sih saya meninggalkan Segitiga Merah, seandainya saja tidak ada kompilasi yang bikin saya harus pergi.

Keberangkatan kali ini lebih woles karena saya nggak kudu rempong ke Bandung dulu kayak perjalanan sebelumnya. Berangkat juga jam 12 dari kosan, bukan jam 8 pagi dari Bandung. Masih bisa misa dulu, masih bisa bobo-boboan sama cabe-cabean dulu, dan masih bisa melakoni aktivitas menyehatkan jiwa lainnya. Berangkatnya dengan pesawat BUMN, tentu saja. Ada satu hal yang langsung bikin saya malas. Sejak booking tiket, saya langsung request kursi di dekat jendela. Semata-mata ingin mengambil foto Ampera. Sejak melihatnya di Oktober 2009, saya selalu bercita-cita bisa motret Ampera dari langit. Begitu masuk ke pesawat, yang saya lihat adalah kursi yang saya pesan itu sudah diduduki ibu-ibu.

FYI, ini keempat kalinya kursi saya di pinggir jendela itu diserobot, dan seluruhnya dilakukan oleh ibu-ibu. Pertama, waktu Batavia 2004, saya dibodohi karena kebeneran itu pertama kalinya saya naik pesawat dalam keadaan sadar. Ya sudah karena masih culun, saya duduk saja di lorong walau tahu bahwa hak saya adalah di pinggir jendela. Kedua? Singa Air, kalau nggak salah pas pulang dari interview di Segitiga Merah. Yang ini saya juga merelakan dengan duduk di tengah karena ibunya tua beud, dan saya sungkan sama orang tua. Huhu. Baiklah, karena dua kali manut, pas kali ketiga saya tolak. Tersebutlah sepasang suami istri muda di pesawat Singa Air juga, tahu-tahu sudah duduk di kursi pinggir jendela. Berhubung saya orangnya sirik, jadi ketika mereka bilang mau menduduki bangku pilihan saya, tak bilang saja, “saya mabok kalau lihat orang pacaran, eh, kalau nggak di jendela”. Tentu saja itu bohong. Saya mabok itu hanya pada pacar. Mabok cinta.

Yang keempat ini agak tegang urat. Sepasang suami istri sudah duduk di kursi 23A dan 23B, ya memang 23A itu milik saya. Sesudah melempar tas ke tempat bagasi di atas, saya lalu berdiri di pinggir.

“Pak, 23A.”
Bapaknya menunjuk kursi 23C tanpa bersuara.
“Pak, itu bangku saya.”
“Disini aja,” katanya dengan tetap menunjuk 23C.
Saya tetap berdiri, tapi diam.
“Disini kan?”
“Disana, Pak. Saya mau motret.”

Dan pasutri kampret yang menduduki kursi yang JELAS-JELAS BUKAN HAKNYA itu akhirnya bergeser. Demi kesempurnaan pemenuhan bete, maka saya bokongi keduanya. Bukan apa-apa, lah mereka nggak mau keluar. Saya disuruh nyelip. Mana bokong agak ekstra pulak, jatuhnya ya ngebokongi orang toh? Sejujurnya saya agak heran. Ini penerbangan pakai Garuda Indonesia, so, kemungkinan mereka adalah orang yang mampu. Kalau orang mampu, kudunya otaknya ya bisa dipakai mikir, kan? Kalau bisa mikir, kenapa sekadar untuk duduk sesuai boarding pass saja nggak bisa? Well, mungkin karena disiriki sama ibu-ibu di sebelah saya, akhirnya kabut asap bikin saya nggak bisa mengambil foto. Apalagi foto Ampera. Sedih, sih. Tapi ya sudahlah, yang penting mendarat di kota kenangan, kali ini untuk bekerja, melakoni tugas negara.

Keesokan harinya saya kembali bersua dengan Ampera. Dua kali perjalanan saya ke Palembang, sesudah pindah, memang tidak pernah sampai Ampera. Sementara tugas kali ini memang ada di seberang hulu, jadi pasti ketemu lagi dengan jembatan yang kuatnya melebihi hati jomlo itu. Jomlo lihat gebetan pacaran saja galau. Ampera? Ditabrak tongkang, terbakar, hingga macet tidak berujung pernah terjadi disana dan dia kuat-kuat saja. Super.

Sesungguhnya saya pengen dolan. Tapi hidup tidak semudah itu karena saya sampai hotel saja sudah malam. Mencari taksi tidak mudah, apalagi bajaj. Tidak ada. Mau naik angkot, kudu jalan dulu. Oh, saya menginap di hotel Rio City, Dempo. Jelas, nggak ada angkot lewat sana, even lokasi itu sangat dekat dengan sentra duren. Saya tetiba rindu makan duren berjamaah ala anak mess. Untungnya Pakbos DJ datang menghampiri–dan mentraktir–saya. Setidak-tidaknya bisa ngobrol sama kawan lamo yang sudah semakin beruban dan anaknya masih satu itu. Mereka nikah 10-10-10, sudah empat tahun nikah. Waktu itu sih saya datang kondangan, sama pac.. eh, sudah mantan. Uhuk.

BATUK PAK HAJI?

Besokannya, giliran kawan seperjuangan di Segitiga Merah yang menghampiri. Seperjuangan karena dulu sama-sama lembur menghitung output sekian puluh juta anu per hari, sampai jam 11 malam. Ngeri juga kalau dipikir. Heu. Sekarang dia sudah enak, sudah manajer, jadi bisa jalan-jalan pakai mobil. Jadilah saya melihat lagi landmark-landmark yang lama dan baru. Cuma kurang satu, lihat kantor Segitiga Merah yang belum. Saya bahkan lihat kolam yang dulu gede banget sekarang sisa setengah karena setengahnya jadi mall. Lama-lama Kambang Iwak setengahnya dibikin hotel juga kali ya.

Begitulah. Hanya dua kali cabut, dan itu juga nggak lama. Urusan pekerjaan, apalagi saya masih cupu, memang cukup berat. Terlebih ini terbilang naik kelas jika dibandingkan tugas saya sebelumnya. Nggak apa-apa, namanya juga manusia. Pokoknya harus bisa dan pasti bisa. Saya mengakhiri petualangan di hari Sabtu, ke bandara naik Burung Biru yang penuh abu rokok. Yowislah, saya orangnya nggak suka komplain yang macam itu, kurang prinsip kalau menurut saya.

Dipikir-pikir kemudian, kembalinya rute ke Palembang justru bikin saya dapat 1 keuntungan. Kebetulan pajaknya si BG habis 21 November nanti. Pas di Palembang, pas ada Pakbos DJ, pas pulalah saya minta tolong. Hasilnya? Jadi. Ada effort yang sangat dihemat dengan adanya tugas negara ini. Cihuy juga. Pada akhirnya saya harus selalu percaya bahwa Tuhan memiliki rencana baik untuk saya.

Salam super! Uhuk! BATUK PAK MARIO?

Advertisement

5 thoughts on “Enam Petang di Palembang”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.