Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya di sini, jelek-jelek begini saya pernah berada di Manado. Memang bukan kali pertama saya menjejakkan kaki ke Sulawesi, karena beberapa bulan sebelumnya sudah pernah ke Kendari, namun Manado tetaplah menjadi destinasi lumayan menarik. Baik itu menarik dari sisi pemandangan alam, maupun pemandangan berupa manusia alias ceweknya cantik-cantik.
Selama dua malam berada di Manado, saya menginap di Hotel Travello. Hotel ini berada di posisi yang lumayan tengah kota, tepatnya di Jalan Jenderal Sudirman nomor 123. Sebuah nomor yang menjadi alasan saya memilih hotel ini, karena bisa dibaca di bagian lain blog ini bahwa saya itu cinta tiga angka tersebut. Alasan lain? Tentu saja, budget!
Ketika menghubungi Hotel Travello di nomor telepon (0431) 855999, telepon saya diangkat dengan cukup ramah. Eh, kok saya bisa tahu yang ngangkat itu ramah ya? Ya begitulah. Namanya juga hotel, kan harus ramah. Setelah bertelepon ria, saya mendapatkan jumlah kamar yang dibutuhkan, di lantai 8, lantai tertinggi di hotel Travello.
Sore harinya saya datang dan cek in di hotel Travello ini. Rupanya hotel ini tidak jauh dari lokasi utama banjir bandang yang melanda Manado pada tahun yang sudah berlalu. Dekat juga dengan Toko Kawanua, toko oleh-oleh yang lumayan khas. Pun juga dekat dengan pangkalan taksi–ada Blue Bird, serta Alfamart dan dekat pula dengan beberapa hotel lainnya. Hotel Travello ini berada tepat di depan Hotel Sintesa Peninsula yang digadang sebagai hotel terbesar di Manado. Ya, memang sih, dari kejauhan sudah kelihatan besarnya. Driver yang mengantarkan ke hotel bilang bahwa Travello adalah hotel yang dibangun dan diresmikan secara berjamaah menjelang sebuah event besar yang digelar di Manado. Yang meresmikan langsung Pak SBY loh!
Nah, karena jodoh saya adalah lantai tertinggi hotel Travello, maka otomatis saya bisa mendapatkan view yang cukup luas, dan tentu saja otomatis saya naik lift. Apalagi, jendela kamar saya mengarah tepat ke laut! Yeay! Sesudah di Kendari dapat jatah sunrise di teluk, eh di Manado saya bisa dapat sensasi melihat laut dari kejauhan. Bahkan karena view itu, saya sampai nekat berjalan kaki menuju Marina karena berpikiran bahwa laut itu dekat, padahal ya ngos-ngosan juga.
Di Travello, saya mengambil kamar studio, tipe terendah yang paling sesuai budget. Sejurus pandang, kamarnya tampak sempit, tapi memanjang. Sebagai gambaran, di kamar yang saya huni lebarnya hanya sepanjang ranjang plus beberapa puluh sentimeter space untuk sekadar lewat. Walau begitu, area yang terbentuk antara jendela ke ranjang dan ranjang ke pintu lumayan bisa dipergunakan, semisal untuk salat. Kalau untuk kayang, juga masih dimungkinkan. Tapi buat apa?
Seperti biasa, di dekat pintu pasti ada kamar mandi. Itu semacam rumus sudah umum di hotel-hotel kali ya. Mengingat ini kamar studio, kamar mandinya tentu saja mini. Asal bodi nggak gede-gede amat, masih muat kok. Bersisian dengan dinding kamar mandi, ada interior yang rupanya cukup menarik. Ada lemari yang simpel, berikut juga safety box dan semacam minibar yang berukuran mini. Sementara di sisi yang dekat jendela–persis di bawah AC–ada sebuah meja yang bisa digunakan untuk kerja. Di Travello ini kebetulan belum bisa Wi-Fi di kamar, tapi disediakan kabel untuk bisa mengakses internet. Televisi tergantung tepat di depan ranjang posisi bobo cantik, dengan channel yang lengkap. Mengingat setiap kali saya dapat TV kabel pasti langsung nyari CSI Miami, maka ketika saya menemukannya langsung tersimpulkanlah bahwa TV kabelnya lengkap. Hail Horatio!
Sarapan digelar di lantai dua, dan karena sepertinya saya datang tidak di peak season, yang sarapan sedikit. Menu yang disajikan tidak buruk, pun tidak istimewa sekali. Yah, sesuai dengan harga yang dibayar tentu saja. Kalau sekadar bubur Manado, jelas ada.
Satu hal yang cukup mengganggu di Hotel Travello ini adalah bantalnya yang tipis gila. Pakai 1 kurang, pakai 2 kayak 1,5 bantal. Jadi serba salah dan bikin susah tidur. Padahal ranjangnya sudah lumayan empuk dan bikin bobo, apa daya bantalnya mengenaskan.
Kalau mau cari makan, dari hotel bisa jalan ke kiri, ke arah pusat kota. Setidak-tidaknya untuk sekadar makan Texas Chicken bisa digapai hanya dengan berjalan pakai sandal hotel. Hati-hati menyeberang karena kalau malam hari cukup gelap, dan jalurnya adalah jalur angkot biru. Eh, memang semuanya biru sih.
Bagi pemeluk agama Kristen dan Katolik, hotel ini dekat Gereja. Pun dengan kaum Muslim, mesjid juga tidak jauh dan bahkan suara azan bisa terdengar dari jendela hotel yang dibuka. Gereja Kristen kesohor, Sentrum, ada dengan berjalan ke arah kiri. Sedangkan Gereja Katolik, Santo Ignatius, malah ada persis di sebelah kanan hotel. Jadi, kalau mau beribadah tidak terganggu sama sekali.
Kesimpulannya, jika bantalnya diganti–atau traveler bawa bantal sendiri–menginap di Travello cukup direkomendasikan kalau para traveller nan kece serta para PNS yang perjalanan dinasnya dipotong untuk berdinas di Manado. Apalagi pas saya menginap kemaren, ada PNS juga yang membawa SPPD ke resepsionis.
Salam penghematan!
wah, bisa jai refrensi tempat penginapan kalau kapan2 main ke menado nih..
LikeLike
asal bantalnya diganti…. –“
LikeLike