Hari Minggu kala diklat adalah hari penting, tentu saja karena hari Sabtu sudah terenggut keperjakaan untuk pembelajaran. Nah, kebetulan diajak sama anak remah-remah rempeyek untuk nonton di Botani Square, sebuah emol yang sering disingkat… boker.. –“. Maka, sepulang dari misa di Katedral Bogor, segera saya berangkot ke emol paling happening bagi para peserta diklat di bilangan Ciawi tersebut.
Inside Out adalah film yang dituju. Pesona rating IMDb-nya yang sampai 8,6 tentu tiada bisa dilewatkan. Bandingkan dengan Battleship yang pernah direview disini dengan rating 5,9. Pun dengan film sejenis yang tersedia di XXI, Fantastic Four cuma punya rating 3,9! Belum lagi tipenya yang kartun, lumayan untuk menyegarkan otak. Meski jelas akan tiada adegan cium-ciuman, saya tetap turut serta dalam antrean lumayan panjang memperebutkan kursi untuk film ini. Apalagi, rasanya saya nonton terakhir itu bareng Mbak Pacar yang notabene sudah hampir setahun melancong ke London. Beuh.
Woke, mari kita mulai.
Kalau menyaksikan film besutan Pete Docter dan Ronaldo Del Carmen ini jangan keslamur dengan film ‘Lava’ tentang gunung yang kasmaran. Filmnya bukan itu, kok. Mengacu pada pembuatan plot drama tiga babak, bagian dunia tidak sempurna diawali dengan kelahiran Riley Andersen dan munculnya Joy. Pada bagian ini kita akhirnya tahu bahwa maksud dari Inside Out itu adalah adanya personifikasi terhadap suasana hati yang dimiliki manusia. Joy (suara oleh Amy Pochler) muncul dan menjadi pengendali dalam hidup Riley. Sesuai namanya, Joy mewakili perasaan senang. Joy tampak gembira hingga 33 detik kemudian, Riley mulai menangis dan lantas muncul sosok biru-mungil-bantet-tidak-unyu bernama Sadness (suara oleh Phyliss Smith).
Perkenalan demi perkenalan terus dilakukan termasuk pengkondisian latar dari cerita. Selain Joy dan Sadness, tersebutlah Fear, Disgust, dan Anger. Jadi, kelima tokoh tersebut berkuasa menyetir Riley. Ruang kontrol berikut ‘dunia’ yang ada di dalam film ini boleh jadi menggambarkan otak manusia. Setiap peristiwa selalu mengandung satu perasaan dan dalam posisi tertentu akan muncul menjadi ingatan inti. Namanya juga anak-anak, Riley selalu tampak gembira karena Joy memang menguasai ruang kontrol. Joy bahkan sangat mengontrol keberadaan Sadness. Si pembawa sedih itu selalu dilarang macam-macam, termasuk terlibat dalam butiran memori yang dimiliki oleh Riley.
Point of attack dari Inside Out menurut saya adalah ketika keluarga Riley pindah kota, dari Minnesota ke San Fransisco. Suasana rumah yang tenang, banyak teman, dan lainnya kemudian digantikan dengan rumah soak sempit dan jorok di San Fransisco. Belum lagi dengan masalah barang pindahan yang mungkin kesasar ke Gadog sehingga nggak sampai-sampai.
Aspek penolakan dalam terminologi drama tiga babak yang muncul pada Inside Out ini adalah pada momen Riley memperkenalkan diri di sekolah, yang bertepatan dengan problematika yang muncul di ruang kontrol sehingga kemudian Sadness dan Joy terbawa ke tempat di luar ruang tersebut, dengan membawa ingatan-ingatan inti. Riley yang baru berusia 11 tahun itu tidak punya kesenangan dan kesedihan, yang tersisa hanya takut, marah, dan jijik. Maka, sikapnya kemudian menjadi dingin dan membuat kita juga bisa menyimak ruang kontrol Ayah dan Ibu. Kalau Joy adalah leader pada Riley, maka warna biru–Sadness–ada di pusat kontrol Ibu, sedangkan Anger, si merah, ada di pusat kontrol Ayah.
Joy dan Sadness yang terjebak di tempat penyimpanan memori lantas memasuki aspek persiapan perjalanan. Usaha-usaha awal dilakukan untuk bisa kembali dari tepian jurang nan curam menuju ruang kontrol yang letaknya menjulang di langit. Pada momen ini ada dialog yang menarik antara Sadness dan Joy. Joy bilang, “Cobalah berpikir positif!”. Jawaban Sadness? Menarik, karena dia berkata, “Kamu positif akan kesasar.”
Jleb. Mari buat refleksi sendiri untuk pernyataan itu.
Sementara Sadness dan Joy tidak ada di ruang kontrol, ketiga makhluk yang tersisa mencoba untuk mengendalikan Riley, tentu saja dengan obrolan-obrolan yang lucu reflektif. Adapun Joy dan Sadness memasuki masa kemenangan palsu ketika kemudian dia berhasil naik kereta yang akan menuju ruang kontrol, dibantu teman khayal Riley, Bing Bong. Palsu? Yes, karena yang terjadi kemudian justru Joy masuk ke jurang yang berisi kenangan nan terlupakan bersama dengan Bing Bong. Inilah masa kejatuhan dalam pendramaan tiga babak, berkorelasi fase ancaman diam-diam pada saat Anger berhasil memasukkan bohlam ide kabur ke Minnesota pada mesin kontrol.
Di jurang ini kita mulai agak baper, eh, sebenarnya sejak ketemu Bing Bong. Utamanya saat Bing Bong curhat bahwa tidak ada lagi panggilan untuk teman khayalan bagi Riley di masa menjelang remaja itu. Bing Bong benar-benar nyaris terlupakan, namun tidak melupakan. Dengan upaya keras, Bing Bong dan Joy berhasil melakukan kerjasama untuk membawa kembali ingatan inti ke ruang kontrol. Dan disinilah ada adegan yang boleh jadi bikin kita akan menangis dan mengerti makna pengorbanan, pada saat Bing Bong berkata, “take her to the moon for me, Joy.”
*elap ingus*
Bisa kembalinya Joy dari jurang ingatan nan dilupakan segera menjadi fase kebangkitan dalam Inside Out ini. Dia segera mencari Sadness untuk membawa si biru itu kembali bersama-sama ke ruang kontrol. Terjadilah pertarungan terakhir yang kemudian berhasil membawa Joy dan Sadness ke ruang kontrol. Gimmick yang bagus adalah bagaimana keduanya bisa lantas masuk kembali ke ruang kontrol. Sederhana, tapi keren, maka sila saksikan.
Inside Out ini menyajikan happy ending, tentu saja, ketika lantas Riley menjelma menjadi remaja persis ketika ruang kontrolnya telah diservis plus tombol “Puberty”. Gimmick lain khas Pixar muncul di penutup, saat ruang kontrol banyak orang, pun hewan ditampilkan. Lucu-lucu pokoknya. Oh, endingnya bagaimana? Maaf, no spoiler. Monggo disaksikan sendiri saja, dan jangan beli bajakannya.
Terlepas dari adegan wagu ketika ada mimpi gigi rontok tapi jatuhnya dari atas mata, film ini sesuai dengan rating IMDb, top. Ide untuk mempersonifikasikan otak ke dalam lima karakter adalah sesuatu yang brilian. Termasuk pemilihan lima jenis emosi, itu sungguh saya acungi jempol–termasuk pinjam jempol orang. Namun sesungguhnya saya ragu apakah ini film anak-anak atau bukan. Terlepas dari fakta bahwa saya adalah FSGK (Fans Spongebob Garis Keras), namun perspektif Inside Out dan Spongebob sama, ada personifikasi yang menabrak logika. Menyaksikan Spongebob adalah lucu ketika di laut ada api unggun, ada hujan, ada ombak, ada bunga. Menyaksikan Inside Out berarti di dalam otak ada lima makhluk lagi berantem menguasai mesin kontrol. Maka, bimbingan orangtua jelas diperlukan. Tentu saja penting karena Inside Out ini sangat digemari oleh anak-anak, sejauh yang saya lihat.
Riley juga menggambarkan pola hidup seseorang. Riang gembira belaka ketika kecil, lantas masalah demi masalah muncul ketika remaja. Bukankah banyak dari antara kita yang mengalami kejatuhan ekonomi orang tua atau apapun yang buruk tentang keluarga di usia-usia Riley? Mirip Ais dalam Keluarga Cemara, kalau saya bisa persandingkan. Maka, buat anak-anak yang bernasib serupa, menyaksikan Inside Out ini sungguh baper. Bisa menangis bukan karena filmnya, namun karena memang masalah itu pernah dialami. Yes, berapa juta anak muda di dunia yang pernah berniat untuk kabur dari rumah dengan alasan apapun? Banyak, saya saja pernah berniat yang sama.
Maka, logislah kala modal 17 juta dollar yang dikeluarkan Pixar sudah kembali banyak. Film ini memang top markotop. Namun lebih top lagi ketika sesudah menonton, kita berefleksi. Bahwa senang butuh sedih, sedih butuh senang, semua hal butuh keseimbangan. Itulah kesimpulan Inside Out versi saya.
Adapun tokoh favorit saya dalam kisah ini adalah Sadness. Yes, anak melankolis macam saya tentu punya perspektif mirip si biru ini. Kemunculan pertamanya yang lucu, tingkahnya yang selalu menyentuh ingatan inti meski selalu dilarang, hingga refleksi paling menarik dalam quote ini, “Crying helps me slow down and obsess over the weight of life’s problems”. Sebuah statement yang jelas bisa diperbebatkan dari sisi psikologis maupun pekerjaan motivator, tapi buat saya itu mengena.
So, jika ada waktu, monggo saksikan film ini. Tidak banyak film bernuansa anak-anak yang punya nuansa refleksi dan nuansa bawa perasaan sedalam Inside Out. Plus, semoga ke depannya saya bisa nonton lagi sama gadis sendiri, bukan sama gadis orang maupun calon gadis orang, seperti saat saya nonton Inside Out ini. Uhuy.
Salam Sadness!
One thought on “[Review] Inside Out”