Sesudah Moda Raya Terpadu alias Mass Rapid Transit (MRT), di Jakarta sudah ada juga moda transportasi baru nan ngehits lainnya. Namanya adalah Light Rapid (atau Rail, yak?) Transit alias LRT. Katanya Ustadz Hilmi dalam status FB saya, LRT itu di-anjungan tunai mandiri-kan sebagai Lintas Raya Terpadu.
Karepmulah.
LRT Jakarta ini sejatinya baru sebagian kecil dari LRT Jakarta yang direncanakan. Letaknya juga agak ajaib yakni dari Pegangsaan Dua Kelapa Gading ke Velodrome Rawamangun. Iya, hanya sekitar 6-7 kilometer, kalau tidak salah.
NAIK OJOL JUGA NGGAK SAMPAI 10 RIBU, GAES~
Ya, tadinya LRT Jakarta–yang berbeda dengan LRT-nya BUMN besutan Adhi Karya dkk di sekitar Sentul ke Dukuh Atas–fase 1 ini direncanakan untuk menunjang Asian Games 2018.
Apa daya, nggak terkejar. Walhasil, rangkaian kereta yang sejak 1-2 bulan sebelum Asian Games 2018 sudah ada di Kelapa Gading itu belum terpakai. Jadi, rencana dia sebagai fase 1 yang dibuat untuk menunjang event besar gagal total.
Untungnya LRT di Palembang nggak gagal juga. Heuheu.
Di bawah Anies Baswedan, LRT Jakarta ini disebut tidak buru-buru, demi bisa maksimal persiapannya. Karena saya juga mengalami bahwa MRT yang sudah uji publik lama sekalipun, ketika ada gangguan KRL dan banyak yang migrasi ke MRT, banyak ketidaksiapan juga.
Saya sendiri memprediksi bahwa LRT Jakarta ini akan kurang laku, karena sebagaimana M. Taufik dari Gerindra bilang bahwa nggak jelas siapa yang akan naik jurusan ini, apalagi toh jaraknya sangat terjangkau dengan ojek online. Meski demikian, rupanya LRT Jakarta sangat mempersiapkan diri dengan baik.
Saya mendapat kesempatan mencoba LRT Jakarta tersebut beberapa hari yang lalu. Saya naik dari Halte Velodrome setelah terlebih dahulu mendaftar online. Stasiun Velodrome letaknya pas di depan Velodrome Rawamangun. Jadi, persis di depan Arion Rawamangun. Stasiun ini terkoneksi dengan Halte Pemuda Rawamangun. Pas saya ke lokasi, jembatan konektornya sedang dalam progress dengan tanda-tanda akan dibuat Instagram-able seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan Sudirman.
Koneksi ini penting dan boleh jadi akan memperkuat peran jalur TU Gas/Pulo Gadung – Dukuh Atas yang selama ini termasuk jalur yang banyak dibantu rekayasanya, terutama di sekitar Jalan Proklamasi yang muacettt itu.
Operasi LRT dalam uji publik ini baru pakai 2 rangkaian saja. Bahkan lebih pendek dibandingkan operasional LRT di Palembang. Stasiun LRT Jakarta sendiri dikondisikan untuk lebih dari jumlah itu. Ya, nggak apa-apa, namanya juga uji publik.
Satu hal yang unik dan pasti disadari adalah bahwa pemandangannya pasti tidak menarik karena jalur yang dilintasi sebenarnya adalah perumahan. Jadi, isinya ya atap-atap-atap begitu saja. Lajunya juga sama pelannya dengan LRT Palembang. Mungkin memang LRT itu ya demikian kecepatannya.
Stasiun LRT ini menurut saya bagus-bagus, sih. Pindah jalurnya harus lewat atas, berbeda dengan MRT yang dari bawah. Ada eskalator, ada juga tangga.
Jalur pendeknya memang baru terdiri dari Stasiun Velodrome, Stasiun Equestrian (Pacuan Kuda), Stasiun Pulo Mas, Stasiun Kelapa Gading Boulevard, Stasiun Mall Kelapa Gading (MKG). Padahal di layarnya ditulis Pegangsaan Dua. Heuheu, mungkin itu diponya.
Jalur LRT ini rencananya akan diperpanjang kemana-mana. Studi sudah ada, namun keputusannya tentu di tangan bos-bos. Yang jelas, dengan nanti harga 5.000, mari berharap bahwa LRT Jakarta ini bakal jadi objek wisata layaknya MRT sehingga bisa agak laku.
Ada satu hal yang saya apresiasi dari uji publik LRT Jakarta dan wajib ditiru setidaknya oleh LRT Jabodetabek kelak, yaitu keramahan petugasnya!
Sejak eskalator stasiun hingga petugas di dalam kereta sangat ramah dan tampak benar kematangan brief-nya. Jadi penumpang juga nyaman. Dalam hal ini, baik uji publik maupun running MRT pas awal-awal saya bisa vonis kalah jauh. Betul bahwa jumlah penumpang dan hal-hal lain bisa mempengaruhi, namun demikian tetap saja ada value ciamik yang diterapkan oleh LRT Jakarta dalam pelayanannya. Saya harapkan nilai plus ini bisa dipertahankan bahkan hingga pengembangannya kelak.
Soal kelakuan orang Indonesia yang gemar melanggar peraturan dan egois, ya tetap bisa kita temui di LRT ini. Sama persis ketika saya pertama kali mencoba MRT juga, misalnya ya berdiri di depan pintu ketika arus orang keluar kereta masih banyak. Pengguna rutin di Commuter Line Tanahabang masih lebih bermartabat dalam hal ini.
Kemungkinan besar, kelakuan ini juga disebabkan oleh petunjuk yang menggunakan keramik, bukan garis-garis seperti di MRT atau cat seperti di beberapa stasiun KRL. Jadi, boleh jadi nggak paham juga ada aturan itu. Mungkin pihak LRT Jakarta bisa menutupi keramiknya dengan stiker berwarna ngejreng karena nggak mungkin keramiknya diganti. Kan boros.
Dengar-dengar, uji publik diperpanjang. Jadi masih ada waktu untuk mencoba LRT Jakarta. Yuk~
bagus
LikeLike