Keselamatan lalu lintas adalah hal yang selalu saya utamakan, terutama sejak kurang lebih 7 tahun silam menyaksikan sendiri orang meregang nyawa di pangkuan saya–dan beberapa orang lain di sekitar yang peduli–sesudah sebelumnya orang tersebut mengalami kecelakaan lalu lintas.
Ngomong-ngomong, saya berani mengangkat korban karena ketika itu saya masih floor warden di pabrik, sehingga masih punya kompetensi untuk penanganan kecelakaan semacam itu, karena memang dilatih. Kalau sekarang sih sudah nggak kompeten jadi mungkin nggak akan berani.
Sebagai pemilik sertifikasi Manajemen Risiko, saya tentu paham bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Banyak kasus orang lagi santai-santai menunggu lampu merah, eh, diseruduk dari belakang. Akan tetapi, ada banyak hal yang bisa kita kontrol dalam menegakkan keselamatan lalu lintas yang ujung-ujungnya ya untuk membuat kita atau orang lain tetap bernyawa~
Nah, salah satu cara untuk bisa berkontribusi pada keselamatan lalu lintas adalah dengan naik transportasi umum, seperti bis, KRL, atau juga yang akan segera hadir: MRT. Namun, karena transportasi umum khususnya di Jakarta masih terus berbenah, maka muncul demand baru, yakni transportasi ringkas dari stasiun terdekat ke kantor dan sebaliknya.
Ceruk inilah yang tadinya dilayani oleh ojek pangkalan maupun bajaj, yang kemudian dikuasai oleh ojek online. Yup, si fenomena baru transportasi Indonesia dengan 2 pemain utama, Go-Jek dan Grab itu PASTI BANGET kita lihat atribut, baik jaket maupun helmnya, di jalanan.
Saya sendiri, misalnya, menghabiskan 30-40 persen gaji untuk biaya transportasi online ini. Maklum, sobat misqueen jadi rumah jauh di Tangerang, padahal kerja di Jakarta Pusat.
Jumlah perjalanan yang dilakukan oleh ojek online ini sungguh nggak main-main. Grab, misalnya, mencapai 2 miliar perjalanan pada Juli 2018, eh kok pada akhir Januari 2019, mereka sudah merilis perjalanan ke 3 miliar! Jadi, hanya dalam waktu 6 bulan, Grab sudah melakoni 1 miliar perjalanan.
Memang, itu angka global, namun kita tahu sendiri bahwa di Indonesia, khususnya di Jakarta, pasar Grab termasuk yang terbesar. Porsi Jakarta dari yang 1 miliar itu bisa dipastikan besar sekali.
Pada Maret 2018, diketahui bahwa di Indonesia, jumlah pengemudi ojek online sudah mencapai 1 juta orang, terdiri dari Go-Jek, Grab, dan kala itu Uber. Jumlah yang tidak kecil dan sudah pasti akan sangat menunjang keselamatan lalu lintas.
Sebagai penumpang, sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan untuk mendukung peran ojek online dalam keselamatan lalu lintas. Poinnya, bahkan justru kita yang nggak bawa kendaraan ke Jakarta malah bisa menjadi pahlawan dalam keselamatan lalu lintas.
Kok bisa? Ini dia 7 caranya!
1. Pakai Transportasi Massal
Seperti sudah dijelaskan tadi, dengan menjadi pengguna transportasi umum bin massal seperti bis, KRL, dan MRT, sebenarnya kita sudah menjadi pengurang potensi kecelakaan dengan mengurangi jumlah kendaraan baik roda 2 maupun 4 yang masuk ke Jakarta. Dari sisi itu saja, para pengguna transportasi umum yang kemudian butuh ojek online dari stasiun ke kantor dan sebaliknya, sudah bisa dibilang pahlawan keselamatan lalu lintas.
2. Banyak Baca Tentang Keselamatan Lalu Lintas
Korlantas Polri bersama dengan Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) dan Relawan Lalu Lintas Indonesia (Relasi) sedang giat menggelar Millenial Road Safety Festival 2019 untuk mendukung ketertiban lalu lintas dan keselamatan berkendara bagi generasi muda. Hal itu didasari dari fakta bahwa perilaku berkendara yang tertib dan aman masih jadi tantangan dan terlihat dalam keseharian pengendara yang menjadi faktor risiko perjalanan dengan tidak tertib pakai helm maupun memakai smartphone kala mengemudi, sering ditemui pada pengendara usia 17-35 tahun alias kaum millennial.
Cocok, toh, sama Bapak Millennial?
Nah, dalam festival ini banyak konten-konten beredar tentang keselamatan lalu lintas. Sembari nunggu ojol, bisa lho kita cek konten-konten tersebut demi menambah ilmu. Post ini termasuk salah satunya.
3. Tidak Perlu Pesan Duluan
Saya pernah ada di Stasiun Kebayoran dan mengintip layar ponsel orang di sebelah saya sudah memesan ojek online di Stasiun Tanah Abang! Padahal, dari turun KRL saja ke Halte Jatibaru tempat orang biasa janjian dengan ojek online sudah butuh waktu minimal 7 menit. Saya paham betul, soalnya tiap hari pakai jalur itu.
Atau juga sering kejadian pada jam pulang kerja, orang-orang sudah pesan ojek online padahal mereka masih di lantai 28 dan nunggu lift-nya biasanya 15 menitan.
Tahu nggak, bahwa para ojek online itu kemudian tiba di tempat janjian yang rata-rata adalah pinggir jalan dan mereka ngetem lama di situ karena penggunanya belum hadir, dan itu tidak hanya dilakukan 1-2 orang. Jadinya apa?
Betul sekali! MACET, SAUDARA-SAUDARA!
Seperti di Tanah Abang, misalnya. Kecuali ada demo ojek online atau hujan deras, maka tidak akan ada yang namanya kekurangan armada ojol. Jadi, tidak perlu pesan dari jauh-jauh waktu. Justru itu menjadi penyumbang kemacetan dan malah jadi faktor risiko dalam tidak tercapainya keselamatan lalu lintas.
4. “Cuma Dekat” Nggak Akan Bikin Aspak Jadi Lebih Empuk, Lho~
Yang saya kisahkan di atas, soal kecelakaan, itu nyata! Dan itu bahkan pengendaranya pakai helm bagus, nabrak trotoar, helmnya pecah, kepalanya terbentur dan jadi penuh darah. Bisa bayangkan kalau dia tidak pakai helm? Jangan-jangan kepalanya bisa tidak berbentuk. Hiii. Ngeri.
Yang sering terjadi, pengguna ojol atas dasar rambut takut lepek dan malas pakai helm menolak helm yang disodorkan driver dengan alasan “cuma dekat”. Padahal, mau jauh atau dekat, kalau kepala kena aspal, itu sama saja sakitnya.
5. Nyeberang Nggak Ada Salahnya, Kok
Kantor saya di Jalan Percetakan Negara. Jalan itu tidak lebar sehingga jika jam pulang kerja antara angkot, orang pulang kerja, taksi, bis jemputan, hingga ojol tumpah ruah jadi satu. Kadangkala, driver datang dari arah Rawasari, sementara saya mau ke Tanah Abang.
Kalau saya pemalas, saya akan nunggu di depan kantor sampai driver dari arah Rawasari menyeberang ke kantor saya yang ada di sisi Perum Percetakan Negara. Gaes, dalam kondisi sangat padat, orang pindah sisi jalan saja bisa jadi faktor risiko. Bisa dia keserempet atau bisa juga dia bikin macet.
Maka, kalau memang demikian, nggak ada salahnya kita menyeberang sehingga driver ojol tidak perlu pindah jalur dan malah mencemplungkan diri dalam risiko keselamatan lalu lintas.
6. “Cuma Dikit” Nggak Akan Bikin Kendaraan Dari Arah Yang Benar Melambat
Sering terjadi pula, misalnya di dekat Stasiun Kalibata, pengguna ojol memaksa driver untuk melawan arus sedikiiiiitttt, semata-mata demi nggak berputar. Sedikit, sih, sedikit. Tapi kalau ada apa-apa karena melawan arus itu, yang salah ya tentu saja yang ditabrak.
Jalur itu sudah ada yang punya, sesuai arahnya. Memaksa driver untuk melawan arah itu justru membuat kita yang dari nomor 1 sampai nomor 5 jadi pahlawan keselamatan lalu lintas, malah menjadi penyakit bagi keselamatan lalu lintas itu sendiri.
7. Tegur Driver Itu Boleh, Lho
Sering sekali driver nggak tahu jalan dan mengandalkan GPS. Itu sih nggak masalah. Jadi perkara ketika dia lihat map-nya dengan satu tangan sambil tangan kanan menarik gas. Itu BAHAYA dan itu mempengaruhi keselamatan kita juga. Nggak usah malu-malu, tegur saja. Kalau memang driver tidak tahu jalan dan kita tahu kan tinggal bilang, “nanti saya arahkan”. Atau kalau sama-sama tidak tahu, kita sebagai penumpang bisa membantu dengan buka maps sendiri, meskipun tetap harus hati-hati karena banyak jambret.
Demikian 7 Tips Menjadi Pengguna Ojek Online yang Peduli Keselamatan Lalu Lintas, sederhana tapi akan sangat membantu jika diterapkan.
Yuk, sama-sama menjadi millennial pahlawan keselamatan lalu lintas!
“Woy, lo bunuh diri jangan ajak-ajak dong!” itu kalimat yang selalu saya sampein kalo driver ojek tiba-tiba langgar aturan lalin. Setuju untuk ga ragu negur, setuju juga untuk ngga selalu ngasih bintang 5 buat driver yang liar (ga bisa diatur).
LikeLike
Huehuehue…. (((ngajak-ngajak)))
LikeLike