Mengapa domain penting untuk bisnis? Pertanyaan mendasar itu tentunya berkelindan di benak banyak orang, terutama pelaku bisnis zaman sekarang. Bukankah sudah ada media sosial? Masak nggak cukup?
Sebelum sampai pada 7 alasan mengapa domain penting untuk bisnis, pertama-tama mari kita mengenali domain itu sendiri.
Apa Itu Domain?
Secara sederhana, domain dapat disamakan dengan alamat suatu tempat di internet. Jika kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ada di Jalan Veteran III Jakarta, maka orang-orang yang ada perlu dengan BPIP pasti akan mampir ke Jalan Veteran III tersebut.
Nah, dalam konteks internet, alamat BPIP adalah di bpip.go.id, yang artinya jika orang-orang ada perlu dengan BPIP maka akan mampir ke bpip.go.id. Karena ini internet, maka mampirnya nggak perlu pakai ojek online segala macam. Sambil tidur-tiduran juga bisa.
Penamaan domain adalah identik, sehingga tidak akan ada dua domain ariesadhar.com, misalnya, yang eksis di dunia ini. Dan seperti sewa rumah, domain itu ada masa kontraknya.
Misal, beberapa waktu silam saya punya domain fplngalorngidul.xyz yang ketika jatuh tempo tidak saya perpanjang. Sesudah periode itu, domain tersebut jadi vacant dan bisa saja diambil oleh orang lain, meskipun sebelumnya saya sudah mencitrakan diri sebagai pemilik domain itu.
Apa Itu Ekstensi Domain?
Kita mengenal Top Level Domain (TLD) yang dikenali dari ekstensi akhir sesudah dot berupa tiga huruf atau lebih. Pengecualian untuk hal ini adalah penggunaan ekstensi .mil yang khusus untuk mililter dan .gov yang khusus untuk pemerintahan (government).
Beberapa contoh TLD yang kita kenali adalah .com atau .org. Di Indonesia belakangan ramai juga .tv dan .co sebagai TLD yang jamak digunakan.
Ada juga yang disebut country code Top Level Domain atau ccTLD. Biasanya dikenali dengan identitas berupa kode masing-masing negara. Seperti Malaysia dengan .my atau Singapura dengan .sg, dan Indonesia dengan .id.
Penggunaan di Indonesia sudah tentu kita kenali, seperti .id untuk penggunaan masif personal, komunitas, hingga bisnis. Ada juga yang sudah lama kita kenali dalam rupa .co.id dan .or.id. Penggunaan untuk kampus, misalnya UI dengan alamat ui.ac.id. Demikian pula dengan akun-akun pemerintah seperti bpip.go.id atau kemenkeu.go.id.
Bagaimana Dengan Domain Gratis?
Yang dijelaskan dengan TLD itu tadi pada umumnya adalah berbayar. Kalau hanya sekadar ingin lapak atau domain, tentunya kita bisa mendapatkannya dari internet, antara lain melalui blogger.com dengan ekstensi .blogspot.com maupun juga di WordPress dengan ekstensi .wordpress.com.
Jadi ingat dulu blog ini bermula ya dari ariesadhar.wordpress.com juga. Si FPL Ngalor Ngidul sebelum jadi fplngalorngidul.xyz juga adalah fpl-ngalorngidul.blogspot.co.id.
Hanya saja, kalau iseng-iseng kita cermati jika terima SMS penipuan undian berhadiah, maka umumnya memakai domain-domain gratis seperti undianberhadiah.blogspot.com dan sejenisnya. Selain itu, siapapun bisa bikin domain untuk kemudian ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.
Pada intinya adalah kredibilitas. Dengan penggunaan domain TLD, suatu entitas, baik usaha atau hanya sekadar personal seperti saya, akan lebih meningkat kredibilitas peredaran di dunia maya daripada dengan domain gratis.
Manfaat Domain Untuk Bisnis
Sesudah membahas domain, mari kita langsung fokus ke manfaat untuk bisnis itu tadi. Supaya tidak berkepanjangan seperti pacaran beda agama~
1. Terhubung Dengan Mesin Pencarian
Sekarang ini, setiap kali kita ingin tahu sesuatu, maka larinya pasti ke Google. Bayangkan jika secara sekilas orang mendengar bisnis kita dan ingin tahu lebih lanjut tapi tidak bisa menemukannya di mesin pencari Google maupun yang lain karena kita tidak menyediakan rumah di internet? Sudah jelas, opportunity loss!
Rheinald Kasali bilang era sekarang adalah era disrupsi, ketika masyarakat mengeser aktivitas di dunia nyata ke dunia maya alias internet. Jadi, di era sekarang, kalau sebuah bisnis tidak punya alamat di internet, maka bisa dihitung potensi pendapatan yang gugur.
2. Terlihat Sebagai Bisnis Kredibel
Domain itu berbayar sehingga menandakan keseriusan suatu bisnis untuk berkembang. Kita ingat dong beberapa tahun lalu dalam rangka quick count Pemilihan Presiden ada beberapa lembaga dengan hasil yang berbeda. Meskipun yang berbeda ada beberapa lembaga, namun ada satu yang paling kena bully.
Alasannya? Karena lembaga survei itu mencantumkan alamat dengan domain wordpress.com! Jadilah lembaga ini dipermalukan sana-sini, apalagi survei seperti itu kan uangnya besar, masak hanya bayar domain saja tidak bisa? Dimana kredibilitasnya?
3. Alat Bantu Branding
Sekarang ini sampai ke personal saja sudah menggunakan domain sebagai alat bantu branding, apalagi suatu entitas bisnis. Blogger kondang merangkap tukang koran di Oz, Farchan Noor Rachman, misalnya, punya efenerr.com dan identitas ‘efenerr’ itu digunakannya untuk akun media sosial lainnya. Dengan demikian personal branding-nya menjadi sangat ciamik.
4. Etalase Nyaris Tanpa Batas
Kalau kita punya bisnis di ruko, misalnya, ada keterbatasan ruang. Produk buku di toko terkemuka juga ada keterbatasan waktu untuk dipajang karena begitu nggak laku langsung turun. Sementara itu, tidak setiap saat orang ingin berkunjung ke toko.
Dengan adanya domain dan website, pelaku bisnis seperti punya etalase tanpa batas untuk memajang produknya, dari sisi apapun dengan informasi selengkap apapun, tanpa harus terkendala seperti di toko. Calon konsumen jadi lebih enak jika ingin tahu ini dan itu tentang suatu produk.
5. Mempermudah Akses ke Bisnis
Dengan domain dan website, maka setelah etalase diperlihatkan, ujungnya bisa saling kontak dengan informasi yang ditampilkan. Bayangkan jika tidak ada domain dan tidak tahu mau kontak siapa untuk membeli sesuatu yang ternyata dimiliki suatu bisnis?
6. Hemat Waktu
Percayalah, utak-utik domain dan website itu jauh lebih hemat waktu daripada harus promo sana sini di era disrupsi. Cukup satu periode waktu pasang informasi produk, waktu lainnya kita hanya perlu update. Bayangkan waktu yang bisa dihemat dalam hal ini?
7. Benefit Lebih Tinggi Dari Cost
Dalam teori Cost Benefit Analysis, sesungguhnya potensi benefit yang akan diperoleh jauh lebih tinggi daripada cost yang dikeluarkan untuk suatu domain, tentunya dengan sejalan dengan 6 hal yang juga telah dipaparkan di atas.
Jangan lupa, suatu alamat harus ada lahannya–yang di dunia internet dikenal dengan hosting. Jangan khawatir bahwa hosting ini akan menguras uang karena cukup banyak hosting murah yang bisa kita peroleh, antara lain melalui Rumahweb.
Ketika bicara tentang bencana, saya akan selalu teringat dengan dokumentasi pribadi saya yang satu ini:
Ya, hingga setahun kemudian, saya masih sangat ingat rasanya berada di atas jembatan kebanggan masyarakat Palu itu. Betapa ketika berdiri di anjungan, ada getaran yang cukup terasa ketika mobil melintas. Teringat juga betapa saya mengagumi keindahan Teluk Donggala dari atas jembatan yang biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk melihat buaya yang tersangkut ban.
Kita semua tahu, bahwa jembatan itu, tepat 28 September 2018 sudah menjadi seperti ini:
Doa saya kepada para korban jiwa dalam gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan sekitarnya. Palu adalah tempat yang cukup istimewa buat saya pertama-tama karena rekan-rekan kerja saya di kota tersebut terbilang orang-orang baik dan sangat mudah diajak bekerja sama demi kepentingan organisasi. Jadi, saya tidak pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan di Palu. Semuanya baik, termasuk keindahan monumen Nosarara Nosabatutu, termasuk juga enaknya Kaki Lembu Donggala-nya.
Bencana Dalam Berbagai Perspektif
Oleh BNPB dan regulasi kebencanaan di Indonesia, bencana didefinisikan sebagai perisitwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Lebih spesifik, BNPB juga membagi bencana ke dalam tiga bagian. Pertama, bencana alam yang didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Kedua, bencana non alam yang dimaknai sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Ketiga, bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Dalam perspektif lain, sebuah buku berjudul Disaster Management mengklasifikasi bencana menjadi 2, yakni berdasarkan durasi waktu hingga terjadi bencana dan berdasarkan parameter yang memicu.
Berdasarkan durasi waktu hingga terjadinya, bencana didefinisikan sebagai Rapid Occuring Disasters dan Slow Occuring Disasters. Sedangkan berdasarkan parameter pemicunya, bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana alam yang dipicu intervensi manusia, dan bencana yang secara khusus hanya dibuat oleh manusia.
Untuk memahami definisi bencana dari perspektif pemicunya, akan lebih mudah jika kita melihat infografis berikut ini:
Berdasarkan infografis di atas, sekilas kita bisa melihat bahwa manusia hanya tidak bisa ikut campur sebagai penyebab pada 1 jenis saja yaitu natural. Sisanya? Mau sedikit atau bahkan menjadi penyebab sebenarnya, peran manusia itu ada. Peran kita itu nyata.
Pengalaman Bencana
Hari Sabtu pagi, 27 Mei 2006, saya ada jadwal ujian pukul 8 pagi. Belum lagi pukul 6 ketika saya terbangun oleh getaran yang cukup kencang. Karena saya besar di Bukittinggi, sebenarnya guncangan gempat sedikit-sedikit adalah hal yang biasa. Akan tetapi, pagi itu guncangannya begitu kencang.
Saya bergegas keluar sembari mengumpulkan kesadaran. Di depan kos saya ada sebuah bak air. Saya melihat belum bak air itu bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan menumpahkan air di dalamnya. Sesungguhnya, saya langsung sadar bahwa itu adalah gempa terbesar dan terlama yang pernah saya rasakan.
Ketika itu, status gunung Merapi yang posisinya dapat saya lihat dengan mudah dari kos juga sedang naik. Konteks tersebut yang kemudian membuat saya berasumsi bahwa gempa ini adalah karena gunung Merapi. Meskipun kemudian saya sadar bahwa gunung Merapi itu adalah gunung aktif dengan lubang pelepasan energi yang cukup besar. Artinya, sifat pergerakannya tidak akan membuat goncangan untuk lokasi belasan kilometer di selatan dengan intensitas sekencang itu.
Sumber: Kumparan
Sebelum kemudian listrik terputus, saya masih sempat menyalakan televisi untuk mendapat informasi sekilas bahwa gempa barusan bersumber dari arah selatan, bukan dari Merapi. Guncangannya memang ‘hanya’ 5,9 skala Richter. Namun, karena gempanya ternyata dangkal dan berada pada jalur yang padat penduduk, maka jumlah korbannya menjadi luar biasa banyak. Ada lebih dari 6 ribu korban tewas dalam peristiwa ini.
Hari-hari berikutnya, dunia tidak lagi sama untuk saya. Sesungguhnya dalam peristiwa itu, meskipun saya merasakan sekali goncangan yang terjadi, saya bukanlah korban, tidak pula terdampak.
Korban adalah orang/sekelompok orang yang mengalami dampak buruk akibat bencana, seperti kerusakan dan atau kerugian harta benda, penderitaan dan atau kehilangan jiwa. Korban dapat dipilah berdasarkan klasifikasi korban meninggal, hilang, luka/sakit, menderita dan mengungsi.
Penderita/terdampak adalah orang atau sekelompok orang yang menderita akibat dampak buruk bencana, seperti kerusakan dan atau kerugian harta benda, namun masih dapat menempati tempat tinggalnya.
Saya kemudian turut serta menjadi relawan di tiga rumah sakit besar di Yogya yakni RS Panti Rapih, RS Bethesda, dan RS Sardjito berikut satu posko bantuan Jesuit Refugee Service (JRS). Semuanya saya lakoni dalam waktu 2 pekan.
Pengalaman Recovery Bencana
Dalam 2 pekan tersebut, saya terlibat aktif dalam upaya recovery pasca bencana, utamanya dalam aspek kesehatan. Hari pertama adalah pekerjaan fisik, terutama pada gedung-gedung yang terdampak. Pada posisi ini, untuk pertama kalinya seumur hidup, saya melihat mayat-mayat bergelimpangan. Itulah sebabnya saya bilang bahwa peristiwa itu tentu membuat hidup saya berbeda. Sebuah pengalaman introspektif yang luar biasa.
Hari-hari berikutnya, sebagai mahasiswa farmasi, saya dan teman-teman aktif di posko yang dibuka di rumah sakit. Mengelola bantuan, mendistribusikannya hingga ke perawat dan pasien, berbincang dengan pasien tentang kehilangan, hingga hal-hal remeh tapi menyebalkan khas bencana seperti obat bantuan yang kedaluwarsa dan dikirim pada tengah malam buta.
Pada tahun 2008, sebagai pungkasan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias, saya mendapat kesempatan terbang ke Nias guna menjadi bagian dari penyelesaian rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh dan Nias empat tahun sebelumnya khusus pada area obat dan logistik medis.
Tidak jauh dari pengalaman sebelumnya, namun tentu berada di sebuah pulau yang sangat akrab dengan gempa menjadi pengalaman yang berbeda. Saya masuk ke berbagai Puskesmas yang ada di pulau Nias sembari menikmati jalan yang sudah mulus sebagai hasil rehabilitasi. Meski begitu, saya juga mendapati bahwa dalam sebuah proyek perbaikan yang sedemikian masif, masih sangat banyak hal-hal yang dirasa kurang, antara lain adalah pengelolaan pada obat-obat bantuan yang hingga 4 tahun pasca bencana memang masih ada distribusinya.
Di Nias pula saya melihat alam yang berubah. Dalam sebuah perjalanan ke Nias Selatan, saya tiba di sebuah pantai yang menurut kisahnya sebelum gempa adalah spot dengan ombak tinggi yang dicari oleh peselancar. Ketika saya dan rombongan sampai ke tempat itu, kisah tersebut sudah tiada. Gerakan gempa menjadikan tempat itu tidak lagi asyik untuk berselancar, meskipun kemudian posisinya berpindah ke sisi lain dari garis pantai. Ya, sebuah dinamika alam di negeri yang merupakan ring of fire.
Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita
Ketika tulisan ini dibuat, sebagian wilayah Indonesia, utamanya di Sumatera dan Kalimantan sedang diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Berbasis data BNPB, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, kebakaran hutan bersama dengan banjir memang menjadi jenis bencana dengan frekuensi cukup besar kejadiannya di Indonesia.
Gempa, dan terlebih tsunami, terbilang jarang. Walau demikian, pada saat terjadi memang berdampak besar dalam konteks jumlah korban jiwa.
Hal yang menarik jika kita mengacu pada peran manusia dalam bencana sebagaimana literatur di atas adalah bahwa frekuensi yang paling banyak kejadiannya di Indonesia memanglah bencana-bencana dengan intervensi manusia yang sangat besar.
Artinya?
Ya, kita para manusia ini sebenarnya punya andil dalam terjadinya bencana. Tidaklah aneh ketika BNPB sebagai badan nasional yang diamanatkan menjalankan tugas penanggulangan bencana menggaungkan ‘kita jaga alam, alam jaga kita’, karena faktanya ‘kita’ sebagai manusia punya andil dalam 80 persen jenis bencana sebagaimana tampak pada infografis di bawah ini berupa kejadian bencana 10 tahun terakhir baik bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial.
This slideshow requires JavaScript.
Kita sebagai manusia sesungguhnya harus aktif merawat alam maupun lingkungan tempat tinggal kita. Hanya dengan tindakan seperti itulah, alam akhirnya akan merawat kita pula. Mari berkaca pada kejadian bencana seperti banjir dan longsor. Dua jenis bencana itu adalah bukti nyata bahwa keseimbangan alam terganggu dengan aktivitas yang dilakukan manusia. Demikian pula dengan pendangkalan sungai, penggunaan bantaran sungai sebagai pemukiman, maupun juga pemanfaatan lahan secara tidak tepat menjadi pemicu banyak bencana di Indonesia.
Perlu diingat, bahwa angka-angka yang ada pada statistik bencana sejatinya bukanlah sekadar angka belaka. Ada tangis perpisahan dengan para korban, ada kehilangan dari orang-orang tercinta, ada juga hasil kerja keras bertahun-tahun yang luluh lantak begitu saja karena bencana. Jika mengingat hal ini, semestinya kita akan lebih berupaya untuk sadar bencana.
Saya pernah kebetulan mampir di sebuah pemukiman yang ada di bantaran sungai, sekadar hendak beli gorengan karena sedang lewat. Saya iseng bertanya tentang banjir kepada pemilik warung. Jawabannya, sungguh mengejutkan.
“Ya, kan banjir juga paling setahun sekali. Kayak sekarang ya panas, biasa aja.”
Dalam konteks banjir seperti ini, banyak yang menganggapnya sebagai hal biasa. Pada suatu konsep yang penerapannya kurang tepat, mereka biasanya sudah punya mitigasi risiko sendiri. Kalau dilihat struktur rumah hingga penataan barang-barang di rumah sudah sedemikian rupa sehingga akan mudah untuk evakuasi jika tiba-tiba air tinggi.
Itu baru satu bencana. Perihal kebakaran hutan dan lahan, sesungguhnya kita pernah punya keberhasilan dalam 2-3 tahun terakhir. Entah kenapa, tahun 2019 ini, kebakaran mulai banyak meskipun sebenarnya hujan itu masih turun di bulan Juli. Alias, musim kemarau sejatinya belum lama-lama benar. Fakta tahun ini memperlihatkan bahwa sistem yang dibangun dalam 2-3 tahun terakhir belum cukup menjadi mitigasi yang ideal. Yah, faktanya, kabut asap masih melanda dan masih terus berusaha dikendalikan oleh pihak-pihak berwenang termasuk BNPB.
Apalagi kalau menyoal gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Seringkali, kita para masyarakat ini sadar bencana ketika lagi ramai di Aceh atau di Palu, misalnya. Sesudah itu, kita tenggelam dalam aktivitas sehari-hari dan lupa bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita senantiasa memiliki risiko bencana.
Konsep budaya sadar bencana secara sederhana dipahami sebagai perubahan paradigma penanggulangan bencana dari sekadar perspektif responsif belaka menuju terwujudnya pemahaman faktor-faktor risiko dan upaya pengurangan risiko bencana di lingkungan. Selain itu, diperlukan peningkatan kesadaran, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan bencana dalam menghadapi ancaman bencana melalui pelatihan secara bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan. Termasuk juga di dalamnya terwujudnya antisipasi, proteksi, dan penyelamatan diri dari ancaman bencana.
Ciamiknya Strategi Media BNPB
BNPB selaku pengemban amanat selama ini terbilang on the track dalam menjalankan fungsinya. Satu pujian yang harus selalu dilontarkan kepada BNPB terutama pimpinannya adalah ketika “melepas” Bapak Almarhum Sutopo Purwo Nugroho untuk menjadi media darling, dan bahkan pelan-pelan menjadi public darling.
Sumber: Kompas
Tidak semua instansi pemerintah, utamanya para pimpinan, memiliki kerendahan hati sedemikian rupa untuk melepaskan seorang Eselon II menjadi lebih terkenal daripada pimpinan BNPB itu sendiri.
Nyatanya, hal itu berhasil. Bapak Sutopo dengan ciamik memainkan perannya dalam edukasi kebencanaan. Memang, butuh terobosan khusus untuk bisa berpenetrasi ke dalam hati masyarakat dalam era modern dan zamannya media sosial seperti sekarang ini dan BNPB pernah cukup sukses untuk melakukan suatu terobosan. Sayang, memang, Bapak Sutopo telah meninggal dunia pasca berhadapan dengan kanker yang menyebar alias metastase.
Dalam posisi ini, tentu saja BNPB perlu merevitalisasi jalur yang sudah dilakoni oleh Bapak Sutopo untuk mengedukasi masyarakat. Sudah ada jalurnya, berarti tinggal diteruskan. Setidaknya, cita-cita agar terbentuk masyarakat yang sadar bencana sudah bisa mulai diinternalisasi sejak dini.
Sayangnya, memang Bapak Sutopo sudah tiada. Walau demikian, setidaknya BNPB secara institusi sudah berada pada jalur yang tepat dengan mengoptimalkan skema yang terlebih dahulu ada. Pola komunikasi yang sudah terbentuk itu bukan hal mudah untuk dibangun, adalah keuntungan bagi BNPB ketika pola itu sudah cukup mendarah daging di institusi. Hal ini tentu menjadi kekuatan BPNB dalam mengoptimalkan fungsinya dalam penanggulangan bencana di tingkat nasional.
Di atas bumi Indonesia yang faktor naturalnya sangat besar, sesungguhnya manusia bisa berperan mengurangi dampak bencana yang berasal dari faktor natural dan bahkan menihilkan bencana yang dapat disebabkan oleh manusia dengan menjaga alam. Bagaimanapun, kita percaya bahwa dengan menjaga alam, maka alam pasti akan menjaga kita.
Sekadar mau berbagi informasi saja, karena kadang kalau lagi selow saya suka nyari blog yang menyediakan informasi lomba blog, sekadar untuk menambal isi kantong. Bulan September 2019 ini lomba blog lagi luar biasa banyaknya, lho!
Hadiah:
2 karya terbaik akan mendapatkan kesempatan melakukan perjalanan ke Sumba Barat (wilayah program Pneumonia Save the Children) selama 4 hari 3 malam + uang saku
Ketentuan Umum:
Tema penulisan adalah Stop Pneumonia (dapat berupa testimoni, pengalaman pribadi, pengamatan, atau sebuah pemikiran)
Panjang artikel minimal 700 kata
Jika karya merupakan cerita tentang orang lain, pastikan untuk mendapatkan bukti tertulis kesediaan subyek sebagai narasumber
Banyaknya likes dan share tulisan akan menjadi point penilaian
Deadline: 17 September 2019
Pengumuman: 24 September 2019
Hadiah:
Juara 1 Rp2.000.000
Juara 2 Rp1.500.000
Juara 3 Rp1.000.000
Favorit Rp500.000
Ide Kreatif Top up pulsa/Gopay/OVO senilai Rp200.000 untuk 10 blog kreatif
Ketentuan Umum:
Kompetisi untuk menstimulasi diskusi publik dengan meningkatkan kesadaran khalayak umum mengenai perubahan iklim dan pencapaian ambisi dalam pemenuhan target NDC.
Dapat menggunakan laporan The Ambition Call sebagai bahan
Jumlah kata 800 – 1300 kata.
Deadline: 18 September 2019
Pengumuman: 18 Oktober 2019
Hadiah: The Best of Category menerima hadiah sebesar Rp10 Juta. Selain itu juga akan diberikan hadiah total kepada 5 juara favorit dan 36 nominasi. Total seluruhnya Rp86 Juta Rupiah.
Ketentuan Umum:
Selain blog, sudah ada lomba foto, video, poster, dan podcast. Blog bisa pakai platform apapun (termasuk blogdetik yang sudah bubar masih ditulis. heuheu…)
Ada beberapa hyperlink.
Submit ke bit.ly/tangguhawards2019
Deadline: 20 September 2019
Pengumuman: Oktober 2019
Hadiah:
Macbook Air, Samsung Galaxy Tab S5e, Kindle, Smartphone XiaoMi untuk 3 pemenang favorit dengan like terbanyak serta total uang tunai 25 juta rupiah!
Waktu saya SD, kira-kira pada saat Perjanjian Renville ditandatangani, kebutuhan primer manusia itu ada 3, yakni sandang, pangan, dan papan. Pada tahun 2000-an, kebutuhan primer itu bertambah satu: colokan. Nah, pada tahun 2019 dan kemungkinan seterusnya, kebutuhan primer itu nambah satu lagi: memori.
Sepekan yang lalu, seorang teman mengabari bahwa ponselnya hilang. Sedihnya, dia lupa akun Google yang digunakannya untuk login pada gawai Android-nya itu, sehingga tidak bisa ditelusuri pakai teknologi terkini. Teman saya itu sebenarnya tidak terlalu memikirkan soal fisik smartphone-nya karena ya masih bisa beli lagi.
Perkaranya adalah di gawai yang hilang itu ada foto anaknya, sejak lahir sampai sekarang hampir 2 tahun. Jeder!
Smartphone sesungguhnya telah menjelma lebih dari sekadar alat komunikasi. Ketika tahun 2002 saya pertama kali punya telepon genggam merk Nokia 3310, fungsinya hanya telepon, SMS, dan sesekali main Snake. Tujuh belas tahun kemudian, telepon genggam telah menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Western Digital melakukan survei yang bertajuk Indonesian Consumer Mobile Habit and Data Management Survey dengan melibatkan 1.120 responden yang tersebar di 6 kota besar Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, surabaya, Medan, dan Makassar.
Sesungguhnya, hasil dari survei ini cukup menarik untuk dicermati.
Pertama-tama, 97% responden mengandalkan smartphone sebagai gawai utama dalam kehidupan sehari-hari. Ya, sama persis dengan yang saya temui setiap hari. Ketika pas Persiapan Keberangkatan LPDP saya tidak bisa menyalakan gawai dalam waktu lama, rasanya ya hampa juga.
Selain itu, tingkat penetrasi smartphone di Indonesia per September 2018 telah mencapai 27,4 persen atau setara 73 juta pengguna smartphone. Paralel dengan angka jumlah penduduk dunia, angka tersebut adalah peringkat ke-6 pengguna smartphone terbanyak di dunia sesudah Tiongkok, India, Amerika serikat, Rusia, dan Brasil.
Angka penetrasinya sendiri masih sangat mungkin meluas karena 27,4 persen itu adalah yang terkecil di 10 besar dunia, bersaing dengan India yang 27,7 persen. Bandingkan dengan Inggris Raya yang penetrasinya sudah mencapai 82,2%. Tiongkok sekalipun sudah diatas 50 persen. Indonesia tentunya masih dalam perjalanan penetrasi yang panjang serta penuh ruang untuk improvement.
Smartphone sendiri, di Indonesia, pada umumnya digunakan untuk lima aktivitas penting yakni mengambil gambar, menelepon, chatting, merekam video, dan mengakses media sosial. Kebutuhan lain seperti belanja online atau bertransaksi saham, misalnya, masih jauh di bawah itu.
Lihat, dari 5 besar itu ada setidaknya 3 aktivitas yang butuh memori, yakni mengambil gambar, chatting, dan merekam video. Chatting itu makan memori, lho, belum lagi kalau banyak gambar dan video yang dibagikan. Maka tidak heran kalau data terbanyak yang disimpan di memori itu lima besarnya adalah foto, video, musik, aplikasi, dan dokumen. Rataan foto dan dokumen berbeda begitu jauh.
Pagi pekerja milenial seperti saya, persoalan dokumen di memori itu adalah kegundahan tersendiri. Ketika saya mulai bekerja tahun 2009, belum ada itu kirim-kirim file pakai aplikasi chatting. Jadi, ketika di kos-kosan, bisa ngeles ke bos jika disuruh mengerjakan sesuatu mendadak. “Datanya di kantor, Pak”, ujar saya untuk ngeles. Ya, walaupun kala itu kantor saya hanya 2 menit jalan kaki dari kos, sih.
Sekarang? File dokumen begitu mudah dikirim dan dengan demikian nggak bisa ngeles lagi seperti dulu kala. Walhasil, saya sering mengerjakan dokumen di smartphone kala bergelantungan di KRL. Dan tentu saja, semakin banyak file kerjaan, semakin banyak memori yang termakan.
Belum lagi, seperti teman saya yang smartphone-nya hilang tadi, saya juga orang tua milenial yang butuh banyak memori untuk merekam kelakuan anak saya yang lagi lucu-lucunya. Bayangkan, anak saya sudah seminggu ini bisa menyebut one, two, three, sampai ten, dan saya belum merekamnya karena keterbatasan memori. Wong, baru merekam sampai three, tiba-tiba saya dapat notifikasi bahwa memori sudah penuh.
Perkara yang saya alami rupanya adalah perkara umum, setidaknya menurut survei dari Western Digital. Ada 26% responden yang sering mengalami kepenuhan memori seperti saya. Atau juga 21% responden yang tidak sengaja menghapus data penting. Ini juga saya alami beberapa pekan lalu kala secara tidak sengaja saya menghapus seluruh file screenshot di gawai.
Walhasil, saya kehilangan salah satu foto paling absurd berupa video call dengan anak saya, yang posisinya ada di belakang saya. Jadi, ketika itu saya kebanyakan dinas, pergi terus, sehingga komunikasi dengan anak ya via video call. Eh, ketika saya pulang, anak saya malah tetap minta video call dengan bapaknya melalui gawai mamanya. Duh, ini foto bagus dalam file screenshot itu dan nyatanya hilang. Sedih juga.
Sebagaimana kehilangan mantan, nyatanya kehilangan adalah sesuatu yang wajar. Bahkan 67% responden mengakui bahwa mereka pernah kehilangan data di smartphone. Walau begitu, mungkin karena pengalaman buruk juga, ada lebih dari 80% responden telah menyadari pentingnya melakukan back-up data.
Persoalannya adalah sebagaimana dialami 49% responden bahwa sisa memori di HP ini paling banyak hanya 3 GB. sudah terlalu penuh dengan foto, video, dan aplikasi, pada gawai yang rata-rata dilengkapi memori 16 GB atau 32 GB itu.
Saya sendiri terbantu oleh kantor yang memfasilitasi dengan sebuah USB OTG SanDisk sebagai penyimpanan data pekerjaan. Kantor saya memang baik benar, karena USB itu di luar Hard Disk Eksternal yang juga difasilitasi. Tapi, ya memang perlu, sih. Terutama untuk pekerja mobile seperti saya. Makanya berminyak begitu, lha wong makan saja saya bawa~
Brand SanDisk memang menjadi salah satu brand terdepan dalam solusi penyimpanan mobile, kebetulan berada dalam naungan Western Digital Corp. Melalui perangkatnya SanDisk Dual Drive (Android)–yang ini saya pakai–dan iXpand Flash Drives (iPhone)–yang ini saya nggak kuat beli–SanDisk menawarkan beberapa solusi terhadap prahara memori yang biasanya melingkupi masyarakat, terutama orang tua milenial yang nyaris selalu kehabisan memori semata-mata karena foto bayi.
Pertama, mobile storage SanDisk memang dirancang untuk bisa membantu pengguna mengosongkan memori smartphone dimana pun dan kapan pun. Makanya, saya sering lho, memindahkan foto dan video sambil gelantungan di KRL. Saking mudahnya.
Kedua, SanDisk memfasilitasi diri dengan konsep plug and play yang praktis melalui aplikasi mobile SanDisk Memory Zone dan iXpand Drive yang dapat mem-back up foto maupun video dengan cepat, termasuk juga memindahkan ke komputer atau smartphone lain jka dibutuhkan. Serta bisa pula mengatur agar aplikasi melakukan back-up otomatis pada file-file penting setiap kali smartphone dihubungkan dengan USB OTG.
Ketiga, aplikasi SanDisk Memory Zone dan iXpand Drive App juga bisa menyimpan dan mem-back up aneka konten dari media sosial, ya tentu saja umumnya foto dan video, ke USB OTG SanDisk Dual Drive atau iXpand Flash Drive.
Terakhir, khususnya untuk yang menggunakan smartphone untuk kepentingan lebih besar seperti mabar, kartu memori SanDisk Extreme microSD dengan spesifikasi ciamik akan memberikan kenyamanan dan kemulusan bagi pengguna gawai saat bermain mobile game dengan adanya kapasitas penyimpanan lebih besar serta tentu saja proses pemuatan aplikasi yang lebih besar.
Ketika dapat notifikasi bahwa gawai saya kepenuhan, sesungguhnya pengen ganti HP. Apa daya, nggak punya uang. Ketika hendak menghapus foto atau video, kok ya rasanya #DibuangSayang. Sekali lagi, untunglah saya punya USB OTG dengan brand #SanDiskAPAC yang sangat membantu proses back-up file-file yang bakal penting untuk kenangan anak saya kelak di kemudian hari.
Percayalah–dan ini saya baru tahu ketika sudah jadi orang tua–selain kesiapan jasmani, rohani, serta finansial, maka untuk menjadi orang tua harus punya persiapan memori yang banyak. Saya kasih tahu para pembaca semua untuk bisa mempersiapkan diri.
Dua belas tahun lalu, berbekal sepeda motor tua bernama Oom Alfa, saya datang ke salah satu kantor Pemerintah Provinsi DIY. Urusan masa depan yang lebih menakutkan daripada KKN di Desa Penari: skripsi.
Ya, walaupun anak farmasi, tapi jalan hidup membawa saya ke skripsi sosial dengan area DIY, lebih tepatnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo. Namanya akan penelitian, sudah pasti butuh data, dan namanya survei tentang perilaku masyarakat sudah tentu butuh data kependudukan dan untuk itu tentu butuh perizinan.
Keselamatan lalu lintas adalah hal yang selalu saya utamakan, terutama sejak kurang lebih 7 tahun silam menyaksikan sendiri orang meregang nyawa di pangkuan saya–dan beberapa orang lain di sekitar yang peduli–sesudah sebelumnya orang tersebut mengalami kecelakaan lalu lintas.
Ngomong-ngomong, saya berani mengangkat korban karena ketika itu saya masih floor warden di pabrik, sehingga masih punya kompetensi untuk penanganan kecelakaan semacam itu, karena memang dilatih. Kalau sekarang sih sudah nggak kompeten jadi mungkin nggak akan berani.
Sebagai pemilik sertifikasi Manajemen Risiko, saya tentu paham bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Banyak kasus orang lagi santai-santai menunggu lampu merah, eh, diseruduk dari belakang. Akan tetapi, ada banyak hal yang bisa kita kontrol dalam menegakkan keselamatan lalu lintas yang ujung-ujungnya ya untuk membuat kita atau orang lain tetap bernyawa~
Nah, salah satu cara untuk bisa berkontribusi pada keselamatan lalu lintas adalah dengan naik transportasi umum, seperti bis, KRL, atau juga yang akan segera hadir: MRT. Namun, karena transportasi umum khususnya di Jakarta masih terus berbenah, maka muncul demand baru, yakni transportasi ringkas dari stasiun terdekat ke kantor dan sebaliknya.
Ceruk inilah yang tadinya dilayani oleh ojek pangkalan maupun bajaj, yang kemudian dikuasai oleh ojek online. Yup, si fenomena baru transportasi Indonesia dengan 2 pemain utama, Go-Jek dan Grab itu PASTI BANGET kita lihat atribut, baik jaket maupun helmnya, di jalanan.
Saya sendiri, misalnya, menghabiskan 30-40 persen gaji untuk biaya transportasi online ini. Maklum, sobat misqueen jadi rumah jauh di Tangerang, padahal kerja di Jakarta Pusat.
Jumlah perjalanan yang dilakukan oleh ojek online ini sungguh nggak main-main. Grab, misalnya, mencapai 2 miliar perjalanan pada Juli 2018, eh kok pada akhir Januari 2019, mereka sudah merilis perjalanan ke 3 miliar! Jadi, hanya dalam waktu 6 bulan, Grab sudah melakoni 1 miliar perjalanan.
Memang, itu angka global, namun kita tahu sendiri bahwa di Indonesia, khususnya di Jakarta, pasar Grab termasuk yang terbesar. Porsi Jakarta dari yang 1 miliar itu bisa dipastikan besar sekali.
Pada Maret 2018, diketahui bahwa di Indonesia, jumlah pengemudi ojek online sudah mencapai 1 juta orang, terdiri dari Go-Jek, Grab, dan kala itu Uber. Jumlah yang tidak kecil dan sudah pasti akan sangat menunjang keselamatan lalu lintas.
Sebagai penumpang, sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan untuk mendukung peran ojek online dalam keselamatan lalu lintas. Poinnya, bahkan justru kita yang nggak bawa kendaraan ke Jakarta malah bisa menjadi pahlawan dalam keselamatan lalu lintas.
Kok bisa? Ini dia 7 caranya!
1. Pakai Transportasi Massal
Seperti sudah dijelaskan tadi, dengan menjadi pengguna transportasi umum bin massal seperti bis, KRL, dan MRT, sebenarnya kita sudah menjadi pengurang potensi kecelakaan dengan mengurangi jumlah kendaraan baik roda 2 maupun 4 yang masuk ke Jakarta. Dari sisi itu saja, para pengguna transportasi umum yang kemudian butuh ojek online dari stasiun ke kantor dan sebaliknya, sudah bisa dibilang pahlawan keselamatan lalu lintas.
2. Banyak Baca Tentang Keselamatan Lalu Lintas
Korlantas Polri bersama dengan Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) dan Relawan Lalu Lintas Indonesia (Relasi) sedang giat menggelar Millenial Road Safety Festival 2019 untuk mendukung ketertiban lalu lintas dan keselamatan berkendara bagi generasi muda. Hal itu didasari dari fakta bahwa perilaku berkendara yang tertib dan aman masih jadi tantangan dan terlihat dalam keseharian pengendara yang menjadi faktor risiko perjalanan dengan tidak tertib pakai helm maupun memakai smartphone kala mengemudi, sering ditemui pada pengendara usia 17-35 tahun alias kaum millennial.
Nah, dalam festival ini banyak konten-konten beredar tentang keselamatan lalu lintas. Sembari nunggu ojol, bisa lho kita cek konten-konten tersebut demi menambah ilmu. Post ini termasuk salah satunya.
3. Tidak Perlu Pesan Duluan
Saya pernah ada di Stasiun Kebayoran dan mengintip layar ponsel orang di sebelah saya sudah memesan ojek online di Stasiun Tanah Abang! Padahal, dari turun KRL saja ke Halte Jatibaru tempat orang biasa janjian dengan ojek online sudah butuh waktu minimal 7 menit. Saya paham betul, soalnya tiap hari pakai jalur itu.
Atau juga sering kejadian pada jam pulang kerja, orang-orang sudah pesan ojek online padahal mereka masih di lantai 28 dan nunggu lift-nya biasanya 15 menitan.
Tahu nggak, bahwa para ojek online itu kemudian tiba di tempat janjian yang rata-rata adalah pinggir jalan dan mereka ngetem lama di situ karena penggunanya belum hadir, dan itu tidak hanya dilakukan 1-2 orang. Jadinya apa?
Betul sekali! MACET, SAUDARA-SAUDARA!
Seperti di Tanah Abang, misalnya. Kecuali ada demo ojek online atau hujan deras, maka tidak akan ada yang namanya kekurangan armada ojol. Jadi, tidak perlu pesan dari jauh-jauh waktu. Justru itu menjadi penyumbang kemacetan dan malah jadi faktor risiko dalam tidak tercapainya keselamatan lalu lintas.
4. “Cuma Dekat” Nggak Akan Bikin Aspak Jadi Lebih Empuk, Lho~
Yang saya kisahkan di atas, soal kecelakaan, itu nyata! Dan itu bahkan pengendaranya pakai helm bagus, nabrak trotoar, helmnya pecah, kepalanya terbentur dan jadi penuh darah. Bisa bayangkan kalau dia tidak pakai helm? Jangan-jangan kepalanya bisa tidak berbentuk. Hiii. Ngeri.
Yang sering terjadi, pengguna ojol atas dasar rambut takut lepek dan malas pakai helm menolak helm yang disodorkan driver dengan alasan “cuma dekat”. Padahal, mau jauh atau dekat, kalau kepala kena aspal, itu sama saja sakitnya.
5. Nyeberang Nggak Ada Salahnya, Kok
Kantor saya di Jalan Percetakan Negara. Jalan itu tidak lebar sehingga jika jam pulang kerja antara angkot, orang pulang kerja, taksi, bis jemputan, hingga ojol tumpah ruah jadi satu. Kadangkala, driver datang dari arah Rawasari, sementara saya mau ke Tanah Abang.
Kalau saya pemalas, saya akan nunggu di depan kantor sampai driver dari arah Rawasari menyeberang ke kantor saya yang ada di sisi Perum Percetakan Negara. Gaes, dalam kondisi sangat padat, orang pindah sisi jalan saja bisa jadi faktor risiko. Bisa dia keserempet atau bisa juga dia bikin macet.
Maka, kalau memang demikian, nggak ada salahnya kita menyeberang sehingga driver ojol tidak perlu pindah jalur dan malah mencemplungkan diri dalam risiko keselamatan lalu lintas.
6. “Cuma Dikit” Nggak Akan Bikin Kendaraan Dari Arah Yang Benar Melambat
Sering terjadi pula, misalnya di dekat Stasiun Kalibata, pengguna ojol memaksa driver untuk melawan arus sedikiiiiitttt, semata-mata demi nggak berputar. Sedikit, sih, sedikit. Tapi kalau ada apa-apa karena melawan arus itu, yang salah ya tentu saja yang ditabrak.
Jalur itu sudah ada yang punya, sesuai arahnya. Memaksa driver untuk melawan arah itu justru membuat kita yang dari nomor 1 sampai nomor 5 jadi pahlawan keselamatan lalu lintas, malah menjadi penyakit bagi keselamatan lalu lintas itu sendiri.
7. Tegur Driver Itu Boleh, Lho
Sering sekali driver nggak tahu jalan dan mengandalkan GPS. Itu sih nggak masalah. Jadi perkara ketika dia lihat map-nya dengan satu tangan sambil tangan kanan menarik gas. Itu BAHAYA dan itu mempengaruhi keselamatan kita juga. Nggak usah malu-malu, tegur saja. Kalau memang driver tidak tahu jalan dan kita tahu kan tinggal bilang, “nanti saya arahkan”. Atau kalau sama-sama tidak tahu, kita sebagai penumpang bisa membantu dengan buka maps sendiri, meskipun tetap harus hati-hati karena banyak jambret.
Demikian 7 Tips Menjadi Pengguna Ojek Online yang Peduli Keselamatan Lalu Lintas, sederhana tapi akan sangat membantu jika diterapkan.
Pintu KRL tujuan Rangkasbitung menutup. Jeder. Sementara kalimat barusan masih terus diulang-ulang oleh kumpulan pemuda tanpa harapan yang naik di Stasiun Palmerah ini.
Apakah benar ada ibu-ibu yang mendorong? Nope, itu mereka sendiri yang saling dorong dan kemudian bercanda sarkas nggak sopan macam begitu. Dan percayalah, pemandangan seperti itu hanya ada di KRL tujuan Rangkasbitung saja.
Sementara itu, di sudut lain gerbong, tampak seorang pria terpekur gundah oleh sebuah problematika krusial berupa ini:
Gawainya digoyang-goyangkan berlawanan arah dengan laju kereta. Sekilas berhenti, kemudian lanjut lagi. Itu hape apa nomor arisan, dikocok wae~
“Misi, Om.”
Sang pria celingak-celinguk dan mendapati sebuah gawai berbodi 158 mm x 76 mm x 7.7 mm kedip-kedip mau ngajak ngobrol. Sementara Santos dalam posisi one on one begitu nggak nendang-nendang juga. Lag kayaknya, bisa karena koneksi, bisa karena ponselnya memang hang.
“Kalah ya, Om?”
“Apaan? Ini ntar lagi gol, kalau nggak stop!”
“Lha kalau waktu habis ya nggak gol dong, Om.”
Tidak lama kemudian, game lanjut kembali dan status kemenangan sudah ada di tim lawan dengan status saya disconnected. Ealah, nge-game itu biar terhibur lha ini kok malah bikin pikiran selain cicilan.
“Ngapa lu?” tanya Sang Pria kemudian.
“Kalau mau ngegame mah nggak usah jauh-jauh, Om. Pakai saya aja. Cukup 80 juta.”
“Lu kata gaji PNS banyak? Itu 80 juta bisa buat gajian 2 tahun.”
“Nah ini contoh yang nggak pengen debat dan malah nyalahin orang. Dicoba dulu dong. Itu si 80 juta mah canda.”
“Memangnya ngana bisa apa?”
Dengan angkuh, si gawai berceloteh, “Om, saya itu HP pertama di Indonesia yang pakai Chipset Qualcomm Snapdragon 632.”
“Ha, njuk?”
“Aduh, Om-nya kebanyakan rapat tanpa hasil, nih, jadi nggak sempat baca. Chipset Snapdragon 632 itu sederhananya punya keunggulan sehingga meningkatkan kemampuan gaming, pengambilan video 4K, mendukung teknologi AI, hingga konektivitas LTE yang lebih maksimal.”
“Apa bedanya sama saya hapus-hapus memori mantan di HP?”
“Yaelah, Om. Perpaduan CPU dan GPU pada ASUS Zenfone Max M2 kek saya ini bisa meningkatkan kinerja sampai 40 persen. Kalau saya PNS, tunjangan saya sudah naik. Ha wong jelas berkinerja. Nggak kayak situ, makan konsumsi rapat wae.”
“Mahal, dong? PNS mah nggak sanggup.”
“Lha ini~ Dari tadi sudah dibilang kalau terjangkau, kok. Nggak percayaan! Hih! Semua laki-laki sama saja!”
“Jadi, saya sama kayak Samuel Zylgwyn?”
“Nggak. Lebih mirip Jakub Błaszczykowski. Jadi, Om, chipset Snapdragon 632 itu hasil pengembangan dari Snapdragon 625 dan Snapdragon 626 yang terkenal punya performa tinggi, hemat daya, dan tidak panas. Ngana harusnya kenal kalau yang dua itu hemat daya. Jadi sama Qualcomm, saya dikembangkan lagi sampai semakin hemat daya.”
“Kamu nyindir saya biar hemat?”
“Asem ik, suudzon wae.”
“Hehe~”
“Jadi kalau mau main PUBG apa Free Fire udah bisa. Apalagi cuma Score Hero, kalahan pula. Duh.”
“Eh, eh. Maksudnya?”
Kereta berhenti sejenak, menghirup nafas di padatnya Kebayoran, stasiun angkuh di tengah-tengah pasar yang menua.
“Anak berapa, Om?”
“Satu. Kenapa?”
“Suka difoto nggak?”
“Yah, kek orangtua milenial pada umumnya aja.”
“Nah, saya sebagai ASUS Zenfone Max M2 punya kamera belakang lengkap dengan EIS untuk menjaga kestabilan hati, eh, video. Saya juga bisa lho merekam video hingga resolusi 4K.”
“Pakai apa?” tanya pria itu.
“Pakai seblak, Bambang!”
“Loh….”
“Ya pakai kamera lah. Kalangan ASUS Zenfone Max M2 kek saya juga bisa mengenali 13 scene yang berbeda, soalnya didukung oleh buzzer politik teknologi AI. Bahkan juga bisa menjaga kestabilan video kalau merekam pakai kamera depan.”
Gawai itu menyambung, “Jadi kalau Oom pengen jadi vlogger, lebih enak, soalnya kamera depannya lebih ciamik dengan kamera 8MP. Om, kan yang cita-citanya jadi vlogger tapi nggak kondang-kondang itu kan?”
“Asem.”
“Eh, ngana otak, eh, layar jernih nggak?”
“Sembarangan, Lu, Om. Saya ini punya Layar HD+, ukuran 6,26 inchi, rasio 19:9. Kurang lega apa? Mau ngegame juga hayuk! Nonton film, siap. Nonton video Om yang nggak laku itu juga lanjut aja.”
“Hmmmmm. Hmmmmm.”
“Apalagi, Om?”
“Kuat dan lahan lama nggak? Butuh sildenafil nggak?”
“Heh, asbak Rajaratnam! Dikata saya alat kelamin?”
“Baterai, coy. Baterai.”
“Wah, meragukan saya lagi si Om. Baterai saya 4000mAh. Kurang gede apa? Itu sudah bisa ngegame 8 jam nonstop. Apalagi cuma nonton sama scroll-scroll doang. Bisa 21-22 jam.”
“Kalau main Score?”
“Yaelah. Sampai habis paketnya situ di modem, baterai saya juga nggak habis. Sukanya ngeremehin, nih, Om. Jangan lupa, saya itu pakai pure Android Oreo 8.0, tanpa micin, tanpa perubahan sedikitpun. Tahu nggak?”
“Nggak.”
“Tahunya apa?”
“Fotokopi.”
“Geblek. Sederhanya, disebut Stock Android yang berarti ada jaminan update selama dua tahun. Jadi pasti bakal dapat jaminan update ke Android 9 Pie kelak plus lebih ringan bebas dari bloatware yang biasanya membebani kehidupan saya sebagai smartphone.”
“Wah, jeroannya situ mewah juga, yha?”
“Pokoknya,siapapun yang nyari HP terjangkau tapi kualitas dan kinerjanya baik buat komunikasi sehari-hari, plus juga buat gaming dan entertainment, saya sebagai ASUS Zenfone Max M2 adalah pilihan tepat. Spek mevvah, harga murah meriah. Jadi, coba saya, yha, Om?”
“Baiklah. Eh, lah, kebanyakan ngobrol sama ente, saya harusnya turun Jurangmangu.”
“Ini sudah Rangkasbitung, Om. Situ bablasnya kejauhan~”
Sudah tahu dong kalau Indonesia menjadi tuan rumah ajang multievent terbesar kedua di dunia sesudah Olimpiade, Asian Games. Ini adalah gelaran kedua di Indonesia sesudah tahun 1962. Belum tahu? Ndeso.
Pada periode 1962 itu, begitu banyak warisan yang diterima oleh bangsa ini. Paling jelas ya sebuah kompleks olahraga yang kini bernama Gelora Bung Karno dan mengudaranya televisi nasional kita yakni TVRI.
Sumber: Sportourism
Kini lebih dari setengah abad kemudian, Indonesia hadir lagi pasca Vietnam memilih meletakkan tiket tuan rumah yang diperolehnya. Berbekal sarana yang sudah jadi di GBK dan di sekitar Palembang, Indonesia tentu siap menjadi tuan rumah yang baik. Apalagi, aneka rupa proyek untuk menyukseskan event ini juga telah dikerjakan.
Paling kelihatan ya renovasi GBK dan arena lain di kompleks tersebut. Juga wisma atlet di Kemayoran. Light Rapid Transit di Kelapa Gading-Rawamangun dan di Palembang. Sebuah pertanda bahwa persiapan negara nggak kurang dalam menyukseskan Asian Games.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh warga lokal, hmmm, dalam hal ini saya lokal Tangerang Selatan?
Tangerang Selatan adalah kota yang masih muda dan terletak di Tatar Pasundan Provinsi Banten. Lebih dekat dari Jakarta alih-alih dari ibukota Banten, Serang. Disebut masih muda karena baru berdiir pada 27 Desember 2006 melalui persetujuan DPRD dengan cakupan 7 kecamatan yakni Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara, hingga Setu. Peresmiannya sendiri adalah pada 29 Mei 2008 oleh Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto.
1. Memakai Transportasi Umum
Sumber: Antara
Demi menunjang kelancaran Asian Games 2018, pemerintah telah melakukan perluasan area ganjil-genap. Nah, dengan demikian, akan ada jalur-jalur limpahan yang akan jadi lebih padat. Supaya jalur itu tidak macet, sebagai warga commuter, penting kiranya bagi warga Tangsel untuk menggunakan transportasi umum saja jika pergi ke Jakarta, entah untuk kerja, atau mau melakukan yang nomor dua ini.
2. Menonton Langsung
Ajang ini baru balik lagi sesudah 56 tahun, lho. Kalau kayak saya nunggu 56 tahun lagi belum tentu masih hidup. Jadi, ada baiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melihat atlet-atlet kelas dunia bertarung pasti akan menjadi keasyikan tersendiri. Nah, untuk menonton, warga Tangsel sebenarnya nggak butuh pergi jauh-jauh kok, karena ada pilihan-pilihan berikut:
a. KRL Commuter Line
Ada banyak stasiun di sekitar Tangsel, dimulai dari Pondok Ranji sampai ke Serpong. Nah dari tempat-tempat itu, kita tinggal mengakses arah Tanahabang kemudian berhenti di Palmerah. Dari Palmerah, kalau mau jalan kaki ke GBK juga bisa. Atau mau ke event Balap Sepeda dan berkuda? Tinggal lanjut ke Tanahabang lantas transit Manggarai. Dari situ bisa naik bajaj atau transportasi online ke Velodrome atau Pulo Mas.
b. TransJakarta
Warga Tangsel juga diberi kemewahan berupa busway yang benar-benar way-nya bus alias yang lewat ya hanya bus wae. Koridor 13 dari Puri Beta Ciledug hingga Tendean, adalah kemewahan yang hanya dimiliki warga Tangsel. Nah, dari jalur ini juga bisa transit menuju Senayan, atau bahkan lanjut naik moda yang sama ke Velodrome dan Pulo Mas.
Biar gampang, ini saya kasih infografis dari Kemenpora soal lokasi-lokasi pertandingan, yang khusus Jakarta, rata-rata mudah dicapai dengan transportasi umum:
3. Gerilya di Dunia Maya
Selain di dunia nyata, kita juga bisa bantu di dunia maya. Toh, orang kita kan jago tagar. Pilihan-pilihan hashtag tentang Asian Games sudah banyak dan kita tinggal support. Jangan lupa, bagikan tentang kebaikan, bukan keluhan. Bagikan juga prestasi-prestasi yang diraih oleh anak bangsa, serta hindari bumbu-bumbu yang nyerempet politik dan klaim-klaim dukungan bla-bla-bla~~. Indonesia butuh persatuan, kak, bukan saling klaim.
4. Membantu Tamu
Akan ada banyak warga asing tiba ke Indonesia guna mendukung negara masing-masing. Kita dapat mendukung Asian Games dengan menjadi orang ramah sebagaimana citra kita di dunia, juga menjadi penduduk lokal yang sudi membantu tamu asing. Jangan dinakali lho ya, ini penting buat citra baik kita di dunia.
Nah, bagaimana? Sebenarnya gampang kan untuk bisa turut serta menyemarakkan Asian Games 2018, gelaran yang belum tentu lima puluh tahun lagi mampir ke Indonesia? Apalagi bagi warga Tangsel yang notabene dekat dari Jakarta. Yuk, dukung bersama Indonesia di Asian Games 2018!
Sejak menjadi bapak millennial sembilan bulan yang lalu, hidup saya tidaklah sesederhana masa lalu ketika persoalan hanya tentang mau makan di warteg atau di restoran cepat saji. Kini, ada anak yang harus dipikirkan–bersama-sama dengan istri, tentu saja. Sekarang, bisa tidur 8 jam tanpa terputus sudah merupakan keajaiban dunia nomor 8.
Apalagi, hidup dan bekerja di Jakarta bolehlah disebut susah, pelik, dan sulit diprediksi. Terlalu banyak faktor eksternal yang mengatur hidup, yang otomatis menjadikan perlindungan pada diri sendiri menjadi sangat penting. Terlebih, saya adalah kaum commuter yang berkantor puluhan kilometer dari rumah dan harus berpindah-pindah moda transportasi mulai dari kendaraan pribadi, KRL, bis, hingga ojek online. Semuanya dengan risiko masing-masing. Belum lagi, pekerjaan saya kadang juga mensyaratkan untuk berpindah dari kota ke kota, dari bandara ke bandara.
Maka, kalau lagi kena goncangan di udara, yang terbayang sekarang adalah senyum polos Istoyama di rumah. Jika sedang senggol-senggolan di Jalan Sudirman, yang sekelebat muncul di kepala adalah ocehan nggak jelas Istoyama. Kalau sedang stres di kantor, yang dirindukan adalah polah si bocah. Yeah, sekarang terminologi happy life alias hidup bahagia nggak jauh-jauh dari anak dan masa depannya. Begitulah takdir bapak millennial–yang sebagaimana kata Business Wire mikir-mikir kalau mau kasih adik untuk Istoyama.
[Blog|Ariesadhar.com] “Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) menyelamatkan keuangan negara senilai Rp13,70 Triliun pada Semester I tahun 2017. Jumlah itu berasal dari penyerahan aset/penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery. Hal itu disampaikan oleh Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara dalam acara penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/10/2017)”.
Demikian kutipan yang saya peroleh dari sini. Bayangkan, dalam 1 semester itu saja, uang yang diselamatkan oleh BPK nilainya sudah setara dengan hal-hal berikut ini:
BPK merupakan sebuah lembaga negara yang memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. BPK merupakan pemeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara yang berasal dari sumber manapun. BPK juga harus mengetahui tempat uang negara tersebut disimpan dan digunakan untuk apa. Keuangan negara sendiri artinya adalah semua hal dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
BPK merupakan lembaga negara yang ditopang oleh Undang-Undang Dasar, dan dilengkapi dengan Undang-Undang lainnya yang terdiri dari:
Dengan demikian, BPK dapat disebut sebagai lembaga negara dengan dasar hukum paling komplit, sesuatu yang sebanding dengan tugas BPK untuk mengamankan keuangan negara.
Nah, peran BPK sesungguhnya menjadi demikian berbeda ketika ada amandemen UUD 1945 yang terkait dengan BPK. Ada penambahan kata ‘bebas dan mandiri’ yang menjadi sangat penting bagi tugas BPK. Pada pemerintahan yang telah lalu, kiprah dan ruang gerak BPK selaliu dikendalikan sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menjadi tidak optimal.
BPK Zaman Old dan Zaman Now
Sebelum reformasi, BPK merupakan lembaga yang kedudukannya di bawah kendali pemerintah. Presiden dapat saja memerintahkan atau melarang BPK melakukan pemeriksaan semata-ata supaya citra pemerintah terangkat atau juga jadinya malah mencegah terungkapnya aneka bentuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Hal itu tentu berlawanan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sebagai prasyarat penting penegakan good governance.
Pada era Orde Lama, Presiden menjadi Pemeriksa Agung, sedangkan Ketua BPK sebagai Menteri di bawah komando Presiden. Pada masa Orde Baru, saat posisi BPK dipindahkan sebagai lembaga negara di luar pemerintah, terjadi reduksi peran berupa pembatasan objek pemeriksaan, cara ataupun metode pemeriksaan, hingga isi dan nada laporan pemeriksaan. Era baru kebebasan dan kemandirian BPK akhirnya dijabarkan dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Kantor BPK di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Yang pendek itu dikenal dengan Gedung Arsip, yang tinggi lebih dikenal dengan Tower. Di Tower itulah para pimpinan BPK bermarkas. Sumber: jpnn.com
Secara legalitas, baik di era Orde Lama dan Orde Baru, BPK sejatinya sejajar dengan Presiden. Adapun pada prakteknya, BPK berada di bawah kendali pemerintah. Untungnya ada era reformasi, kondisi yang dulu-dulu itu sudah tidak berlaku. Kini BPK benar-benar sejajar dengan Presiden.
BPK yang harus memeriksa pengelolaan keuangan negara yang dijalankan pemerintah dan lembaga-lembagan egara lainnya, tentu butuh kesetaraan dengan Presiden. Kalau BPK di bawah Presiden, ruang gerak BPK untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawa keuangan negara akan menjadi terbatas. Lembaga yang dikendalikan oleh Presiden tentu tidak akan independen saat memeriksa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden.
Jenis-Jenis Pemeriksaan BPK
Diamanatkan oleh UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dikenal tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK yakni:
Pemeriksaan Keuangan merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
Jadi begini. Setiap tahun, setiap Kementerian, Lembaga, Instansi Pemerintah, dan Pemerintah Daerah harus-wajib-kudu membuat Laporan Keuangan. Jadi pada tahun 2018 awal, yang dibuat adalah Laporan Keuangan Tahun Anggaran (TA) 2017. Laporan ini dibuat untuk mempertanggungjawabkan semua anggaran yang diperoleh dan telah digunakan oleh K/L/D/I. Sebelum diperiksa oleh BPK, namanya adalah Laporan Keuangan Unaudited.
Berbasis dokumen yang biasa disebut LK itu, BPK melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan penggunaan uang. Untuk apa saja uang digunakan, kuitansinya ada atau tidak, penggunaannya sesuai ketentuan atau tidak, ada kelebihan bayar atau tidak, dan lain-lainnya. Dalam pemeriksaan inilah segala yang kita kenal dengan tiket fiktif, perjalanan dinas bodong, kemahalan harga alat tulis kantor, dan segala bau-bau busuk lain soal perilaku koruptif di pemerintahan akan dibongkar oleh pemeriksa BPK.
Nah, hasil pemeriksaan inilah yang kemudian diberikan pernyataan opini yang terdiri dari:
Percaya nggak, wahai pembaca sekalian, bahwa beberapa tahun yang lalu ada instansi pemerintah yang mendapatkan predikat Disclaimer alias TMP bukan karena korupsi, melainkan karena data Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang masuk melalui instansi tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya. Gambarannya adalah PNBP instansi tersebut 100 Miliar, tetapi yang bisa diyakini bahwa instansi tersebut telah memberikan layanan publik hanya 80 Miliar. Jadilah instansi itu mendapat predikat Disclaimer karena uang berlebih di kas negara.
Kenapa begitu? Setiap yang tercatat di Laporan Keuangan–apalagi di era Laporan Keuangan berbasis akrual–harus jelas posisinya. Kalau suatu PNBP itu dibayarkan masyarakat untuk sebuah jasa, maka ketika jasa pemerintah belum dituntaskan, uang PNBP yang sudah dibayar itu menjadi hutang jasa pemerintah. Ketika 20 Miliar uang yang ada tidak bisa ditelusuri status jasa yang harusnya diberikan pemerintah, pertanyaan lain jadi muncul. Jangan-jangan sebenarnya PNBP-nya hanya 80 Miliar? Atau malah jangan-jangan lebih dari 100 Miliar? Keyakinan pemeriksa–dalam hal ini BPK–adalah kuncinya.
Jadi begitulah, saya suka trenyuh banyak orang yang nggak begitu paham WTP, WDP, TW, hingga TMP tetapi menggunakan sesukanya. Apalagi di zaman pemilihan kepala daerah seperti sekarang, banyak data-data yang ada digunakan begitu saja tanpa dipahami lebih dahulu substansinya.
Pemeriksaan Kinerja merupakan pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta juga pemeriksaan atas aspek efektivitas nan lazim dilakukan untuk kepentingan manajemen oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).
Inti dari pemeriksaan kinerja ini adalah agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara maupun daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien plus memenuhi sasaran secara efektif. Yang dilihat apakah hasil penggunaan anggaran seiring sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai pada saat awal program itu ada, apakah penggunaannya 3E (ekonomis, efisien, dan efektif) atau tidak.
Begitu.
Gampangnya begini, saya berikan ilustrasi yang nyata. BPK pernah menyelenggarakan pemeriksaan kinerja pada BPJS Kesehatan, yang tentu saja menilai kinerja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara keseluruhan. Nah, dalam pemeriksaan kinerja ini hubungannya banyak lembaga.
Dalam peraturan JKN ada lelang untuk obat-obat dalam Formularium Nasional (Fornas). Fornas garapan bersama Kementerian Kesehatan, BPJS, dan BPOM. Ada syarat bahwa obat agar masuk Fornas harus punya Nomor Izin Edar (NIE) BPOM. Nah, BPK pergi ke BPOM mengecek hal ini.
Kenapa harus dicek? Lha, misalkan suatu obat sudah masuk Fornas, tapi dalam periode itu NIE-nya kedaluwarsa pertanyaan yang muncul adalah bagaimana status stok obat yang sudah ada di Rumah Sakit? Boleh dipakai atau tidak? Kalau boleh, jadinya melanggar aturan BPOM. Kalau nggak, itu obat yang dibeli pakai uang negara bagaimana nasibnya? Yha, pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengisi ruang kalbu pemeriksaan kinerja.
Hasil dari pemeriksaan kinerja ini juga tidak sembarangan. Di BPOM misalnya, dilakukan follow up berkali-kali dengan Pemerintah Daerah untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. BPK sendiri juga turun tangan mengawal follow up tersebut. Jadi nggak sembarangan kasih rekomendasi terus lepas tangan, lho.
Kegiatan FGD Membangun Kemitraan Pengawasan Obat dan Makanan Untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat Serta Meningkatkan Daya Saing Produk Obat dan Makanan, sebagai tindak lanjut dari temuan pemeriksaan kinerja BPK di BPOM terutama terkait tindak lanjut hasil pengawasan di daerah. Sumber: metrobali.com
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu adalah pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan kinerja, serta dapat merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan khusus tertentu sebagai tindak lanjut pemeriksaan yang telah dilakukan karena adanya hal penting yang harus diselesaikan. Misalnya, ada dugaan unsur pidana dalam tindakan keuangan suatu instansi atau juga memeriksa pelaksanaan suatu rekomendasi dari BPK kepada instansi terperiksa.
Mengapa Keuangan Negara Harus Diperiksa?
Ini pertanyaan kunci yang menjadi sebab BPK ada dan eksis di Bendungan Hilir sana–maklum mantan tetangga, kak, dulu pernah tinggal di Jalan Danau Siawan.
Pemeriksaan perlu dilakukan agar tiap pihak yang mengelola uang negara selalu menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya hingga membawa faedah yang sebesar-besarnya untuk rakyat. Bagaimanapun, pihak-pihak yang mengelola uang negara itu harus sadar dan mahfum bahwa mereka tidak dapat memanfaatkan uang yang dipercayakan rakyat kepada mereka itu secara tidak bertanggung jawab.
Kontrol diperlukan karena kalau tidak maka para pengelola itu akan memiliki kepemilikan yang besar pada uang rakyat itu. Ujung-ujungnya adalah memperkaya diri sendiri. Atau ya setidaknya salah urus. Sebagaimana yang kita lihat dalam korupsi sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga sampai sekarang juga, sih.
Hulk menghajar Thor dan siapapun yang salah mengurus uang rakyat
Sekarang bayangkan kalau uang yang dipakai memperkaya diri para pengelola keuangan di masa silam itu dipakai bikin MRT seperti di Singapura. Penduduk Jakarta nggak akan kena macet karena pembangunan MRT yang terlambat seperti sekarang. Dahulu kala, banyak proyek pembangunan fiktif. Ada uang yang keluar, barangnya nggak ada. Begitulah faktanya.
Hadirnya BPK diharapkan dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara mengingat pengelolaan keuangan negara yang bertanggung jawab merupakan prasyarat bagi sehatnya ekonomi dan pembangunan nasional.
Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara akan memudahkan pemerintah mengetahui tiap saat kondisi keuangannya sendiri sehinga pada akhirnya dapat melakukan perencanaan pendanaan pembangunan sekaligus memonitor pelaksanaan secara baik. Kita punya pengalaman buruk pada 1997-1998 silam ketika pemerintah tidak memiliki informasi dan kontrol atas posisi keuangan sendiri, yang tersebar di banyak instansi dan BUMN/BUMD, plus rekening individu para pejabat.
Sekarang? Tenang saja, sekadar nitip pengembalian belanja bulan Desember di rekening bendahara buat kemudian bulan Januari disetor ke negara sudah bisa dianggap temuan BPK, lho!
Oke, dari tadi cerita BPK terus lantas pasti banyak yang masih…
Rata-rata orang kita memang suka bingung kalau tidak ada wujudnya. Polisi dianggap nggak ada kalau nggak nangkap maling. Kan gitu. Maka, tanpa berlama-lama lagi, Istoyama siap memaparkan infografisnya yang disarikan dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2017.
Ada begitu banyak definisi tentang akuntabilitas, tetapi inti dari semuanya adalah pertanggungjawaban. Lantas apa sih yang harus didorong oleh BPK untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan negara? Jawabannya, banyak.
Sebagai pemeriksa sekaligus pihak yang bisa mengubah Laporan Keuangan Unaudited tadi menjadi Laporan Keuangan Audited, BPK pasti mampu menelaah soal bagaimana suatu instansi melakukan pencatatan aset tetap maupun aset lancar, bagaimana suatu instansi menggunakan mata anggaran yang benar untuk sebuah transaksi dan kalaupun salah BPK akan bisa duduk bersama instansi dan Kementerian Keuangan untuk membahas jurnal guna memperbaiknya, hingga bagaimana suatu kerugian maupun potensi kerugian negara harus dikembalikan kepada negara melalui cara-cara yang juga baik dan benar.
Percayalah, saya pernah berminggu-minggu pulang malam demi membahas jurnal-jurnal koreksi bersama dengan rekan dari Kementerian Keuangan, teman-teman dari Bagian Keuangan, beserta juga pemeriksa BPK dalam kesempatan tertentu. Semuanya adalah demi pertanggungjawaban uang negara agar baik dan benar. Biar saya nggak malu sama anak-cucu kelak.
Untuk bisa mendorong akuntabilitas ini, BPK tentu mempunyai jurus-jurus yang luar biasa. Jurus pertama adalah akses penuh pada laporan keuangan dan data apapun yang dibutuhkan. Kalau ada auditan yang menyembunyikan data bisa dibawa ke Pak Polisi, lho. Jadi benar-benar harus terbuka. Toh kalau jujur ngapain harus takut? Jurus kedua adalah hubungan yang baik dengan pihak ketiga. Saya pernah berkali-kali ada dalam posisi BPK mengkonfirmasi temuan kepada pihak ketiga, yakni kontraktor maupun pelaksana pekerjaan lainnya, dan nyaris tidak pernah ada marah-marah, ada gontok-gontokan, apalagi bakar-bakaran. Jadi, setiap ke penyedia dipastikan modalnya kuat. Sedangkan, jurus terakhir adalah hubungan yang baik dengan auditan. Ini penting, karena hubungan baik instansi pemerintah dengan BPK menjadi landasan kerja yang baik demi terwujudnya laporan keuangan yang istimewa dan pada akhirnya mewujudkan pengawalan harta negara yang sebenar-benarnya.