Anakku, Di Mana Kamu?

Saya orang yang percaya pada kebetulan semesta. Saya percaya pada aneka peristiwa bisa jadi merupakan pertanda untuk hal lainnya. Seperti saya kisahkan di buku saya, OOM ALFA, saya membaca soal penyelamatan diri terhadap gempa pada malam sebelum gempa Jogja 2006, pada saat seharusnya saya membaca tentang Farmakognosi Fitokimia. Entah berkorelasi atau tidak, tapi kemarin saya mengalami sebuah peristiwa yang begitu mirip dengan yang saya alami 10 tahun lalu. Sebuah kisah orangtua yang ‘kehilangan’ anaknya.

Memang, kisah ini bukan ‘hilang’ dalam konteks diculik atau sejenisnya. Sepuluh tahun silam, sudah ada handphone dan ‘hilang’ yang saya maksud berkorelasi tentang itu. Dua kisah ketika ada orangtua yang mencari anaknya karena anaknya tidak bisa dihubungi. Kisah 2004, orangtua menelepon anaknya tapi tidak diangkat. Kisah 2014, handphone sang anak mati dan orangtua bingung untuk menghubungi anaknya.

IMG_5220

Sepuluh tahun yang lalu saya sedang nongkrong galau di Lorong Cinta dalam rangka menunggu mantan calon gebetan selesai praktikum. Bukan pengen ngobrol atau apapun, cuma pengen melihat. Melihat sudah merupakan kegembiraan paling pilu dari pelaku cinta diam-diam. #tsahhh

Ketika sedang asyik berharap bin bermimpi, tetiba muncul seorang wanita setengah baya. Sempat masuk ke sekretariat fakultas, lalu berjalan ke arah saya. Seketika dia bertanya tentang sebuah nama yang kebetulan saya kenal karena memang satu kelas. Kelas C baru saja kelar kuliah dan hidup tentu bebas sesudah itu. Setahu saya, anaknya sedang di perpustakaan mencari buku tentang pelajaran. Kalau saya ke perpustakaan itu nggak lebih dari rebutan majalah olahraga, atau paling mentok majalah remaja.

“Anaknya kemana?” tanya Ibu itu.

“Kayaknya sih tadi ada, Bu. Memangnya kenapa?”

“Ini ada yang nelpon saya, katanya anak saya kecelakaan. Saya langsung ke sini.”

Setahu saya, teman saya itu berasal dari Magelang, yang cukup dekat dengan Jogja. Kalau terjadi pada Emak saya, ini pasti sesuatu yang tidak masuk akal. Jarak Magelang ke Jogja itu dalam satuan jam kira-kira bernilai 1. Kalau dari Bukittinggi, 1 jam itu bahkan belum sampai bandara. Belum cek in-nya, belum terbangnya, belum antre runway di Soekarno-Hatta, belum ambil bagasi di Adisucipto, dan belum lagi antre taksi-resmi-bertarif-semena-mena di bandara Jogja itu.

“Loh, kecelakaan gimana, Bu? Kita baru kelar kuliah, kok. Kayaknya anaknya lagi di perpus.”

Saya lalu mengajak Ibu tersebut ke perpustakaan yang terletak di gedung pusat. Menurut hikayat, dia sudah menelepon anaknya berulang kali dan tidak diangkat. Sebelum ke kampus, sudah mengecek ke kos dan anaknya juga nggak ada. Semakin hebohlah seorang Ibu yang kehilangan kontak dengan anak perempuannya itu. Saya yang melihat bahwa sebenarnya semuanya baik-baik saja, mencoba membantu untuk meluruskan karena kebetulan ketemunya sama saya.

Masuklah saya ke perpustakaan dan memanggil teman saya yang memang lagi asyik belajar. Benar saja, handphone-nya memang ditinggal di loker. Jadi, mau ditelepon sampai lebaran kuda, si anak tetap nggak akan tahu ada panggilan telepon untuknya. Begitu saya membawa teman saya keluar, suasana sudah seperti acara tali kasih yang mempertemukan sanak famili yang hilang, padahal ini cuma masalah miskomunikasi belaka.

Sama halnya dengan kemarin malam. Saya sedang asyik mengetik posting sebelum tulisan ini, yang tentang Pangan Olahan. Tetiba ada panggilan telepon yang dari dua huruf awalnya memperlihatkan diri bahwa berasal dari kantor. Maygat! Jam delapan malam lewat, dan ada panggilan dari kantor? Kalau ini terjadi sewaktu saya masih jadi Most Wanted Person (Untuk Dimarahi) di Palembang dulu, terima telepon dari kantor jam 8 malam itu wajar. Di Cikarang, kalau terima telepon di atas jam 8, itu berarti panggilan berasal dari makhluk lain karena kantor bubaran jam setengah lima. Sedangkan di kantor sekarang, sudah jelas jam office biasa, dan saya juga tidak termasuk manusia-yang-layak-dicari, tapi kenapa terus ada panggilan?

Rupanya ada seorang adik yang mencari kakaknya sampai ke kantor, dan kakaknya itu adalah teman saya sama-sama masuk kantor ini. Agak berbeda dengan kisah 10 tahun silam, si ‘anak hilang’ kali ini tidak satu area kerja sama saya. Satu-satunya kesamaan hanya sama-sama masuk. Kantor juga beda dan saya malah bertanya-tanya kenapa nomor kece saya yang harus ditelepon.

Untungnya, kondisi yang mirip sudah pernah saya alami 10 tahun silam. Jadi, saya tetap lanjut ngeblog sambil menghubungi teman yang kira-kira paham keadaannya. Benar saja, namanya juga anak muda yang mungkin lupa bawa powerbankhandphone teman saya ini mati dari siang dan jelas saya bikin nggak bisa ditelepon. Pun sesudah itu nggak langsung pulang bin ketemu charger sehingga alat bantu komunikasi primer di dunia masa kini itu tidak lantas menyala. Mendapati fakta bahwa anaknya tidak bisa ditelepon, dari siang sampai malam, sudah tentu bikin khawatir. Jelas banget.

Awalnya adik teman saya yang menelepon, tapi sudah saya kasih tahu kalau sebentar lagi pulang. Eh, jebule nggak segera tuntas. Kali ini Ibunya yang menelepon saya dan kagetlah saya. Pun saya bersyukur pernah mengalami kejadian 10 tahun yang lalu sehingga bisa cukup tenang mendapati fakta yang sedang menyertai aktivitas ngeblog saya. Tentu saja karena anaknya nggak kemana-mana, masalah segera berakhir pada jam 9 malam. Kasus ditutup.

Ah, saya jadi merasa aneh. Saya termasuk orang yang nggak suka dikhawatirkan. Saya ingin orangtua atau pacar cukup berpikir bahwa saya akan selalu baik-baik saja sehingga nggak perlu repot-repot mencari kalau sedang tidak bisa ditelepon. Saya juga jadi jarang bilang ke orangtua kalau sedang ada perjalanan jauh karena setiap saat pasti akan dipantau keberadaannya, dan bagi saya itu tidak cukup bikin nyaman. Demikian pula pacar yang bertanya ke adek saya ketika saya hanya sedang ketiduran dan tidak menjawab teleponnya.

Pengalaman kemaren adalah pengungkit peristiwa dan harusnya bikin sadar betapa kita sudah terikat benar dengan handphone sehingga tidak mengangkat benda mungil itu bisa jadi bermakna hilang. Terkadang bikin absurd, padahal bisa jadi dia memang tidak sedang memegang alat bantu itu, mungkin sedang di area produksi, mungkin sedang dipinjam copet, mungkin sedang digadai, atau mungkin sedang buat nonton YouTube. Pada sisi lain, tampaklah bahwa rasa sayang itu berbanding lurus dengan tingkat kekhawatiran.

Jadi, jikalau ada orang-orang terdekat menelepon kita, angkatlah! *ini sekaligus SELFTALK*

Advertisement

2 thoughts on “Anakku, Di Mana Kamu?”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.