Ketika bicara tentang bencana, saya akan selalu teringat dengan dokumentasi pribadi saya yang satu ini:
Ya, hingga setahun kemudian, saya masih sangat ingat rasanya berada di atas jembatan kebanggan masyarakat Palu itu. Betapa ketika berdiri di anjungan, ada getaran yang cukup terasa ketika mobil melintas. Teringat juga betapa saya mengagumi keindahan Teluk Donggala dari atas jembatan yang biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk melihat buaya yang tersangkut ban.
Kita semua tahu, bahwa jembatan itu, tepat 28 September 2018 sudah menjadi seperti ini:
Doa saya kepada para korban jiwa dalam gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan sekitarnya. Palu adalah tempat yang cukup istimewa buat saya pertama-tama karena rekan-rekan kerja saya di kota tersebut terbilang orang-orang baik dan sangat mudah diajak bekerja sama demi kepentingan organisasi. Jadi, saya tidak pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan di Palu. Semuanya baik, termasuk keindahan monumen Nosarara Nosabatutu, termasuk juga enaknya Kaki Lembu Donggala-nya.
Bencana Dalam Berbagai Perspektif
Oleh BNPB dan regulasi kebencanaan di Indonesia, bencana didefinisikan sebagai perisitwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Lebih spesifik, BNPB juga membagi bencana ke dalam tiga bagian. Pertama, bencana alam yang didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Kedua, bencana non alam yang dimaknai sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Ketiga, bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Dalam perspektif lain, sebuah buku berjudul Disaster Management mengklasifikasi bencana menjadi 2, yakni berdasarkan durasi waktu hingga terjadi bencana dan berdasarkan parameter yang memicu.
Berdasarkan durasi waktu hingga terjadinya, bencana didefinisikan sebagai Rapid Occuring Disasters dan Slow Occuring Disasters. Sedangkan berdasarkan parameter pemicunya, bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana alam yang dipicu intervensi manusia, dan bencana yang secara khusus hanya dibuat oleh manusia.
Untuk memahami definisi bencana dari perspektif pemicunya, akan lebih mudah jika kita melihat infografis berikut ini:
Berdasarkan infografis di atas, sekilas kita bisa melihat bahwa manusia hanya tidak bisa ikut campur sebagai penyebab pada 1 jenis saja yaitu natural. Sisanya? Mau sedikit atau bahkan menjadi penyebab sebenarnya, peran manusia itu ada. Peran kita itu nyata.
Pengalaman Bencana
Hari Sabtu pagi, 27 Mei 2006, saya ada jadwal ujian pukul 8 pagi. Belum lagi pukul 6 ketika saya terbangun oleh getaran yang cukup kencang. Karena saya besar di Bukittinggi, sebenarnya guncangan gempat sedikit-sedikit adalah hal yang biasa. Akan tetapi, pagi itu guncangannya begitu kencang.
Saya bergegas keluar sembari mengumpulkan kesadaran. Di depan kos saya ada sebuah bak air. Saya melihat belum bak air itu bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan menumpahkan air di dalamnya. Sesungguhnya, saya langsung sadar bahwa itu adalah gempa terbesar dan terlama yang pernah saya rasakan.
Ketika itu, status gunung Merapi yang posisinya dapat saya lihat dengan mudah dari kos juga sedang naik. Konteks tersebut yang kemudian membuat saya berasumsi bahwa gempa ini adalah karena gunung Merapi. Meskipun kemudian saya sadar bahwa gunung Merapi itu adalah gunung aktif dengan lubang pelepasan energi yang cukup besar. Artinya, sifat pergerakannya tidak akan membuat goncangan untuk lokasi belasan kilometer di selatan dengan intensitas sekencang itu.

Sebelum kemudian listrik terputus, saya masih sempat menyalakan televisi untuk mendapat informasi sekilas bahwa gempa barusan bersumber dari arah selatan, bukan dari Merapi. Guncangannya memang ‘hanya’ 5,9 skala Richter. Namun, karena gempanya ternyata dangkal dan berada pada jalur yang padat penduduk, maka jumlah korbannya menjadi luar biasa banyak. Ada lebih dari 6 ribu korban tewas dalam peristiwa ini.
Hari-hari berikutnya, dunia tidak lagi sama untuk saya. Sesungguhnya dalam peristiwa itu, meskipun saya merasakan sekali goncangan yang terjadi, saya bukanlah korban, tidak pula terdampak.
Korban adalah orang/sekelompok orang yang mengalami dampak buruk akibat bencana, seperti kerusakan dan atau kerugian harta benda, penderitaan dan atau kehilangan jiwa. Korban dapat dipilah berdasarkan klasifikasi korban meninggal, hilang, luka/sakit, menderita dan mengungsi.
Penderita/terdampak adalah orang atau sekelompok orang yang menderita akibat dampak buruk bencana, seperti kerusakan dan atau kerugian harta benda, namun masih dapat menempati tempat tinggalnya.
Saya kemudian turut serta menjadi relawan di tiga rumah sakit besar di Yogya yakni RS Panti Rapih, RS Bethesda, dan RS Sardjito berikut satu posko bantuan Jesuit Refugee Service (JRS). Semuanya saya lakoni dalam waktu 2 pekan.
Pengalaman Recovery Bencana
Dalam 2 pekan tersebut, saya terlibat aktif dalam upaya recovery pasca bencana, utamanya dalam aspek kesehatan. Hari pertama adalah pekerjaan fisik, terutama pada gedung-gedung yang terdampak. Pada posisi ini, untuk pertama kalinya seumur hidup, saya melihat mayat-mayat bergelimpangan. Itulah sebabnya saya bilang bahwa peristiwa itu tentu membuat hidup saya berbeda. Sebuah pengalaman introspektif yang luar biasa.
Hari-hari berikutnya, sebagai mahasiswa farmasi, saya dan teman-teman aktif di posko yang dibuka di rumah sakit. Mengelola bantuan, mendistribusikannya hingga ke perawat dan pasien, berbincang dengan pasien tentang kehilangan, hingga hal-hal remeh tapi menyebalkan khas bencana seperti obat bantuan yang kedaluwarsa dan dikirim pada tengah malam buta.
Pada tahun 2008, sebagai pungkasan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias, saya mendapat kesempatan terbang ke Nias guna menjadi bagian dari penyelesaian rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh dan Nias empat tahun sebelumnya khusus pada area obat dan logistik medis.
Tidak jauh dari pengalaman sebelumnya, namun tentu berada di sebuah pulau yang sangat akrab dengan gempa menjadi pengalaman yang berbeda. Saya masuk ke berbagai Puskesmas yang ada di pulau Nias sembari menikmati jalan yang sudah mulus sebagai hasil rehabilitasi. Meski begitu, saya juga mendapati bahwa dalam sebuah proyek perbaikan yang sedemikian masif, masih sangat banyak hal-hal yang dirasa kurang, antara lain adalah pengelolaan pada obat-obat bantuan yang hingga 4 tahun pasca bencana memang masih ada distribusinya.
Di Nias pula saya melihat alam yang berubah. Dalam sebuah perjalanan ke Nias Selatan, saya tiba di sebuah pantai yang menurut kisahnya sebelum gempa adalah spot dengan ombak tinggi yang dicari oleh peselancar. Ketika saya dan rombongan sampai ke tempat itu, kisah tersebut sudah tiada. Gerakan gempa menjadikan tempat itu tidak lagi asyik untuk berselancar, meskipun kemudian posisinya berpindah ke sisi lain dari garis pantai. Ya, sebuah dinamika alam di negeri yang merupakan ring of fire.
Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita
Ketika tulisan ini dibuat, sebagian wilayah Indonesia, utamanya di Sumatera dan Kalimantan sedang diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Berbasis data BNPB, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, kebakaran hutan bersama dengan banjir memang menjadi jenis bencana dengan frekuensi cukup besar kejadiannya di Indonesia.
Gempa, dan terlebih tsunami, terbilang jarang. Walau demikian, pada saat terjadi memang berdampak besar dalam konteks jumlah korban jiwa.
Hal yang menarik jika kita mengacu pada peran manusia dalam bencana sebagaimana literatur di atas adalah bahwa frekuensi yang paling banyak kejadiannya di Indonesia memanglah bencana-bencana dengan intervensi manusia yang sangat besar.
Artinya?
Ya, kita para manusia ini sebenarnya punya andil dalam terjadinya bencana. Tidaklah aneh ketika BNPB sebagai badan nasional yang diamanatkan menjalankan tugas penanggulangan bencana menggaungkan ‘kita jaga alam, alam jaga kita’, karena faktanya ‘kita’ sebagai manusia punya andil dalam 80 persen jenis bencana sebagaimana tampak pada infografis di bawah ini berupa kejadian bencana 10 tahun terakhir baik bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial.
Kita sebagai manusia sesungguhnya harus aktif merawat alam maupun lingkungan tempat tinggal kita. Hanya dengan tindakan seperti itulah, alam akhirnya akan merawat kita pula. Mari berkaca pada kejadian bencana seperti banjir dan longsor. Dua jenis bencana itu adalah bukti nyata bahwa keseimbangan alam terganggu dengan aktivitas yang dilakukan manusia. Demikian pula dengan pendangkalan sungai, penggunaan bantaran sungai sebagai pemukiman, maupun juga pemanfaatan lahan secara tidak tepat menjadi pemicu banyak bencana di Indonesia.
Perlu diingat, bahwa angka-angka yang ada pada statistik bencana sejatinya bukanlah sekadar angka belaka. Ada tangis perpisahan dengan para korban, ada kehilangan dari orang-orang tercinta, ada juga hasil kerja keras bertahun-tahun yang luluh lantak begitu saja karena bencana. Jika mengingat hal ini, semestinya kita akan lebih berupaya untuk sadar bencana.
Saya pernah kebetulan mampir di sebuah pemukiman yang ada di bantaran sungai, sekadar hendak beli gorengan karena sedang lewat. Saya iseng bertanya tentang banjir kepada pemilik warung. Jawabannya, sungguh mengejutkan.
“Ya, kan banjir juga paling setahun sekali. Kayak sekarang ya panas, biasa aja.”
Dalam konteks banjir seperti ini, banyak yang menganggapnya sebagai hal biasa. Pada suatu konsep yang penerapannya kurang tepat, mereka biasanya sudah punya mitigasi risiko sendiri. Kalau dilihat struktur rumah hingga penataan barang-barang di rumah sudah sedemikian rupa sehingga akan mudah untuk evakuasi jika tiba-tiba air tinggi.
Itu baru satu bencana. Perihal kebakaran hutan dan lahan, sesungguhnya kita pernah punya keberhasilan dalam 2-3 tahun terakhir. Entah kenapa, tahun 2019 ini, kebakaran mulai banyak meskipun sebenarnya hujan itu masih turun di bulan Juli. Alias, musim kemarau sejatinya belum lama-lama benar. Fakta tahun ini memperlihatkan bahwa sistem yang dibangun dalam 2-3 tahun terakhir belum cukup menjadi mitigasi yang ideal. Yah, faktanya, kabut asap masih melanda dan masih terus berusaha dikendalikan oleh pihak-pihak berwenang termasuk BNPB.
Apalagi kalau menyoal gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Seringkali, kita para masyarakat ini sadar bencana ketika lagi ramai di Aceh atau di Palu, misalnya. Sesudah itu, kita tenggelam dalam aktivitas sehari-hari dan lupa bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita senantiasa memiliki risiko bencana.
Konsep budaya sadar bencana secara sederhana dipahami sebagai perubahan paradigma penanggulangan bencana dari sekadar perspektif responsif belaka menuju terwujudnya pemahaman faktor-faktor risiko dan upaya pengurangan risiko bencana di lingkungan. Selain itu, diperlukan peningkatan kesadaran, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan bencana dalam menghadapi ancaman bencana melalui pelatihan secara bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan. Termasuk juga di dalamnya terwujudnya antisipasi, proteksi, dan penyelamatan diri dari ancaman bencana.
Ciamiknya Strategi Media BNPB
BNPB selaku pengemban amanat selama ini terbilang on the track dalam menjalankan fungsinya. Satu pujian yang harus selalu dilontarkan kepada BNPB terutama pimpinannya adalah ketika “melepas” Bapak Almarhum Sutopo Purwo Nugroho untuk menjadi media darling, dan bahkan pelan-pelan menjadi public darling.

Tidak semua instansi pemerintah, utamanya para pimpinan, memiliki kerendahan hati sedemikian rupa untuk melepaskan seorang Eselon II menjadi lebih terkenal daripada pimpinan BNPB itu sendiri.
Nyatanya, hal itu berhasil. Bapak Sutopo dengan ciamik memainkan perannya dalam edukasi kebencanaan. Memang, butuh terobosan khusus untuk bisa berpenetrasi ke dalam hati masyarakat dalam era modern dan zamannya media sosial seperti sekarang ini dan BNPB pernah cukup sukses untuk melakukan suatu terobosan. Sayang, memang, Bapak Sutopo telah meninggal dunia pasca berhadapan dengan kanker yang menyebar alias metastase.
Dalam posisi ini, tentu saja BNPB perlu merevitalisasi jalur yang sudah dilakoni oleh Bapak Sutopo untuk mengedukasi masyarakat. Sudah ada jalurnya, berarti tinggal diteruskan. Setidaknya, cita-cita agar terbentuk masyarakat yang sadar bencana sudah bisa mulai diinternalisasi sejak dini.
Sayangnya, memang Bapak Sutopo sudah tiada. Walau demikian, setidaknya BNPB secara institusi sudah berada pada jalur yang tepat dengan mengoptimalkan skema yang terlebih dahulu ada. Pola komunikasi yang sudah terbentuk itu bukan hal mudah untuk dibangun, adalah keuntungan bagi BNPB ketika pola itu sudah cukup mendarah daging di institusi. Hal ini tentu menjadi kekuatan BPNB dalam mengoptimalkan fungsinya dalam penanggulangan bencana di tingkat nasional.
Di atas bumi Indonesia yang faktor naturalnya sangat besar, sesungguhnya manusia bisa berperan mengurangi dampak bencana yang berasal dari faktor natural dan bahkan menihilkan bencana yang dapat disebabkan oleh manusia dengan menjaga alam. Bagaimanapun, kita percaya bahwa dengan menjaga alam, maka alam pasti akan menjaga kita.
Tabik.
Caranya ternyata tidak terlalu sulit cukup dengan kata kata ini:
1.Mulailah sekarang.
2.Mulailah dengan hal yang paling sederhana(seperti membuang sampah pada tempatnya).
3.Mulailah dari diri sendiri.
LikeLiked by 1 person