Tujuh Hari di Kendari

*ngusir gembel yang lagi nginep di blog ini*

*bersihin sarang laba-laba*

Tugas atau dinas luar adalah hal yang biasa dalam 2 tahun pertama karier saya, bahkan sempat sampai pada tataran bilang, “Udah, Pak. Yang lain aja yang berangkat”. Tapi itu dulu. Tiga tahun berikutnya? Boro-boro. Disuruh berangkat training aja kagak. Ngendon belajar sendiri di dalam kantor dan hanya pergi sekali. Itu juga ke Bandung, balik hari, bertemu supplier tua bangka dengan istri remaja. Kabar terakhir, supplier itu habis bangkit dari koma, untuk kedua kalinya. Luar biasa survive.

Untitled3

Maka, ketika masuk ke pekerjaan yang memang perlu dinas ke luar kota macam sekarang ini tentu nggak terlalu kagok. Koper siap, mental juga biasa. Koleksi botol shampo hotel saya cukup memperlihatkan jatidiri saya yang sudah menginap di berbagai hotel. *ngutil kok ngaku*

Masalahnya kemudian adalah surat tugas untuk pergi dinas itu datang tanggal 16 Oktober, untuk berangkat tanggal 19 Oktober. Bukan mepetnya yang jadi masalah, tapi tanggal 19 Oktober itu sudah saya book untuk menghadiri pernikahan Coco, si mantan playboy. Coco ini muncul beberapa kali di dalam buku saya OOM ALFA, terutama di bagian Gempa Jogja.

Di sisi lain, saya cukup excited dengan tugas perdana ini. Memang semua yang perdana itu bikin excited, semacam malam pertama (kecuali untuk yang sudah malam pertama duluan sebelum nikah, sih). Apalagi tujuannya adalah sebuah kota yang ada di kaki K dari pulau yang belum pernah saya injak sebelumnya. Celebes. Tebak, kota apa? Yup. Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Provinsi yang lagi butuh banyak anggota DPRD karena lagi hobi pemekaran. Entah pemekaran itu berguna atau tidak.

Dua agenda ini cukup mengesalkan saya. Kenapa ada pekan saat saya tidur-tiduran katek gawe di kos? Kenapa juga malah ada pekan ketika ada dua agenda penting yang harus saya lakoni? Namun, adalah konsekuensi saya untuk bertugas sesuai pekerjaan. Tinggal sekarang bagaimana caranya tetap mengakomodasi kawinan si Coco. Oh, bahkan saking dipersiapkannya, saya sudah booking hotel Alqueby di Bandung. Ya cuma buat datang kondangan itu.

Lewat pergumulan yang berbalut stressnya hendak berangkat dinas pertama kali–yang mana saya sama sekali nggak tahu mekanismenya dan kudu belajar sana-sini–akhirnya dapat deal-nya, dengan diri sendiri tentu saja. Pertama, saya akan tetap ke Bandung, soalnya sudah janji juga sama camer. Kedua, saya akan cabut pagi-pagi dari Bandung, menuju bandara Soekarno-Hatta, untuk penerbangan ke Kendari dengan Singa, jam 3 sore. #okesip

Hari Sabtu pagi-pagi saya sudah cabut ke Bandung, naik Cipaganti di Rawamangun. Sampai Pasteur, disambung taksi ke rumahnya pacar–padahal pacarnya lagi nggak ada di rumah. Lagi main ke London, setahun. Sorenya saya diantar sama adeknya pacar ke hotel lewat perjalanan mengerikan di macetnya Bandung Raya. Sampai di Alqueby, ketemu dengan Yoyo dan Robert, berikut istri dan anak. Ketemu juga dengan Edot bersama istri dan janin yang dikandung. Jadilah saya single diantara orang-orang yang double dan triple. Nasib.

Gunanya saya ke Bandung adalah ketemu si Coco. Jadi malam sesudah makan, saya lantas kabur ke acara midodareninya si mantan playboy ini. Sekadar menyampaikan amplop titipan dan setor muka. Bagaimanapun, tujuh tahun yang lalu saya pernah “menawarkan” sebuah nomor HP ke Coco, dan nomor itu adalah nomor istrinya sekarang. Waktu itu nggak dilanjutkan karena istrinya masih punya pacar, teman saya pula. Mbruwet pokoke. Kembali ke hotelnya bahkan diantar langsung sama calon penganten. Satu hal yang agak bikin sedih adalah saya nggak pernah bisa mengikuti bagian janji sakral teman-teman saya, walaupun datang ke kondangannya. Waktu Boris, pesawat baru sampai siang. Pas Yoyo, dia sakramen pagi, kurang dari dua jam sejak kereta mendarat–padahal lokasi di Wonosari. Hanya pas Cawaz nikah saya bisa ngikuti dari penganten pria bangun tidur sampai nyaris tidur lagi.

Nah, Minggu pagi saya dijemput sama travel bernama Delta Trans. Ini sih travel plat hitam, tapi berguna kalau buat antar dan jemput. Bayarnya memang lebih mahal, 140 ribu, tapi masih masuk akal dengan kemudahan menjemput ini. Kalau mau nomornya, ada nih 022 70453944. Supirnya juga enak diajak ngobrol.

Saya berangkat pagi, dan melewatkan sakramennya Coco karena mengejar pesawat. Eh, giliran sudah dikejar, ternyata kepagian. Cabut dari Bandung jam setengah 9, berhenti dua kali di rest area, jam 11 sudah sampai di bandara. Sempat kepikiran mau pulang dulu ngambil Eos yang sengaja ditinggal karena beban hidup terlalu berat, tapi saya urungkan takut kenapa-kenapa di jalan. Sambil menanti, saya malah bisa nonton MotoGP di Australia. Semacam tivi pribadi karena saya cari tempat pojokan yang tidak banyak orang. Selamat untuk Mbah Rossi yang bisa menang, dan pukpuk untuk yang pada jatuh.

Seperti biasa, namanya juga Singa, hampir pasti delay dikarenakan alasan operasional. Sebagai auditor, saya pengen nanya sih, operasional itu apa? Buktinya apa? Tapi nggak mungkin juga nanya. Begitulah, lebih dari 50% penerbangan dalam hidup saya menggunakan maskapai ini, jadi mau bagaimana lagi? Penerbangan ke Kendari ini adalah kali ke-44 saya naik Singa, padahal terbang baru 83 kali.

Untung saja saya cukup ngantuk untuk tidur di sepanjang perjalanan. Bukan apa-apa, tahu sendiri kalau Singa, kan nggak dikasih apapun. Penumpang jadi terpaksa mengenang mantan sambil melihat jendela. Kalau nggak mengenang, pilihan lain yang asoy ya bobo tampan. Maka, itulah yang saya lakoni dengan riang gembira.

Untitled

Sesudah mendarat ke Kendari, saya mendapati bandaranya yang tini wini biti, imutnya, ya memang tidak sekecil Binaka tentu saja. Begitu buka HP, jam ternyata tersinkronisasi otomatis. Yup, akhirnya saya merasakan juga jam WITA. Ya, sama saja sih sebenarnya. Kita tetap hidup, tetap bangun, tetap kerja. Beda jam doang. Bandara Haluoleo yang berada di Pangkalan Militer Wolter Monginsidi ini kira-kira 30 km jauhnya dari Kendari. Sebenarnya, bandara terletak di Kabupaten Konawe Selatan, sih. Mirip dengan bandara Hasanuddin Makassar yang sejatinya ada di Maros. Juga bandara Jogja yang entah ikut Sleman atau Bantul. Oh, bandara Minangkabau juga letaknya di Pariaman. Sesudah sampai di hotel, karena terlalu malam akhirnya kami cari makan di dekat-dekat hotel saja. Melihat warung makan dengan gambar GULAI dan SATE KAMBING, masuklah kita.

Ternyata, saudara-saudari, SATE KAMBING nggak ada, yang tersedia cuma ayam. Ya sudahlah. Gulainya? Katanya sih include. Baiklah, kami lalu menanti dengan setia sampai kemudian terhenyak begitu melihat yang datang adalah seporsi sate yang serupa tim futsal, bukan tim sepakbola yang kena kartu merah. Lalu gulainya? Lebih tepat disebut kuah karena ya memang kuah ditambah sohun sedikit. Begitu disebut GULAI. Asyem. Untung harganya cuma 15000 jadi nggak terlalu gelo.

Saya menginap di sebuah hotel bintang banyak, Swiss-Belhotel Kendari. Letaknya memang di tepi laut, tapi laut teluk. Jadi nggak ada debur ombak sama sekali. Dasar hoki, saya kemudian mendapat kamar dengan pemandangan yang cukup menarik. Dapat semak belukar, gunung, dan sedikit laut, serta yang paling penting: SUNRISE!

Seminggu saya di Kendari, ketika tidur malam saya selalu menyisakan bagian jendela yang terbuka, dan setiap pagi saya melihat matahari terbit. Dua hari pertama sempat lihat sunset. Hari berikutnya nggak. Bangun sudah jam 6, dan itu matahari sudah tinggi. Padahal, jam 6 itu kan jam 5 WIB, bukan jam bangun saya banget. Tapi kalau mau diturutin jam bangun saya (7 WIB), dijamin telat, wong itu berarti jam 8 WITA. Harus ada yang disesuaikan.

Selama di Kendari, saya buncit karena makan tiga kali sehari. Sarapan di hotel, jelas dengan aneka pilihan yang saya embat semua. Makan siang di kantor dengan aneka olahan ikan khas Kendari, oh, ada kepiting juga, sih. Makan malamnya macam-macam, mulai dari Konro, Bebek Bakar Madu, Mie Goreng, sampai Lele Rica-Rica. Yang unik, dari aneka makan malam itu, lebih kental jawanya. Kami makan di warung Mas Djoko (jelas-jelas Jawa) dan di warung WONG JOWO! Jauh-jauh ke Kendari, makanan tetap Jawa. Super.

Untitled2

Dinas berakhir di hari Sabtu dan saya sama sekali nggak nyicip gym atau kolam di hotel ini. Agak menyesal tapi nggak apa-apa. Nggak mungkin juga kemaren saya bawa sepatu olahraga dengan koper yang sudah padat merayap pahit meresap itu. Lain kali. Toh saya akan akan melakoni pekerjaan ini paling lama untuk 33 tahun ke depan 😀

Penerbangan pulang menggunakan Garuda. Saya terbang bersama pemilik GFF Silver. Tampak anti mainstream dengan biru merona seorang diri. Dasar cupu. Begitu membayar airport tax agak kaget karena murah banget, hanya 11000. Begitu akan naik, ada yang nyegat dan meminta membayar RETRIBUSI 24000! Sigh! Kalau ditotal kayaknya masih lebih murah daripada bandara Jogja, lho! Nanti cuma saya bahas sendiri tentang retribusi ini di blog yang lebih resmi.

Garuda dari Kendari mampir sejenak ke Makassar untuk menurunkan penumpang yang dari Kendari dan menaikkan penumpang dari Makassar. Satu pesawat untuk dua rute. Cerdas. Saya sendiri kedapatan duduk di depan seorang profesor dari Universitas Halu Oleo dan di samping seorang doktor peternakan dari UHO. Soal ini ada info baru juga karena ternyata singkatan Unhalu sudah tidak berlaku, diganti jadi UHO per 1 Oktober.

Untitled4

Malam minggu, saya tiba kembali di Jakarta dengan tampan dan kuku yang panjang. Tidak banyak halangan dan rintangan, sungguh terima kasih kepada Tuhan. Tujuh hari di Kendari adalah awal dari tugas saya di tempat yang baru ini. Semoga barokah. Amin.

8 thoughts on “Tujuh Hari di Kendari”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.