Heyhoh! Kembali lagi dalam edisi perjalanan di blog sepele ariesadhar.com ini! Kembali lagi atas nama pekerjaan, saya kembali naik pesawat. Sesungguhnya, naik pesawat di kala berita tentang proses evakuasi Air Asia QZ8501 sedang kencang-kencangnya, bukan hal yang mudah. Apalagi kali ini perjalanannya kembali menuju timur. Timur Prado…, eh, ya ke timur aja, gitu. Untungnya lagi, kali ini pekerjaannya tidak selama dan seberat yang dua perjalanan awal yang tentunya bisa dibaca juga liputannya di blog ini.
Jadi, kemana saya kali ini?
Yup, saya kembali lagi ke Bumi Celebes. Sesudah kemaren ke salah satu kakinya, sekarang saya ke kepalanya. Demi efektivitas perjalanan dan pekerjaan, akhirnya diputuskan bahwa berangkatnya jam 05.30 pagi WIB. Yang mana daripada saya harus sudah ada di bandara Soekarno-Hatta setidak-tidaknya jam 04.30, dan tentu saja saya nggak mungkin nunggu Damri jam segitu. Jadilah saya sok kaya dengan Taksi Blue Bird. Mau bagaimana lagi? Pukul 03.30 saya sudah cabut dari kosan, ditemani rintik hujan dan maling-maling yang sedang dinas.
Untunglah, perjalanan panjang yang hampir 3 jam itu ditemani oleh layar di depan mata. Setidaknya saya tidak se-magabut waktu ke Kendari naik Lion Air, sampai-sampai saya nyolong majalah milik tauke di kursi sebelah. Saya kemudian mencoba menghabiskan waktu dengan menonton film ini.
Siapapun yang menganggap Nicholas Saputra sebaik Rangga dan Gie, maka boleh menonton film ini. Nicholas Saputra menjadi pemuda mabukan, gitingan, dan rokokan. Semacam nggak ada klimaks, tapi film ini tetaplah keren, walau digarap dengan sangat sederhana. Plus, tidak boleh ditonton oleh anak-anak yang masih mencari jatidiri. Adegan giting dan beberapa yang rada mesum agak kurang baik rasanya. Cocoknya justru untuk yang berumur 27 tahun. Lha, saya sudah dua puluh sekian, belum kawin pula, KUMAHA?
Sesudah nonton film, ternyata belum sampai. Ya, memang filmnya 1 jam 40-an menit, perjalanannya kurang lebih dua kali lipat. Bingunglah awak, dan berakhir pada mendengarkan musik. Pengen tidur, tapi nggak bisa karena bocah di samping saya rada-rada menyentuh. Hingga akhirnya saya sampai di bandara yang boleh dibilang runway-nya lumayan panjang. Sam Ratulangi, Manado. Curiga, sih, bandara sejauh itu masih di kota Manado apa sudah ke kabupaten mana.
Langsung menuju kantor, saya–seperti biasa–mengamat-amati sekitar. Apalagi kalau kata Riyan Ingar dan Probo Bharoto, cewek Manado itu kece punya. Poin penting sekali, tuh. Eh, begitu lihat melihat, saya malah menemukan pemandangan keren yang beberapa pekan lalu saya lihat di televisi.
MONUMEN YESUS MEMBERKATI! Waktu nonton kemaren, saya sudah membayangkan bakal melihat langsung. Entah kenapa terwujud dalam waktu singkat. Dan lebih tidak diduga lagi, ternyata hanya 2 tikungan dari kantor! Bahkan mau balik ke hotel, serta mau berangkat juga bisa lewat monumen ini. Ya, memang, pemandangan macam ini hanya bisa ditemui di Manado, Kupang, atau Manokwari, jadi langka. Di Manado ini memang kebanyakan salibnya. Saya pernah menguap sekali pas di mobil, dan dalam sekali nguap, 3 gereja terlewati.
Saya menghabiskan malam di hotel Travello, bintang 3 yang tarifnya lumayan miring. Dapatnya di lantai 8 pula. Pas saya bisa lihat laut dikit-dikit. Awalnya saya mau booking di De Nearby dengan harapan bisa lihat laut. Eh, pas ditelepon ternyata penuh. Jadi saya lari ke Travello, yang ternyata beralamat di Jalan Sudirman nomor 123. Klik disini untuk tahu betapa pentingnya angka 123 buat saya.
Nah, waktu di Kendari, saya sempat googling mencari gereja, dan kiranya berjarak kurang lebih 1,2 kilometer. Saya keder, meski jarak itu sebenarnya nggak jauh-jauh amat. Pas di Palembang, saya sih tahu gerejanya, cuma sudah terlalu lelah ketika bangun pagi. *alasan*. Karena ini hanya dinas singkat, plus dari tadi lihat banyak gereja, pikir saya, “masak sih nggak ada satu aja gereja yang dekat?”
Saya lantas googling gereja-gereja di Manado, yang ternyata memang banyak sekali. Hingga kemudian saya menemukan sebuah gereja di Jalan Sudirman, nomor…
….121. Loh, sebelahan?
Saya mengintip dari jendela, tapi tidak melihat ada gereja di sebelah. Maka opsinya adalah sebelah lain dari hotel. Maka saya bergegas mencari jendela untuk bisa mengintip, dan benar saja, gereja itu ternyata bisa dilihat dengan sangat jelas.
Memang beneran sebelahan. Berarti gagal pesan di De Nearby ini sebenar-benarnya kode dari Tuhan bisa saja ikut misa harian. Maka, saya pun terlelap dengan bantal tepos di hotel yang diresmikan oleh Presiden SBY ini. Berharap bisa bangun pagi dan mlipir misa harian yang menurut hasil googling adalah jam 05.30 pagi.
Saya akhirnya berhasil sampai di TKP yang beneran cuma sepelemparan batu itu pada pukul 05.15 dan saya adalah orang keempat. Lah, kok sama aja dengan di Kramat? Misa harian sejumlah jari tangan? Eh, ternyata tidak, menjelang jam 05.30 jumlah umat yang datang semakin banyak dan, yah, namanya juga pemudi Katolik, mana ada yang datang ke misa harian? Pemuda-pemudi Katolik itu boleh dibilang jalan misa harian. Pupuslah cita-cita saya ngeceng pemudi Katolik asli Manado. Inilah kedok aslinya dari modus berbasis religi yang saya lakukan. Gereja ini juga adalah korban banjir, seperti halnya bangunan lain di pusat kota Manado saat musibah besar tahun lalu. Oh, iya, kemarenan saya sempat dikasih lihat ekses banjir yang ternyata ngeri juga. Mana itu kan pas setaun silam. Semoga korban yang meninggal kala itu diterima di sisi-Nya.
Sembari perjalanan pulang kantor di hari kedua, saya akhirnya foto langsung di Monumen Yesus Memberkati tadi. Hore. Terus saya juga lewat Stadion Klabat, saksi bisu final Liga Indonesia paling heroik tahun 1999 kalau nggak salah. Ketika Tugiyo mencetak satu-satunya gol kemenangan PSIS kala itu. Plus penampilan I Komang Putra yang tiada tanding. Golnya Tugiyo saja saya masih ingat. Kalau kata Riyan Ingar, mungkin sekarang Tugiyo sudah kembali ke kampungnya di Purwodadi. Apalagi ya? Oh, makan tentu saja. Sesudah makan produk kafir di hari pertama, akhirnya saya makan ikan khas Manado di hari kedua. Udah, gitu aja.
Dinas berakhir, saatnya pulang. Sambil pulang ini setidaknya saya melihat dua gereja Katolik. Jadi, dua malam di Manado saja, saya sudah melihat setidaknya empat gereja Katolik yakni Santo Ignatius, Katedral, Hati Kudus Yesus, dan Yesus Gembala Baik. Dan kayaknya ada 1 lagi, tapi nggak kelihatan namanya. Plus, puluhan gereja Kristen, serta yang keren, saya juga melihat banyak mesjid. Saya nggak tahu kondisinya, tetapi ketika bangunan-bangunan ibadah itu berdiri dengan tenang, syahdu juga lihatnya. Apalagi melihat bahwa nggak jauh-jauh dari Jakarta, ada yang baru mau ngecor parkiran saja sudah didemo, ngalah-ngalahi demo buruh. Sudahlah.
Bandara Sam Ratulangi ini menurut saya aneh. Kenapa? Karena ruang tunggunya ada 3, dan penumpang nggak bisa langsung menunggu di ruang tunggu. Jadi di luar, bersama dengan tenant-tenant yang bertebaran ada kursi–mirip T3 Soekarno-Hatta. Begitu pesawat ada dan siap, baru penumpang disuruh masuk ke ruang tunggu. Dan nggak lama kemudian baru masuk ke pesawat. Semacam rempong.
Sembari deg-degan melihat awan menggantung, saya kemudian memilih menghabiskan perjalanan dengan nonton film lagi. Kali ini saya nonton film tentang agama. Sejak lama saya pengen bikin novel canda-candaan tentang beda agama, dan kayaknya nonton film ini boleh juga buat inspirasi.
Namun alih-alih menikmati film, saya justru mendapatkan penyadaran yang luar biasa. Bukan penyadaran tentang cinta beda agama, tapi penyadaran bahwa…
…LAURA BASUKI ki pancen ayu tenan! Sayange kok wis dadi bini uwong!
Yup, Laura Basuki dan lagu-lagu Geisha akhirnya mengiringi pendaratan di Soekarno-Hatta. Selamat datang kembali, macet, sumpek, pening, hectic, dan apalah-bla-bla-bla! Mari tetap semangat untuk tugas perutusan berikutnya. Amen!
2 thoughts on “Dua Malam di Manado”