4 Sisi Melankolis Lorong Cinta

Bagi anak Universitas Sanata Dharma alias Sadhar, tepatnya penguasa teritori Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman tentu sangat paham tempat yang bernama Lorong Cinta. Saya sendiri tidak tahu sejak kapan Lorong Cinta dibangun, pun Bapak Penunggu Pentingsari yang mengaku dulu ikut menggarap Kampus III Sadhar tidak cerita kapan Lorong Cinta dibangun, dia malah cerita tentang ular-ular yang dulu menghuni lahan calon kampus. Heu.

Lorong Cinta sejatinya adalah sebuah bangunan biasa. Namun sama halnya dengan kampus-kampus lain dimanapun berada, pun mungkin di negerinya PK, salah dua atau salah tiga tempat akan menjadi sebuah monumen yang tercipta dengan sendirinya. Di Paingan, monumen itu adalah Lorong Cinta, bukan OOM ALFA.

Bagi anak Sadhar Paingan, Lorong Cinta bukanlah semata-mata bangunan yang dibuat untuk menghubungkan gedung yang kebanyakan isinya laboratorium dengan gedung yang isinya kantor dan ruang kuliah. Lorong Cinta menjelma menjadi sebuah tempat yang penuh nyawa karena dihidupkan oleh sisi-sisi melankolis manusia yang tumpah pada dirinya. Dalam skema kesentimentilan yang penuh bumbu melankolisme, saya mencoba menelaah Lorong Cinta dalam perspektif khusus, maka muncullah 4 sisi itu.

Menunggu

Lorong Cinta terletak persis di depan sekretariat Fakultas Farmasi di ujung satu, dan sekretariat lainnya di ujung sananya lagi. Di masing-masing ujung Lorong Cinta ada tangga, dan ada lift. Ketika mahasiswa Farmasi kelar kuliah, mereka akan turun ke lantai dasar dan pasti akan memandang Lorong Cinta. Pun dengan yang akan kuliah, atau akan praktikum, pasti akan sangat intim bersama Lorong Cinta.

IMG_0037

Letaknya yang demikian ini lantas bersisian dengan sisi melankolis bernama ‘menunggu’.

Lorong Cinta adalah saksi sebuah aktivitas biasa. Kuliah jam 9, datang jam 8.30, kemudian duduk-duduk manis di Lorong Cinta sambil menunggu kuliah. Itu aktivitas dasarnya. Kalau mau dibongkat, aktivitas sederhana itu kemudian bisa dijelmakan dalam aneka rupa fantasi.

Lorong Cinta bisa menjadi saksi ketika malam sebelumnya sepasang kekasih memutuskan untuk berpisah, namun setelah merenung semalam sang lelaki lantas menanti sang mantan kekasih yang baru udahan kuliah untuk kemudian membicarakan hal tertentu. Bisa jadi, kan?

Lorong Cinta juga adalah tempat bagi mahasiswa tingkat lanjut dan secara semester juga berusia lanjut untuk sekadar menanti. Kuliah sudah nggak, ngasdos juga jarang-jarang. Ke kampus mencari dosen, mencari literatur, dan sejenisnya. Karena pas di dekat sekretariat, ya menanti dosen paling pas adalah di Lorong Cinta.

Pertemuan

Ada suatu kala ketika sepasang calon kekasih menghabiskan pertemuan pertama mereka yang berdua saja di Lorong Cinta, hari Sabtu, ketika kampus sepi. Angin yang bertiup agak kencang tidak dipedulikan, pun si cicak yang nggak kelar-kelar membaca.

Lorong Cinta juga menjadi tempat yang tepat untuk janjian, untuk rapat, untuk bertemu asisten dosen, hingga untuk janjian COD. Apalagi Lorong Cinta memberikan nuansa yang tepat untuk sebuah pertemuan. Bayangkan ketika sedang duduk menanti, lantas dari kejauhan muncul seseorang yang kita nanti-nanti, ketika dia menjelang tiba dan lantas merapat. Entah itu teman, entah itu mantan, entah itu kekasih, semua punya sisi yang menarik untuk dicerna.

Bagi para alumni yang sudah tidak kenal siapapun, nongkrong di Lorong Cinta adalah kegiatan yang tepat untuk sekadar bertemu dosen yang sedang berkeliaran. Tampak simpel, namun melihat dosen kemudian salaman dan lantas dosennya masih ingat nama si alumni, itu pasti keren. Masalahnya, diingat itu kontekstual, bisa diingat karena nakal, bisa pula diingat karena ketemu di perkuliahan 4 kali untuk materi dan nama kuliah yang sama. Pertemuan yang pedih.

Berharap

Lorong Cinta memang tidak menyimpan suatu monumen yang tampak untuk mencerminkan harapan. Namun, berada di Lorong Cinta, sejatinya adalah bentuk harapan yang akan terwujud. Ya, sesederhana berharap jadi sarjana kemudian dalam proses yang melelahkan itu, duduk merenung, beria-ria, dan kemudian berpikir bahwa masih ada harapan untuk menuntaskan perjalanan yang panjang itu.

Lorong Cinta juga menjadi tempat ketika nilai-nilai ujian dikeluarkan dan dipampang serta dibagikan. Semuanya akan mengumpulkan, menghitung, kemudian berharap bahwa nilai baik yang dimimpi-mimpikan itu kemudian muncul. Lorong Cinta juga menjadi saksi harapan baru ketika orang yang ulang tahun mengeringkan badan pasca menjadi korban hijaunya kolam Paingan.

Harapan nyatanya kebanyakan ada di dalam hati. Ada saja mahasiswa yang duduk di Lorong Cinta tanpa arah dan tujuan, hanya berharap bisa melihat Sang Pujaan Hati dari kejauhan, berlari imut menuju laboratorium dengan tas hitam dan sepatu ketsnya, kemudian sudah. Ah, ini pasti cinta. Derita yang tiada akhir. Apalagi itu cinta diam-diam, sebuah akhir yang tidak memiliki awal.

Bahagia

Ketika saya selesai ujian skripsi terbuka tanggal 22 Januari, persatuan tim Swamedikasi dan tim Teh lantas menghelat peringatan kebahagiaan dengan tumpengan persis di tengah-tengah Lorong Cinta. Lulus ujian skripsi adalah bentuk kebahagiaan dan itu sungguh kami rayakan di tempat kami menunggu, di tempat kami berharap, dan di tempat kami saling bertemu untuk saling menguatkan.

Lorong Cinta adalah saksi bahagia ketika praktikum selesai dan data diperoleh dengan baik. Lorong Cinta juga merupakan tempat yang didatangi oleh sepasang kekasih dengan manisnya, lantas duduk bersama di kursi kayu sepanjang lorong, dan keduanya memamerkan senyum bahagia.

Image(128)

Namun, sebenarnya bahagia paling utama terjadi ketika seseorang yang memiliki harapan untuk sekadar bisa melihat sang pujaan hati yang tidak bisa dimiliki menunggu dengan sabar di Lorong Cinta kemudian justru bertemu dan bertukar sapa sebelum sang pujaan hati kembali berlalu dari depan mata. Sebenarnya, bahagia memang hanya sesepele itu.

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.