Bulan baru dan status baru, serta tentu saja tagihan baru blog ini. Heu. Maka, ada baiknya jika saya mulai melunasi hutang untuk misi yang ternyata tidak mudah bernama #KelilingKAJ. Sesudah menggunakan si BG untuk #KelilingKAJ ke Paskalis, Danau Sunter, dan Pejompongan, maka saya menggunakan teknologi baru untuk berkeliling. Teknologi bernama Go-Jek. Heuheu. Target #KelilingKAJ kali ini adalah salah satu Dekenat Selatan yakni Paroki Fransiskus Asisi Tebet.
Untuk menuju Gereja Katolik di kawasan Tebet ini, patokan paling mudah adalah Hotel Pop! Tebet. Berhubung satu kompleks dengan sekolah Asisi, Gerejanya tidak di pinggir jalan besar, melainkan di jalan kecil perumahan. Saya masuk melalui seberang Hotel Pop!, menyusuri jalan sesuai penunjuk arah panah ke sekolah. Masuk ke dalam kompleks sekolah Asisi kemudian melintas sekolah Asisi hingga ke ujung untuk kemudian menemukan sebuah bangunan yang tidak besar. Itulah Gereja Fransiskus Asisi Tebet.
Bentuk Gereja yang pernah diuncali bom molotov ini adalah segi lima. Kecil-kecilnya itu mirip dengan Paroki Jalan Malang. Karena segi lima, tentu saja penataan kursinya juga khas tidak lurus seperti Gereja lain pada umumnya karena memang disusun mengacu kepada pusat di altar. Gereja yang kecil dan posisi segi lima menyebabkan rombongan petugas misa nongol dari belakang. Tidak lupa untuk menyiasati lokasi, ada balkon dengan kapasitas lumayan memadai namun tangganya kecil-kecil jadi kudu hati-hati sekali. Bangunan yang ada ini dirancang oleh arsitek F. Kosman dan diresmikan pada tahun 1975, setelah sebelumnya di daerah yang sama sejak 1966 Ekaristi dirayakan di rumah salah satu keluarga.
Koornya ada di sisi kanan dari altar, demikian pula dengan mimbar milik lektor. Mimbar pemimpin ibadah ada di sisi kiri, kurang lebih segaris dengan tabernakel. Altarnya boleh dibilang lebih berjarak dengan umat dibandingkan Jalan Malang. Menurut saya, lho, ya.
Ngomong-ngomong, ada alasan juga bahwa Paroki ini tidak bisa dipisahkan dari Jalan Malang, tentu saja karena Paroki Tebet ini memang dipisahkan dari Jalan Malang, plus mendapat tambahan wilayah dari Bidara Cina dan Blok Q alias Santa. Tentu saja karena Tebet ini pas di tengah-tengah ketiganya. Buku baptisnya sendiri telah dimulai sejak tahun 1966.
Perintis pertama dari paroki ini adalah P. Bart (M.c.) Janssen, OFMCap. Beliau tiba dari Kalimantan. Yang mengundang adalah Mgr. Djajasepoetra dengan sebuah tanah luas yang masih perlu dibebaskan dari penduduk liar. Hingga kini, Pastor dari OFMCap masih menjadi gembala untuk area Tebet dan sekitarnya.
Saya sempat berkeliling beberapa kali pada bangunan Gereja yang dikelilingi dinding berselang-seling dengan pintu kaca geser, namun tidak menemukan Bunda Maria dalam bentuk tempat doa khusus. Saya hanya menemukannya di pojok kiri belakang–kalau dilihat dari altar. Bentuknya cukup unik, dan memang akan rusak kalau ditaruh di luar ruangan. Mungkin karena malam, saya gagal eksplorasi, siapa tahu sebenarnya seperti Gereja TKP #KelilingKAJ yang lain, ada tempat lain yang lebih mantap. Oh, iya, Gereja ini seperti halnya banyak Gereja lain di KAJ, sudah pakai AC. Pendingin ruangan yang digunakan adalah AC split biasa, adapun sisa-sisa kejayaan kipas masih tampak karena tidak dicopot.
Well, setidaknya di Tebet, saya sebagai umat asing, disapa sama orang lain. Yang menyapa saya ini:
Sambil bilang, “selamat sore”. Yes, sejauh yang saya alami, inilah yang terjadi, karena menyapa umat asing kiranya bukan hal lazim di Gereja Katolik yang saya datangi dalam misi #KelilingKAJ ini. Heuheuheu. Untuk misa di Gereja Tebet dipersembahkan pada hari Sabtu pukul 17.30, Minggu pukul 07.00, 09.30, dan 17.30. Jumlahnya rata-rata, tidak sebanyak Katedral maupun Rawamangun.
Demikian laporan singkat #KelilingKAJ dari selatan Jakarta. Untuk Dekenat Selatan, masih ada Cilandak, Blok B, dan Jagakarsa yang belum terjamah. Semoga masih ada waktu untuk berkeliling ke lebih dari 30 Gereja di KAJ yang belum sempat saya sambangi. Salam!