Oke, kita memasuki waktu dunia bagian semakin jarang #KelilingKAJ. Proyek dua setengah tahun silam ini memang semakin tersendat namun bukan bermakna saya tidak berkeliling dengan baik dan benar. Hanya post-nya yang agak tertunda-(tunda). Heuheu.
Dalam perjalanan #KelilingKAJ kali ini–yang saya lakoni beberapa waktu silam–sungguh penuh dengan drama. Berangkat dari kos-kosan dengan ayam, eh, awan mendung menggantung sembari menggunakan teknologi Gojek, akhirnya air yang nongkrong di langit itu tumpah kala saya dan Mang Gojek melewati sekitar Bank Indonesia. Untunglah saya anaknya well-prepared sehingga dengan bahagia bisa memberi tahu kepada Mang Gojek bahwa saya bawa mantel.
Hujanlah yang membuat saya agak terlambat untuk tiba misa di tempat tujuan #KelilingKAJ kali ini, namun tentu tiada mengurangi kekhusukan doa. Bayangkan rasanya berdoa dalam kondisi celana basah total plus AC Gereja nan dingin. Cocok dan sudah mirip di Sendang Sri Ningsih.
Tempat tujuan #KelilingKAJ nan penuh air ini adalah Gereja Maria Bunda Perantara atau yang lebih dikenal dengan Paroki Cideng, tentu saja karena terletak di Cideng, tepatnya Jalan Tanah Abang II Nomor 105, satu jalur dengan kantor suatu bagian tentara yang saya lupa. Bangunannya terbilang tiada mirip Gereja karena memang terletak persis di pinggir jalan besar dan ramai serta dijepit perkantoran dan rumah tinggal. Parkiran tentu saja menjadi problema, meski tidak seekstrim Gereja Santa.
Pada mulanya di Cideng terdapat kamp internir. Pasca Perang Dunia II, para tawanan dibebaskan dengan salah seorang diantaranya adalah Pastor Cjser Hell, OFM alias Pastor Radio karena mengandalkan siaran radio dalam kegiatan Gereja yang beliau lakukan. Beliau tinggal di rumah yang ada di tempat Gereja berdiri sekarang, sebuah kapel kecil yang menjadi cikal bakal dari Paroki Cideng.
Awal mula kemerdekaan, adalah Paroki Kemakmuran yang membina umat di Cideng dengan menjadikannya sebagai Stasi. Puluhan tahun berlalu hingga tahun 1973-1974 dilaksanakan pembangunan gedung Gereja baru di lahan bangunan yang lama. Sakramen baptis sendiri mulai tercatat di Paroki Cideng per 6 April 1975 dan dua bulan kemudian diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ.
Boleh dibilang, Gereja di Cideng ini termasuk kalangan kecil di antara Gereja lain di KAJ yang telah saya datangi dalam misi #KelilingKAJ, bahkan rasanya lebih kecil dari Jalan Malang. Sudahlah kecil, mengecil pula di bagian altar, sehingga altar sepenuhnya milik Romo, ya karena memang untuk misdinar juga tidak cukup. Walau begitu misanya tetap nyaman dalam balutan semburan AC nan dingin.
Ketika saya misa di Cideng, kebetulan tidak terlalu padat–kemungkinan karena Minggu sore dan hujan besar pula. Datang sedikit terlambat, saya masih bisa duduk di bagian terdepan, sangat dekat dengan altar. Dengan ukuran yang terbilang kecil ini, menarik bagi saya untuk mengetahui misa di Cideng pada pekan suci.
Cari punya cari lokasi Bunda Maria, ternyata ada di sisi kanan altar. Kurang lebih sama seperti di Paroki Santa, kala Gua Maria terletak dalam lindungan sebuah pintu kaca, dengan luas tempat yang kalau saya rasa kok agak-agak mirip pula. Cukup adem berdoa dengan Bunda Maria di tempat ini meski sirkulasi sedikit menjadi kendala.
Well, jadwal misa di Cideng dipersembahkan pada Sabtu pukul 17.00, Minggu pukul 06.00, 08.00, dan 17.00. Lumayan ada 4 pilihan waktu yang bisa dipergunakan sebaik-baiknya. Mengingat lokasinya yang terbilang dekat dengan jalan protokol, Gereja Cideng bolehlah menjadi alternatif bagi yang sedang beraktivitas di sekitar Jalan MH. Thamrin–selain Theresia. Bukankah bertemu rekan seiman di tempat yang baru akan selalu menarik?
Demikian liputan dari Barat 1, yang diwakili Cideng, sampai ketemu di #KelilingKAJ berikutnya!