Cerita Farmasi: Balada Mengerjakan Tugas

Habis nonton Habibie dan Ainun di TV. Setengah senang karena akhirnya bisa nonton film itu juga. Tapi sedikit mempertanyakan kok secepat itu nongol di TV, padahal film itu kan termasuk film laris. Gegara nonton film itu, saya jadi memikirkan hal-hal yang romantis dalam hidup saya untuk ditulis sebagai cerita farmasi.

Sayangnya…

…nggak nemu.

Sumber: chentatulip.blogspot.com
Sumber: chentatulip.blogspot.com

Fiuh. Ya sudah. Berhubung luntang lantung gaje saya belum berakhir, mari kita teruskan cerita farmasi seri berikutnya. Sebelumnya saya sudah membagi informasi perihal cara anak farmasi kerja kelompok, kemudian tentang para ahli, dan terakhir soal bolos ala anak farmasi.

Berhubung tadi melihat adegan hidup kere-nya Habibie dan Ainun di Jerman sana, saya mendadak ingat masa lalu saya yang terbilang cukup prihatin. Secara kemampuan otak untuk bisa kuliah di farmasi, sebenarnya saya termasuk memprihatikan. Apalagi kalau sudah menilai soal muka, semakin memprihatinkan.

Jadi sekarang saya nggak akan membahas soal cerita farmasi secara umum ya, bakal lebih banyak soal saya dalam konteks mengerjakan tugas-tugas di Farmasi yang jumlahnya nggak kalah banyak dari jumlah tentara Firaun. Kalau sekarang saya bisa menulis posting ini menggunakan Tristan yang ganteng, jangan harap dulu saya bisa berlaku serupa.

Berikut kisahnya.

Tulis Tangan Edisi Percobaan

Seperti saya ceritakan sebelumnya bahwa kuliah di farmasi itu harus siap dengan laporan demi laporan. Nah, di semester 1 saya diperkenalkan dengan praktikum Farmasetika yang tentunya juga mengenal laporan. Sebagai newbie dalam kuliah kefarmasian, para mahasiswa disuruh membuat laporan dengan menulis pakai tangan. Gimana sih? Masak pakai tangan? Padahal kata editor waktu workshop, seharusnya kita menulis pakai hati.

*oke, abaikan.. barusan ini kegalauan anak sastra farmasi*

Sumber: www.catherinediary.info
Sumber: http://www.catherinediary.info

Karena termasuk pengenalan, jadi saya mengerjakan laporan praktikum ini dengan biasa-biasa saja. Kertas HVS yang putih mulus bagaikan bayi yang baru lahir itu saya nodai dengan tinta hitam. Tulisan tangan saya waktu itu lumayan bisa dibaca kok. Nggak seperti tulisan tangan beberapa teman yang untuk membacanya perlu memanggil ahli Hieroglyph dari Mesir terlebih dahulu. Noda di kertas putih itu kemudian dikumpulkan menjadi satu, kira-kira 8 sampai 10 halaman, lalu dikumpul sebagai laporan praktikum.

Namanya baru, jadi masih banyak yang harus diadaptasikan. Salah satu yang mengena di saya adalah evaluasi asisten terhadap pembahasan laporan yang saya buat. Saya ingat BANGET seorang asisten bernama Suryono (kalau nggak salah sih memang nama sebenarnya) menulis begini di laporan saya:

“Ini laporan praktikum, bukan novel…”

JLEB! JLEB! Saya berasa pengen bilang ke Mas Asdos itu, “tusuk saja aku mas, tusuk!”

Saat itu, komentar Mas Asdos itu agak aneh. Karena pada awal saya masuk kuliah farmasi itu, saya BELUM pernah menulis cerpen sama sekali, apalagi novel. Tulisan-tulisan ketika itu cenderung bersifat ilmiah. Semisal tentang Ozon (juara III Nasional) atau tentang kepartaian (juara harapan di PDIP Sleman). Bagaimana bisa laporan praktikum saya dibilang kayak novel?

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya membaca kembali laporan itu, baru saya sadar bahwa bahasa saya di laporan itu memang membuat kertas HVS itu lebih pantas jadi bungkus gorengan daripada laporan praktikum. Ngawur habis.

Dari pengalaman mengerjakan laporan Farmasetika itu, saya kemudian mengevaluasi diri dan mulai memasuki tahapan tulis tangan edisi rajin di semester 2.

Tulis Tangan Edisi Rajin

Saya bisa pastikan bahwa dari 7 semester saya kuliah, dan 6 semester saya praktikum, semester 2 adalah semester saya paling niat membuat laporan. Hal itu saya buktikan ketika menjelang lulus saya mengemasi laporan-laporan untuk dijual kiloan demi makan ikan bawal goreng bumbu kecap. Oya, selain mengemasi laporan, saya juga mengemasi kenangan. Maklum, anak galau endonesa.

Hasil evaluasi saya pada saat semester 1 menghasilkan kesimpulan bahwa untuk membuat laporan yang baik dan benar, setidaknya saya harus mempersiapkan benda-benda sebagai berikut:

1. Kertas HVS A4S yang 80 gram
2. Sebuah kertas double folio yang garis-garisnya sudah ditebalkan
3. Spidol aneka warna
4. Alat tulis alias pena alias bolpen Hi-Tech dengan milimeter 0.3 atau 0.5

Keempat benda itu kemudian selalu tersedia di dalam ‘laptop’ saya. Dikarenakan dulu saya masih susah, jadi saya nggak punya laptop. Saya hanya buah sebuah holder plastik seukuran laptop yang kemudian saya anggap saja sebagai ‘laptop’.

Dan laporan saya yang paling niat itu jatuh pada praktikum Mikrobiologi. Entah kenapa saya memutuskan demikian. Bisa jadi sih, karena isi laporannya kebanyakan menggambar mikroba, yang mana ada banyak kemiripan antara muka saya dengan koloni mikroba. Praktikum mikrobiologi ini jatuh pada hari Isnin, bareng dengan Biokimia. Kalau biokimia itu kebanyakan pengolahan data dan kurva baku. Mengingat kurva baku itu identik dengan pintar, sedangkan menggambar itu identik dengan kreatif, akhirnya saya memilih untuk sangat fokus di laporan Mikrobiologi ini.

Bukti niat saya bisa ditanyakan kepada adek-adek kelas yang pernah minjem ya. Sekarang juga saya nggak bisa foto laporan-laporan itu karena saya lulus sebelum agresi militer ke-2. Harap maklum.

Wujud niat itu saya perlihatkan dengan tulisan yang rapi banget. Tulisan rapi itu dipersembahkan oleh kertas double folio yang saya jadikan alas untuk menulis. Jadi ceritanya garis-garis di double folio itu saya tebalkan dengan spidol, kemudian di atasnya saya tempatkan kertas HVS A4S 80 gram, lantas saya jepit pakai paperclip. Nah, dengan begitu, saya bisa menulis dengan lurus kan?

Mengingat hidup belum bisa lurus, jadi menulis dengan lurus adalah sebuah prestasi yang lumayan.

Nah, supaya semakin rapi, saya membuatkan semacam bingkai di kertas itu. Semacam margin atas-bawah-kiri-kanan kalau menulis di MS Word. Kalau di praktikum biokimia saya menggarisi  setiap sisi margin dengan spidol. Biasa saja. Kalau untuk Mikrobiologi beda. Setiap sisi saya garisi dengan spidol yang berbeda. Jadi misalnya atas merah, bawah hijau, kiri hitam, kanan biru. Garis-garis ini konsisten di dalam satu laporan, tapi berbeda untuk laporan berikutnya.

Guna melengkapi laporan yang dibuat dengan sepenuh hati, kadang pada bagian landasan teori saya lengkapi dengan gambar yang diambil dari buku, saya fotokopi kemudian saya tempel di laporan. Bahkan sampai saya kemudian jadi asisten di praktikum yang sama, nyaris tidak ada yang membuat laporan seniat itu. Dan bahkan saya juga heran kenapa saya niat banget di praktikum yang satu itu.

Sayangnya, prestasi baik itu hanya bertahan 1 semester. Diri saya yang sebenarnya akhirnya tampak di semester selanjutnya, sampai akhir.

Tulis Tangan Edisi Yang Penting Kelar

Bagi anak farmasi yang ikut kurikulum pas saya masuk, beban semester 1 dan 2 itu ternyata nggak ada apa-apanya dibandingkan semester lanjutan. Makanya, semester 1 dan 2 itu harus dipuaskan dolan-dolannya. Soalnya semester 3 dan selanjutnya, anak farmasi akan lebih akrab dengan tugas dan laporan daripada dengan pacar sendiri.

*khusus yang punya pacar sih*

Di semester 3 ini saya mulai bubrah karena pada saat yang sama saya mengambil kewajiban lain dengan menjadi panitia di beberapa acara, plus memutuskan bergabung dengan PSM CF. Jadi, waktu luang yang biasanya saya manfaatkan untuk ke perpustakaan di malam hari, semata-mata biar pulang lebih malam, dipindahkan ke aktivitas lain tadi. Oya, perihal kenapa saya harus pulang lebih malam, silakan klik tag ceritaalfa, dan kalian akan mengetahui sesuatu.

Kalau di praktikum Mikrobiologi dulu, saya sudah menyelesaikan laporan di hari Kamis untuk dikumpulkan hari Senin, di semester 3 saya bahkan masih harus mengerjakan laporan sambil latihan PSM. Antara kelihatan rajin atau ketahuan malas. Tapi dari tampang sudah jelas bahwa saya malas.

Double folio yang sama masih digunakan, kertasnya juga masih A4S 80 gram karena saya belinya 1 rim, bahkan alat tulis yang digunakan juga masih sama, walaupun saya harus makan tempe 2 minggu penuh untuk membeli isi ulangnya, maklum, orang susah.

Yang membedakan adalah tidak ada lagi garis-garis warna-warni yang membatasi. Bahkan, begitu habis tengah semester, tidak ada lagi itu garis margin. Saya hanya menulis laporan dengan tulisan yang mulai mendekati absurdnya Hieroglyh. Semoga Mas dan Mbak Asdos tidak perlu memanggil ahli dari Bangsa Sumeria untuk membaca laporan saya.

Inilah edisi, bikin laporan yang penting kelar.

Mengetik di Workstation

Semester 1 sampai 3 memang luar biasa, utamanya karena banyak laporan yang kudu digarap dengan tulisan tangan. Bagi orang yang nggak punya komputer dan hanya punya tangan kayak saya, sebenarnya ini keuntungan juga. Mengerjakan laporan dengan tulis tangan bisa dilakukan di mana saja. Saya pernah mengerjakan laporan di kelas, sambil kuliah, dengan ekspresi pura-pura mencatat segala yang diomongin sama dosen. Padahal jelas-jelas dosennya lagi intermezo dan cerita soal sinetron. Memangnya saya mau mencatat omongan dosen soal Dian Sastro? Ini juga keanehan anak farmasi. Mengorbankan yang 2 SKS (kuliah) demi yang 1 SKS (praktikum). Ya, tapi pada umur segitu, saya belum ngerti. Semoga anak-anak farmasi yang baca tulisan ini jadi ngerti soal mana yang harus diprioritaskan.

Sumber: www.kookerkids.com
Sumber: http://www.kookerkids.com

Nah, mulai semester 4 ke atas, mulai deh ada laporan kelompok. Dengan teknik mengerjakan laporan seperti yang sudah saya kisahkan pada cerita farmasi yang terdahulu. Problem besarnya adalah…

…saya tidak punya komputer.

Untunglah Tuhan itu menciptakan masalah sepaket sama solusinya. Solusi meminta komputer jelas nggak mungkin karena saya tahu benar kondisi keuangan keluarga saya. Bukan nggak mungkin sih, tapi lebih kepada nggak berani.

Jadi mari kita memutar otak.

*putar putar puyeng*

Solusi yang saya temukan adalah sebuah tempat bernama Workstation di kampus saya. Tempat yang sering disingkat WS ini tentu saja bukan jualan Steak. Letaknya ada di dalam perpustakaan dan menyediakan komputer yang bisa digunakan oleh mahasiswa. Sebagian komputer tersambung dengan internet, sedangkan sisanya tidak.

Terus saya pakai komputer itu?

Iya. Dan bayar. Metode pembayarannya menggunakan sebuah kartu yang disebut kartu WS. Tentunya jauh berbeda dengan kartu kredit, kartu debit, apalagi kartu merah. Satu kartu itu bernilai sekian unit, saya lupa berapa, mungkin sekitar 30 unit.

Nah nilai unit ini yang diterjemahkan berbeda. Khusus penggunaan internet 1 unit kalau nggak salah senilai 10 menit. Sedangkan kalau penggunaan komputer biasa 1 unit kira-kira setara 30 menit. Harga 1 kartu sendiri saya juga lupa, antara 10 atau 20 ribu. Mungkin pembaca yang satu zaman dengan saya bisa membantu dengan menulisnya di komen di bawah ini ya.

Maka, setiap kali mendapatkan tugas untuk mengetik data atau pembahasan, saya selalu mampir ke WS. Setiap waktu yang ada saya gunakan sebisanya. Kalau misalnya ada jeda kuliah 1-2 jam, saya akan lari ke perpustakaan dan menggarap sejenak. Kalau nggak bisa, ya malam hari. Sampai semester 6, sering saya pulang dari perpustakaan ketika lonceng perpustakaan sudah berbunyi. Ini perpustakaan sudah kayak pertandingan tinju saja ya, pakai lonceng. Selain itu, nuansanya jadi agak horor, malam-malam dengar suara lonceng.

Guna melengkapi kesempurnaan sebagai pengguna WS sejati, setiap kali ke WS saya selalu membawa satu kotak disket aneka warna. Untuk ukuran disket saya punya prinsip yang berbeda dengan urusan sempak. Kalau disket ini semakin berwarna-warni semakin baik, dan tidak demikian dengan koleksi sempak. Oya, ngomong-ngomong, sempak itu adalah bentuk serapan dari bahasa Belanda loh, tepatnya kata Zwempak. Jadi jangan mau menggunakan kata sempak.

Misal ke laundry, dan mau nanya tinggal bilang, “Mbak, disini bisa nyuci zwempak?”

“Hah? Apa Mas?”

“Zwempak, Mbak. Bisa?”

“Itu apa Mas?”

“Sempak, Mbak. Jeroan.”

Ini gimana ceritanya dari disket kok bisa kabur ke urusan sempak sih?

Koleksi disket saya aneka ragam, terutama mengingat kapasitas disket yang amat sangat terbatas sekali. Belum lagi kalau udah urusan mengumpulkan tugas, disket itu harus didistribusikan. Jadi kadang disket merah untuk tugas Kimia Analisis, kasih ke Tata. Lalu disket hijau tugas Farmakognosi, kasih ke Budi. Sedangkan disket pink renda-renda kasih ke Tintus. Ya, semacam itu kira-kira.

Mengetik di Rental Komputer

Saya memilih WS karena harganya yang cocok di kantong. Tapi ternyata banyak mahasiswa lain yang berpikiran sama dengan saya. Akhirnya, pada jam-jam tertentu, saya nggak bisa menggunakan WS karena penuh. Untung juga ya waktu itu Mark Zuckerberg belum menggalakkan Facebook. Kalau saja zaman perjuangan dulu ada FB, mungkin isinya WS itu orang update status semua.

Ketika WS penuh, maka pilihannya adalah rental komputer. Harganya sebenarnya tidak cukup mahal untuk ukuran dompet saya sekarang. Apa sih artinya 1000 sejam? Nominal itu sekarang cuma bisa buat parkir, tapi di zaman saya mengejar gelar sarjana, nominal itu amat sangat berarti.

Hal yang kadang bikin malas di rental ini adalah komputer rental itu sebagian merangkap sebagai peternakan, dengan spesialisasi peternakan virus. Gimana rasanya sudah susah-susah ngetik, giliran di-save terus dibuka lagi kemudian hilang? Ini sudah semacam PDKT, lalu nembak terus dijawab “aku mau”, tapi kemudian si target menghilang secara tiba-tiba dengan bunyi, “cling”.

Nggebet Jinny Oh Jinny ya gitu itu.

Tapi kalau sudah namanya tugas dan harus kelar, mau nggak mau akan ke rental juga kok.

Mengetik di Warnet

Nah kalau WS tutup jam setengah 9 dengan loncengnya yang legendaris itu, rental justru tutup lebih cepat. Sementara saya baru pulang latihan PSM jam 9 malam. Terus gimana dong?

Sumber: crackthatprofile.blogspot.com
Sumber: crackthatprofile.blogspot.com

Sekali lagi, namanya tugas itu sangat identik dengan kepercayaan. Jangan sekali-kali melanggar kepercayaan yang sudah diberikan. Akibatnya bisa fatal. Ini soal nasib orang banyak, yang siap berubah menjadi siluman piranha kalau kita nggak mengumpulkan tugas tepat waktu.

Jadi, kalau sudah kepepet bener, maka saya akan lari ke hutan, kemudian teriak. Lalu lari ke pantai, teriak juga.

Tuh kan, malah jadi AADC. Yang bener, saya lari ke warnet alias warung internet. Harganya sejam 3000 rupiah. Bayangkan saja rasanya membayar 3000 rupiah hanya untuk mengetik. Jumlah segitu, dulu, sudah bisa dapat es teh manis sampai kembung.

Mengetik di Kos Teman

Jika kebetulan akhir bulan, ketika duit di kantong hanya ada 3000 rupiah, maka harus ada solusi sampingan. Nggak mungkin saya ke warnet lalu ngemis dulu dari bilik ke bilik untuk membiayai waktu saya mengetik di warnet. Meskipun memang secara muka sudah cocok sih. Cocok jadi pengemis tampan.

Yang mau muntah, dipersilakan.

Solusi untuk hal ini adalah teman yang sudah punya komputer pribadi dan tinggal di dekat-dekat kos-kosan saya. Korban yang paling sering saya sambangi untuk nebeng ngetik adalah Robert. Dia sudah punya komputer sendiri di kamar kosnya dengan spek yang lumayan. Jadi deh terkadang saya menyambangi dan terpaksa menjadi kambing congek orang pacaran sambil ngetik tugas.

Ini terpaksa, demi masa depan bangsa.

Mengetik di Komputer BEMF

Ketika solusi-solusi di atas tidak bisa terpenuhi oleh berbagai alasan, saya dikasih alternatif lain sama Tuhan. Jadi ketika itu saya menjabat sebagai manajer Divisi Jurnalistik BEMF Fakultas sehingga menjadi salah satu orang yang mendapat akses kunci ruang BEMF. Dan kok ya kebetulan BEMF baru beli komputer.

Ketepatan juga saat itu saya sibuk-sibuknya persiapan konser Melody of Memory sehingga baru pulang ke kos jam 10 ke atas. Mau ngetik dimana kalau begini? Sudahlah akhir bulan pula, namanya juga orang kere jadi nggak bisa ke warnet. Padahal lagi, tugas itu harus diserahkan ke pengumpul besok pagi jam 7. Dan besoknya itu kuliah full dari jam 7 sampai 9 dan lanjut dua praktikum.

Ya intinya, itu tugas harus digarap sebelum jam 7 pagi.

Jadi gimana? Saya perlu panggil Jin-nya Bandung Bondowoso sama Sangkuriang? Lha mau ke warnet aja nggak punya duit, apalagi bayarin jin.

Saya datang ke kampus jam 6 lewat 5 menit, persis ketika parkiran sepeda motor di kampus baru dibuka, dan saya menjadi sepeda motor pertama yang parkir disana. Kalau saja ini mall, mungkin saya sudah dapat payung cantik sebagai pengunjung pertama. Sekitar jam 6 lewat 10 saya sudah sampai ke ruang BEMF, membuka pintu, nongkrong di depan komputer dan asyik menerjemahkan jurnal. Begitu jam menunjuk 6.50, itu tugas harus sudah tersimpan di disket dan kemudian diserahkan kepada pengumpul. Jadi saya hanya punya waktu sekitar 40 menit untuk mengejar tugas itu.

Cara begini saya lakoni beberapa kali di bulan persiapan konser Melody of Memory. Soalnya memang hanya ini satu-satunya cara yang paling masuk akal untuk bisa tetap konsisten jadi mahasiswa yang mengerjakan tugas.

(Akhirnya) Mengetik di Komputer Sendiri

Sampai semester 6 saya berhasil melakoni hidup tanpa memiliki komputer sendiri. Sebuah waktu yang cukup panjang untuk bisa survive, sementara beberapa teman bahkan sudah punya notebook. Lagi-lagi, Tuhan itu baik kepada orang yang berusaha.

Bermula dari beasiswa Student Fund yang saya terima, uang semester yang sudah saya bayarkan akhirnya di-refund karena saya dapat fasilitas bebas uang semester. Nah, uang itu lantas saya belikan monitor. Terus saya memberanikan diri untuk meminta duit ke rumah, untuk beli CPU. Iya, CPU-nya doank. Soalnya monitornya sudah ada.

Sekitar akhir April atau nyaris di penghujung semester 6, akhirnya saya ditransferi duit dan disuruh beli CPU. Sesudah perjuangan dari komputer WS yang mana saya sudah pernah mencicipi semua meja, juga perjuangan dari rental ke rental termasuk membantu proses peternakan virus, sampai nebeng bermodal muka badak, akhirnya saya bisa merasakan nikmatnya mengetik tugas di dalam kamar sendiri, menggunakan komputer sendiri.

Sampai akhirnya saya lulus, hanya sekitar 8 bulan komputer itu terpakai. Tapi menjadi penting karena komputer itu yang kemudian saya gunakan dalam menulis skripsi.

Kalau dipikir-pikir, saya sendiri juga heran kok bisa saya survive lulus dalam waktu yang cukup cepat dengan kondisi yang semacam itu. Tapi nggak usah dipikir juga sih. Nyatanya saya bisa lulus kok dengan segala keterbatasan yang ada. Artinya, seharusnya saya bisa berbuat lebih maksimal dengan segala kemudahan yang ada di depan mata saya sekarang.

Adakah yang punya pengalaman sama atau bahkan lebih mengenaskan? Jangan ragu untuk berbagi ya.

😀

Advertisement

6 thoughts on “Cerita Farmasi: Balada Mengerjakan Tugas”

  1. Hebat. . .. . saya berasa mau balik lagi ke masa-masa kuliah farmasi dan Apoteker ( ahahahha, …. bisa diprotes suami )

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.