Cerita Farmasi: Farmasetika (1)

Jalan nasib akhirnya membawa saya sebagai mahasiswa baru di fakultas farmasi, dengan sebuah bekal sepele: tukang obat. Udah, ngertinya itu doang. Sebuah bekal yang luar biasa suram untuk mengarungi belantara perkuliahan yang berat. Iya, kuliah saya sudah berat, ini kuliah farmasi pula.

Dan tidak ada waktu untuk bulan madu menjadi mahasiswa. Sesudah ospek, paralel dengan menempuh mata kuliah dasar, kami sudah harus melakoni kegiatan yang adalah trademark mahasiswa farmasi. Sebut saja kegiatan itu sebagai bunga, eh… praktikum.

Semua hal yang sifatnya pertama itu memang selalu seru. Waktu kita baru pertama kali bisa jalan, orang tua akan sorak-sorak kegirangan. Waktu kita pertama kali jatuh cinta, berjuta rasanya. Waktu kita pertama kali putus cinta, rasanya ingin mati saja. Waktu kita pertama kali berhasil menahan diri untuk tidak pipis di celana, orang tua malah tambah girang soalnya pengeluaran pampers sudah bisa dialihkan untuk nomat berdua saja.

Termasuk pertama kali praktikum ini. Nggak heran kalau jas-jas yang warnanya putih bersih mengalahkan iklan pemutih pakaian, plus bau toko yang menyeruak kemana-mana, adalah kondisi wajar di hari Rabu pagi, di depan lab Farmasetika.

Iya. Kami hendak melakoni praktikum Farmasetika Dasar.

Dan bahkan saya belum tahu apa itu arti dari Farmasetika.

Satu hal yang pasti, kami para peserta praktikum, atau yang kerap disebut praktikan, sudah diminta membawa panduan praktikum yang dapat difotokopi sendiri di tempat-tempat fotokopi terdekat, yang kalau tidak difotokopi segera, maka harganya akan naik besok Senin. Hampir sama dengan apartemen sih.

Jadi intinya, saya akan melakoni sebuah praktikum bernama Farmasetika Dasar, dengan jas putih yang masih bau toko dan tentu saja warnanya akan sangat kontras dengan warna kulit saya. Dan judul praktikum saya hari pertama itu adalah Pulvis, Pulveres, dan Capsulae.

Saya masuk dengan pengetahuan yang teramat sangat minim soal dunia kefarmasian. Jadi, ketika dengan benda-benda di depan mata ini, jadinya ya bingung.

Sejauh mata memandang, ada timbangan yang sejak jaman batu digunakan sebagai lambang pengadilan. Iya, masih yang kiri kanan gitu. Seandainya lambang pengadilan sudah digantikan oleh timbangan jarum atau digital, mungkin timbangan di lab ini akan diganti. Lalu ada juga mortir dan stamper. Mortir ini tentu saja bukan alat perang, tapi ya kalau jatuh ke lantai pasti akan bikin masalah karena bentuknya yang seperti mangkok namun jauh lebih tebal. Adapun stamper adalah jodohnya, berupa bentuk batang dengan ujung membulat. Pasangan romantis ini digunakan untuk mencampur bahan obat. Mirip alat buat ngulek sambel, tapi yang ini warnanya putih.

Sumber: protinal.com
Sumber: protinal.com

Di bagian bawah meja praktikum itu, ada sederet alat gelas. Ada gelas ukur, berupa gelas bermulut kecil tapi tinggi langsing dengan garis-garis ukuran di sepanjang bodinya yang seksi. Ada beker gelas yang semacam gelas biasa saja. Keduanya tersedia dalam berbaai ukuran.

Sumber: nurindasarii.blogspot.com
Sumber: nurindasarii.blogspot.com

Tugas dalam praktikum hari ini adalah membuat sediaan yang bernama Pulvis, Pulveres, dan Capsulae itu. Jadi kisahnya, di kali pertama saya menyentuh bahan obat ini, saya langsung disuruh membuat obat. Tapi tentu saja, hasil praktikum ini nggak akan dikonsumsi, kecuali oleh orang-orang yang berniat bunuh diri.

Ibarat membuat masakan yang enak, buat obat juga perlu resep campurannya. Dan untuk tiga macam obat itu, saya harus mengacu pada sebuah buku kuno yang bernama Formularium Medicamentorum Nederlandicum. Melihat bentuk buku yang ada di perpus lab itu, sepertinya buku itu sudah melalui masa-masa di bawah penjajahan Belanda dan Jepang. Mungkin juga menjadi saksi masuknya Sekutu yang boncengan. Plus ikut serta dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama.

Buku itu, bersama beberapa buku resep lainnya, adalah kumpulan penyembuh dari masa silam, ketika orang-orang belum mengenal tablet, sirup, apalagi sediaan injeksi. Dan benar juga sih bahwa anak-anak farmasi baru harus diperkenalkan pada sejarah dengan memegang buku-buku dari jaman Mbah saya masih main layangan itu.

Oke. Resep siap. Panduan siap. Hati yang nggak siap.

Saya sederet dengan Tintus dan Andrew. Kalau Tintus, dari muka udah kelihatan kalau bakal senasib sama saya, sama-sama nggak bisa. Beda sama Andrew yang lulusan SMF, dan pasti nggak akan kesulitan meracik obat macam begini. Jadilah, ketika saya keringat dingin, si Andrew malah tampak biasa saja.

Itu perbedaan mendasar lulusan sekolah umum dan sekolah kejuruan. Skill-nya beda banget..nget..nget…

Sediaan pertama yang saya garap dari tiga serangkai topik hari ini adalah Pulveres. Kalau kening pada berkerut mendengar nama ini, yakinlah ini bukan saudaranya petinggi Israel yang namanya Simon Peres. Juga bukan salah satu teknik mengeringkan cucian selain Memeres. Pulveres ini lebih dikenal sebagai puyer. Pernah dapat obat yang dibungkus kertas, dan isinya setengah mati pahitnya? Itulah pulveres.

Sumber: intranet.tdmu.edu.te.ua
Sumber: intranet.tdmu.edu.te.ua

Sediaan kedua yang menjadi garapan adalah Pulvis. Ini juga nggak ada kaitannya sama polis asuransi. Dan tentu saja bukan sejenis sama gulai pakis. Paling gampang menyebut pulvis ini kalau sudah menyebut bedak. Iya, bedak yang ditaburkan pada ketek karena baunya menggoda iman, itu adalah pulvis.

Sediaan terakhir yang menjadi pelengkap penderita saya adalah Capsulae. Ini pasti lebih familiar, karena nama Indonesia-nya sering diperdengarkan. Iya, kapsul. Sediaan obat yang sebenarnya berupa serbuk, tapi dibungkus oleh dua cangkang kapsul yang biasanya berwarna warni dan dibuat dari gelatin.

Benang merah dari tiga derita hari ini adalah mencampur serbuk. Ya kali gampang cuma tinggal kayak ngaduk tepung terigu sama gula kan?

Saya lempar mortir kalau sampai ada yang bilang gitu.

Masalah pertama sudah jelas, menimbang bahan. Seperti saya bilang tadi, timbangannya adalah lambang pengadilan, jadi benar-benar butuh keseimbangan. Misalkan kita hendak menimbang 100 gram laktosa, kan nggak mungkin kita naruh laktosa langsung di atas timbangan? Jadi kita taruh dulu wadah untuk meletakkan laktosa di sisi kanan. Nah, itu timbangan otomatis serong ke kanan dong? Maka saya harus menambahkan butir-butir besi yang beratnya sama dengan si wadah agar timbangan itu seimbang.

Sesudah seimbang, baru deh saya meletakkan anak timbang 100 gram di sisi kiri, lalu kemudian mengisi wadah dengan laktosa sampai timbangan itu seimbang kembali, kiri dan kanan.

Ngomongnya gampang banget. Giliran lagi nimbang, adanya gemes tingkat kotamadya. Bagaimana nggak gemes ketika kita dikejar waktu, sementara timbangan itu masih saja menggalau dengan tidak mau seimbang? Itu kalau yang ditimbang satu macam serbuk, berhubung ini 3 bentuk sediaan, maka setidaknya ada 9 jenis serbuk yang harus ditimbang, tentunya dengan bobot yang berbeda-beda pula.

Yah, di era modern, menuang butir besi itu sudah digantikan dengan tulisan ‘TARE’ di timbangan digital. Saya segera berdoa agar logo pengadilan segera diganti dengan timbangan digital, siapa tahu menimbang jadi lebih cepat.

Serbuk-serbuk tadi lantas dicampur sesuai resepnya masing-masing, di dalam mortir yang ukurannya sesuai. Dan dasar pemula, saya salah memperkirakan ukuran mortir yang digunakan. Ini sama saja dengan mau makan bakso pakai mangkok soto kudus alias muatannya lebih gede dari wadahnya.

Ya sudah, tumpah-tumpahlah serbuk putih yang berisi campuran entah apa itu di atas meja praktikum. Meja saya sudah jauh lebih kotor daripada dapur restoran pinggir jalan. Apalagi kalau kemudian melihat ke mejanya Andrew di sebelah yang mulus tanpa serbuk sedikitpun di atas mejanya.

Tiga jam berlalu, dan pada akhirnya saya gagal menuntaskan Capsulae sesuai jumlah yang diinginkan. Pulveresnya sih jadi dengan lipatan kertas yang antah berantah. Hanya Pulvis yang agak beres karena toh tinggal mencampur sebagian besar serbuk bernama Talkum dengan Asam Salisilat, lalu masukin ke wadahnya. Si Capsulae? Saking groginya, tangan saya mengeluarkan keringat yang kemudian menempel manja di cangkang kapsul. Jadinya proses mengisi serbuk ke dalam cangkang kapsul menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan, bahkan lebih sulit dari move on.

Sudah dapat dipastikan bahwa praktikum perdana saya ini gagal total. Yang harus dilakukan sesudah praktikum ini adalah pergi ke jalan raya sambil garuk-garuk aspal tanda penyesalan yang mendalam. Tentunya harus dihentikan sebelum dinas perhubungan menangkap saya karena dianggap merusak fasilitas umum.

Nggak apa-apa, namanya juga pertama.

Satu-satunya hal yang menarik dari praktikum pertama ini adalah mulai cairnya hubungan dengan rekan-rekan satu kelompok praktikum. Maklum, habis lepas dari SMA masing-masing, masih pura-pura jaim, padahal hingga bertahun-tahun ke depan orang-orang inilah yang akan menyertai perjalanan pendidikan menjadi apoteker.

Next time better.

Advertisement

10 thoughts on “Cerita Farmasi: Farmasetika (1)”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.