4 Omongan Yang Sering Dilontarkan Kepada Anak Farmasi

4 Omongan Yang Sering Dilontarkan Kepada Anak Farmasi

Sudah lama nggak nulis tentang farmasi. Tentunya karena saya sudah hampir 1 tahun tidak bekerja lagi di pabrik farmasi. Saya malah lebih sibuk mengenang, fotokopi dan mengisi TTS. Gimana, dong? Nah, untuk meredakan rindu pembaca farmasi di blog ini, saya mau menulis tentang beberapa kalimat berupa omongan yang sering terlontar kepada anak farmasi. Menurut riset yang dilakukan, bekerjasama dengan A.C.Lontong, hampir 99,4% anak farmasi pernah dan akan menerima omongan-omongan di bawah ini. Penasaran? Penampakan? Ini dia!

1. “Ini obat apa, sih?”

Begitu ketahuan kalau mahasiswa farmasi–semester 1 belum ospek sekalipun–seseorang akan mulai akrab dengan obat dan pertanyaan-pertanyaan terkait, terutama yang menjadi judul poin ini. Seringkali Mamak saya menelepon ketika sedang di rumah orang, “Bang, untuk apa obat ini, nak?”. Disebutkanlah sebuah merk. Mengingat di Indonesia Raya ini ada 200-an pabrik farmasi, masing-masing pabrik punya sekian ratus brand obat, maka ketika suatu merk disebut, apakah itu berarti saya akan mudah menyimpulkan dan menjawab dengan lugas dan tuntas berikut farmakoterapi obat orang lain yang sedang ditanyakan oleh orangtua saya? Ya, kali. Ketika saya menjadi karyawan pabrik yang merupakan market leader untuk obat generik, memang menjadi lebih mudah untuk menjawab. Apalagi saya kan PPIC.

Menjadi MIMS atau ISO berjalan adalah keharusan bagi seseorang yang sudah melekatkan farmasi dan hidup kesehariannya. Sejatinya sudah agak dipermudah ketika ada regulasi untuk mencantumkan kandungan obat dengan ukuran 80% dari font merk obat. Jadi, ketika saya ditanya, maka saya akan nanya balik, “isinya apa?”. Namun, bagi apoteker yang kerjanya mengurusi kotak dan angka di spreadsheet, mengurusi oli mesin cetak, mengurusi event, siapa yang ingat seketika suatu obat Lisinopril berasal dari golongan apa, mekanismenya gimana, tahunya ya obat hipertensi. Apakah dia termasuk golongan Angiotensin Receptor-Blocker (ARB), JKW, JK, Win-HT, dan golongan-golongan lainnya.

2. “Wah, bisa baca tulisan jelek, dong?”

Bisa baca tulisan ini?

bertha-004

99,7% manusia di Indonesia Raya ini kalau menemukan tulisan jelek, sontak akan berkomentar, “Wah, tulisan dokter!”. Sudah ada imajinasi di dalam akal dan pikiran serta kalbu bahwa tulisan dokter itu jelek. Nah, saya selalu kagum pada orang-orang di apotek yang bisa dengan mantap membaca resep dokter yang saya sendiri gagal memahami, atau bahkan merenungkannya sekalipun. Waktu belum menjadi anak farmasi, saya selalu berpikir bahwa dalam perkuliahan farmasi ini akan ada mata kuliah ‘Membaca Tulisan Jelek’. Saya tentu tidak menjustifikasi bahwa tulisan seluruh dokter adalah jelek, tapi sebagian yang saya temui tulisannya di resep memang jelek. Tapi, toh, banyak juga yang tulisannya bisa dibaca dengan baik, macam dokter Riani atau dokter Merry di Cikarang, tulisannya rancak punya tiada tara. Intinya, di perkuliahan farmasi tidak ada pengajaran khusus cara membaca tulisan jelek. Kebanyakan bahkan terlatih menulis jelek melalui laporan yang kejar tayang, yang bahkan dikerjakan dengan skema pre-test di sebelah kiri, laporan di sebelah kanan, dikerjakan bersamaan.

Lalu, bagaimana bisa resep itu terbaca dengan baik dan benar? Ini kombinasi banyak hal, tapi percayalah, ketika saya bertindak sebagai apoteker, saat saya ragu, saya akan bertanya kepada dokter penulis resepnya, walaupun harus mengorbankan kemaluan diri. Konsep membaca tulisan jelek pada resep sebenarnya merupakan paduan pengetahuan juga.

Begini, dalam melihat resep tentu ada nama dokternya. Dokter tertentu akan berpreferensi ke penyakit tertentu (spesialis) atau kadang ke obat-obat tertentu yang sering diresepkan. Hal ini kemudian dipadukan dengan pengetahuan obat-obat lain dalam satu resep. Jadi kalau obatnya sudah ada Ranitidin, maka kemungkinan obat dengan tulisan Ablablblabla (saking tidak bisa dibaca) adalah Antasida. Jadi tidak mungkin salah ambil menjadi Alopurinol. Atau jika tekanan darah pasien terbilang normal, Ablablablabla itu tidak akan menjelma menjadi Amlodipine pula.

Ini pengalaman saya ketika melakukan bakti sosial. Namanya baksos, yang ikut kadang orang yang kurang paham obat-obatan. Jadi, dengan niat baik dan tulus mereka akan berusaha sekeras mungkin membaca sebuah resep, namun untuk tulisan yang sandi-able, 70% salah membaca. Ya, semacam yang pernah kejadian, diagnosis batuk pilek, obatnya Alpara, diambilkan Alopurinol. Pilek nggak sembuh, urat nggak salah apa-apa, malah diobati. Banyak juga kejadian aneh lainnya, apalagi kalau dokternya nggaya nulis resep. Misal, Asmet. Setengah mati teman-teman saya tadi berputar mencari obat, padahal yang dimaksud adalah Asam Mefenamat. Seperti saya bilang tadi, kalau memang sudah mentok, saya dan teman-teman akan suruh-suruhan nanya ke dokter. Bukan apa-apa, kalau nanya terus, tiba-tiba dokternya akan nyeletuk, “tulisan saya jelek, ya?”. Menurut ngana, memangnya saya bisa bilang, “iya, dok!”?

3. “Ah, nanti kan tinggal pasang nama di apotek.”

Ini cita-cita mulia Mamak saya. Jadi dalam bayangan beliau, ketika nanti pensiun, pekerjaan yang akan dilakukan dalam masa tua nan indah adalah menunggui apotek, dengan nama saya terpasang manja di papan Apoteker Pengelola Apotek.

“Loh, Mak, kan aku kerja?”
“Ya, nggak apa-apa, toh?”
*hening*

Iya, memang banyak. Sangat banyak, bahkan, apotek yang tidak ada apoteker yang nongkrong. Kalaupun ada dan nongkrong, saya sendiri sebagai konsumen malah males, karena nggak akan bisa membeli Amoxicillin semudah membelinya kepada mbak-mbak-kasir-belaka, atau bahkan seperti yang pernah saya alami, beli antibiotik, diladeni sama satpam. Kece sekali pelayanannya, saking kecenya jadi keceh. Pret. Agaknya imej itu telah melekat, termasuk kepada orangtua saya. Bahwa apoteker itu cukup memasang nama di papan, kemudian kipas-kipas sambil menunggu uang masuk. Padahal, secara kajian bisnis, boleh jadi jualan kaos itu lebih mudah dan indah daripada jualan obat. Sudahlah persaingan tinggi (di dalam Villa Melati Mas yang notabene sebuah kompleks perumahan saja, apoteknya lebih dari 2), mengurus ijin juga tidak mudah, setiap bulan harus melapor, mending kalau rugi. Saya dulu ya kan pernah PKL di apotek, dan kok ya pas di apotek yang rada rugi, pula. Versi idealisnya, apotek itu tidak semata-mata bisnis, tapi juga kemanusiaan.

Well, ini sih masing-masing, namun karena saya manusia malas ribet ngurus anu dan itu, maka saya lebih memilih menggunakan gelar Apoteker sebagai komponen angka kredit dan status yang memungkinkan bisa ikut baksos sambil ngadem di bagian obat.

4. “Wah, lo bisa ngeracik narkoba!”

Lebih dari dua lusin manusia yang mengucapkan kalimat di atas kepada saya. Mungkin ditunjang dengan muka saya yang rada-rada penuh balada. Dianggapnya kalau sudah kuliah farmasi itu akan bisa semudah-mudahnya mengolah sesuatu sehingga menjadi narkoba. Ya, kali. Memang kalau kita melihat penggerebekan pabrik narkoba rumahan, ada beberapa alat yang juga ditemukan oleh anak farmasi di labnya masing-masing. Ada beberapa anak farmasi yang bahkan keder hanya untuk memegang tabung destilasi yang kalau pecah sakitnya melebihi diputusin 14 kali oleh orang yang sama. Tapi, sekali lagi, hidup kan tidak sesederhana itu.

Anak farmasi mengenali istilah prekursor, yang kalau diolah lagi bisa menjadi benda yang diharamkan oleh hukum di Indonesia. Itu ada aturannya sampai level undang-undang, lho. Dan karena saya pernah kerja di pabrik, untuk membeli benda bernama prekursor itu sulitnya melebihi melamar gadis (kayak pernah aja, heu). Ada yang namanya kuota, ada ijin anu-itu, surat itu-anu, dan lainnya. Belum lagi setiap periode tertentu harus lapor ke pemerintah. Hilang 1 gram harus dipertanggungjawabkan, dicari penyebabnya. Lebih mendetail dibandingkan alasan putus semacam, “kita udah nggak cocok”. Ya, industri yang resmi sudah sebegitu susahnya membeli prekursor yang legal. Jadi, kalau yang legal itu mau diselewengkan, rasanya kok males juga ya? Lagipula, dengan sumpah/janji Apoteker, saya yakin para apoteker yang punya hati nggak akan setega itu melakukan penyelewengan prekursor.

Sama halnya dengan lulusan kedokteran yang nggak serta merta menjadi Dokter Boyke, sama juga kiranya dengan lulusan Kehutanan yang serta merta jadi Presiden, maka anak farmasi pun demikian. Namun rupanya anak farmasi harus mendapatkan beberapa kalimat yang kadang terasa merendahkan, karena merasa over-ekspektasi, serta perasaan-perasaan lain yang terjadi karena impresi seseorang kepada anak farmasi. Eh, ada kalimat lain lagi? Share dong!

Advertisement

8 thoughts on “4 Omongan Yang Sering Dilontarkan Kepada Anak Farmasi”

  1. Waah, setuju sama semuanya 🙂 *tapi yang nomor 4 jarang sampai ke telingaku, sih :D*
    Biasanya, kalau nomor 1 nggak bisa dijawab, lanjutan pertanyaannya adalah “kamu beneran anak farmasi? masa obat X aja nggak tahu?”

    *sakitnya tuh di sini* 😉

    Like

  2. Agak sama dengan nomor 3, tapi bunyinya ‘Oh, farmasi tuh ntar jualan obat gitu ya?’ Mmmmm ya historically emang apoteker tuh jualan obat sih tapi kan nggak sesempit itu perannya *lalu presentasi tentang 7 Stars of Pharmacist layaknya tukang MLM*

    Anyway Om, amlodipine kan nggak cuma buat hipertensi. Siapa tahu pasiennya punya sejarah infark miokardial atau acute coronary syndrome lainnya gitu~~~ hihi kabur dulu sebelom digetok :p

    Like

  3. Saya juga anak farmasi semester 7,
    Tapi kenapa ya pandangan masyaralat terhadap farmasi itu hanya sebagai penjaga apotek ..
    Padahal menempuh pendidikan apoteker itu gak semudah balikin telapak tangan …
    Kalah saing dengan anak kedokteran
    Padahal berat perkuliahannya beda tipis dan sama sama di sumpah

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.