Kalah set sama si Cici yang sudah duluan ngepost yang semacam ini. Nggak apa-apa. Toh ya ini soal Mamak yang sama. Kebetulan Mamak saya dan Mamak Cici sama. Kan dia adek saya, gimana, sih? Posting ini juga perlu karena tahun 2013 saya pernah menulis posting ucapan yang sama kepada Bapak. Salah-salah saya dikutuk jadi Malin Kundang. Ampun.
Hari ini, Mamak saya genap berusia 52 tahun. Sebuah usia yang masih so-so, dalam kategori menimang cucu. Sebagai wanita karier yang beranak di usia 24 tahun, kiranya umur segini masih segar. Ya kan, Mak? Jadi cucunya kapan-kapan saja kan? *uhuk*
Sebenarnya, saya paling sering ribut sama Mamak saya nan asli Batak ini. Tidak seperti Bapak saya nan bijak tiada tara, kalau sama Mamak, saya bisa tinggi-tinggian nada. Kadang kalau pakai telepon, berasa ingin membanting handphone kalau nggak sadar bahwa harga handphone-nya melebihi gaji saya sebulan. Cuma, saya yakin ini dinamika keluarga belaka. Anak yang ribut dengan orangtuanya kiranya lebih mending daripada anak yang menuntut Ibu-nya di pengadilan. Kadang ributnya nggak penting. Ingat sekali ketika tahun 2004 saya menangis di Bandara Tabing. Tangisan yang kalau dipikir sekarang adalah kurang krusial. Saya menangis karena menurut saya cukupĀ ndeso untuk makan dengan bekal yang dibawa jauh-jauh dari Bukittinggi, di Bandara Tabing. Kalau dipikir-pikir lagi, itu kan tanda sayang? Begitulah.