Terima kasih kepada Pak Ridwan Kamil dan upayanya untuk meningkatkan Index of Happiness dari warga Bandung. Dan salah satunya adalah memperbanyak jumlah event yang berbau happy-happy. Nah, salah satunya adalah Cibadak Culinary Night alias CCN. Ya begitulah, belakangan saya–si penulis Oom Alfa–memang jadi sering ke Bandung dan mulai lebih akrab dengan Primajasa alih-alih Mayasari, makanya bisa ikut-ikutan proyek Pak Ridwan untuk happy-happy.
Sesudah mencicipi Braga Culinary Night (BCN) yang kisahnya bisa dibaca secara lengkap disini, tentu saja saya penasaran dengan tipe serupa yang mestinya berbeda. Lha kok gitu? Sejauh saya dengar, Cibadak adalah salah satu area Pecinan di Bandung. Jadi, mestinya saya bisa memperoleh varian kuliner yang berbeda dengan yang saya temui di Braga sebelumnya. Dan baru ngeh juga, ternyata di tanggal 22 Februari silam, di Bandung ada 2 event yang sama-sama Culinary Night. Cikarang? Tetap setiap dengan Taman-Seribu-Janji-Culinary-Night-Yang-Bikin-Macet-Tiada-Tara.
Nah, berbekal ekspektasi yang kadung tinggi gegara puas dengan BCN, maka berangkatlah saya ke Cibadak. Dan berhubung saya nggak akrab sama Bandung, tentu saja saya berangkat ke CCN bareng mbak-mbak yang paham Bandung dan paham hati saya. #tsahhh
Nah, ternyata lokasi bernama Jalan Cibadak ini nggak cuma 1. Ada dua, dan dipisahkan oleh Jalan Astana Anyar. Kebetulan, saya masuknya lewat Jalan Otto Iskandar Dinata, jadi semakin remponglah keadaan. Untungnya pada saat saya datang, keadaan belum terlalu macet, jadi kebablasan sedikit belum menjadi sebuah masalah.
Di Jalan Cibadak yang saya masuki, kiri-kanannya sudah penuh dengan penjual makanan dan sesuai identitas Pecinan, saya langsung mendapati menu-menu yang nggak biasa. Yah, kira-kira mungkin bisa disamakan dengan daerah Dempo di Palembang. Sebagian menu menggunakan bahan makanan yang tidak acceptable untuk semua golongan. Pengen mampir, sih. Tapi mengingat tujuan utamanya adalah CCN, maka saya melajukan kendaraan ke arah merah-merah di ujung sana. Dan benar saja, itulah CCN!
Ketika masuk dan mendekati lokasi, saya diarahkan oleh tukang parkir ke sebuah gang. Gang itu difungsikan sebagai lokasi parkir. Dan yang agak bikin melongo adalah semua petugas berbahasa Sunda. Manusia macam saya mana paham. Untunglah partner perjalanan saya sejak lahir ada di Bandung, jadi melongo saya bisa ditutupi.
Lampion begitu semarak di sepanjang jalan, ditunjang ucapan ‘Selamat Datang’ yang tidak saya temui di BCN. Hmmm, bisa jadi bakal lebih keren, nih. Apalagi sayup-sayup terdengar ada pertunjukan Barongsai di bagian tengah CCN. Jadi segera pengen melahap jajanan yang tersedia. Apalagi dari sisi space CCN ini lebih oke dibandingkan BCN. Soalnya di BCN kan makanannya di tengah, pengunjung kiri kanan, kalau di CCN makanan ada di kiri kanan, satu jalan itu buat penikmat kuliner.
Sayangnya ekspektasi tinggi adalah tahapan tercepat untuk patah hati. Persis ketika saya memasuki arena CCN dengan lampion merah nan kece badai ini, saya justru menemukan sushi yang sama persis dengan yang saya makan di BCN kemaren.
Lha kok podho wae?
Semakin berjalan menyusuri CCN, saya semakin tenggelam oleh ekspektasi yang ketinggian itu tadi. Ternyata keluhan saya soal BCN yang kebanyakan sosis, terjadi juga di tempat ini. Bahkan sebagian ya sama dengan yang saya lihat di BCN waktu itu. Ya memang sih sosis masih tergolong kuliner, cuma buat saya agak bikin harapan terganggu. Apalagi ditunjang fakta bahwa saya tidak menemukan ongol-ongol di CCN ini. Sempurnalah patah hati saya pada CCN. #inikrusial
Eh, tapi ya sudahlah. Sejenak saya menikmati pertunjukan Barongsai yang digelar di depan sebuah salon berjudul ‘Cantik’. Segera sesudah itu, saya cabut hendak kembali ke Cibadak sisi yang tadi.
Nah, sesudah memutar balik dengan puyeng dalam gang hanya dengan petunjuk, “kadieu…“, akhirnya saya berhasil sampai di Astana Anyar dan segera mencari cara untuk bisa sampai kembali ke Cibadak yang tadi. Soalnya, jalanan ini kan terbilang satu arah semua. Maka dalam semalam, saya sudah lewat Pasar Baru dua kali. Saya keren, tuips!
Ternyata, sesudah didatangi lagi, Cibadak sisi yang awal ini sudah jauh lebih ramai. Saya lantas parkir ngasal di depan sebuah restoran, terus jalan kaki menuju tempat yang direkomendasikan oleh mbak-mbak ini. Oya, seperti sudah saya bilang tadi, disini tidak semua makanan acceptable alias tidak semuanya halal. Termasuk dengan nasi campur super antre yang saya datangi, dengan nomor antrean 29. Sudahlah nomor 29, ternyata orang yang duduk di depan saya belum mendapatkan pesanannya yang adalah nomor…
…17.
Mak! 12 pesanan lagi? Kalau 1 pesanan 4 piring, berarti bakal ada 48 piring lagi baru saya dapat? Keburu kenyang harapan deh. Tapi namanya kadung duduk, ya sudahlah, mari ditunggu saja makanan itu. Ehm, ternyata porsinya ya lumayan juga untuk sebuah pesanan bernilai “setengah”. Ini semacam setengah nasi, setengah topping. Melihatnya saja sudah bikin kenyang. Nasi campur yang benar-benar campur-campur.
Makan disini nggak bisa dinikmati banget, soalnya orang-orang sudah melirik kursi kita dengan tajam. Mereka juga butuh kursi itu untuk menikmati si nasi campur. Benar-benar seperti Pemilu, rebutan kursi. Bedanya yang ini kursinya nggak empuk.
Puas di nasi campur, saya lalu lari ke penjual martabak di sebelahnya. Saya baru tahu kalau martabak Bandung itu porsi aslinya minta ampun. Pantas saja harganya berkisar 40-60 ribuan, soalnya dari sisi ukuran memang besar minta ampun, dua kali lipat yang pernah saya temui di aneka kota. Biasanya yang gede itu Bangkok–ayam Bangkok, duren Bangkok, dll–lah ini kok yang gede malah pakai embel-embel Bandung?
Cuma pasti keren, tuh. Demand-nya tetap ada meskipun harganya sebenarnya nggak bisa dibilang bersahabat. Begitulah Bandung, edisi kulinernya memang begitu luar biasa.
Plus ternyata pengarah gaya saya ke Cibadak ini mengajak mampir ke wedang ronde! Panas-panas bulat tepung isi kacang itu benar-benar menambah volume perut dan memang sih rasanya enak. Sudahlah Bandung di malam hari itu dingin, minum anget, tambah suasana juga hangat. Komplit habis!
Begitulah. Niat suci mulia hendak mencicipi CCN justru terkendala kekecewaan karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Eh, ternyata, di Cibadak juga sebenarnya sudah ada ‘Culinary Night’ yang lain, yang tak kalah ramai dan tak kalah macetnya. Jadi mikir, kenapa juga dibikin CCN kalau begitu? Bukankah lebih baik mengembangkan yang di Braga saja–toh banyak tenant yang sama? Justru kalau mau, si Cibadak yang sudah ada sekarang ini yang digarap menjadi lebih maksimal. Ya, sekadar ide doang sih. Saya sih intinya tetap kenyang jika bertualang di Bandung.
Oke deh. Sekian saja laporan saya tentang malam kuliner di Cibadak. Terserah, mau pilih yang acceptable atau tidak, ternyata semua ada di Cibadak sini. Salam nasi campur!
nyam… Bandung sudah banyak berubah semenjak saya tinggalkan dua tahun yang lalu. Memang hawa kota yang adem enak buat penyemangat makan, hahaha.
LikeLike
*eluselusperut* :p
LikeLike
Salah satu kekurangannya CCN tuh lighting-nya nggak se-oke BCN, jadi kesannya jualan makanan di kegelapan haha
Plus sepertinya soal kebersihan (tempat sampah) juga kurang terperhatikan
Buat variasi makanannya, setuju nih, kurang ada yang khas yah, padahal Cibadak kan terkenal sebagai kawasan Pecinan hehehe
LikeLike
Ini ya pengarah gaya saya komen.. Ahahaha..
LikeLike
I prefer Cibadak yang tanpa embel2 “Culinary Night” sih. Makan disana puas, apalagi bagi penganut makanan-haram-itu-nikmat
LikeLike
Gpp ga.. Biarkan CCN ada.. Toh CCN yg sebenarnya juga ga berkurang eksistensinya 🙂
LikeLike