Selepas Nada

Tepuk tangan membahana di setiap sudut gedung konser ini. Tidak ada satu sudutpun yang lepas dari resonansi yang dihasilkan oleh ratusan pasang tangan yang beradu satu sama lain. Ini indah. Sebuah bayaran paling sederhana atas sebuah kerja keras.

choir

We want more.. We want more..

Suara tepuk tangan tadi, mulai disertai oleh kata-kata dari pemilik tepuk tangan. Mereka mau lagi? Aih, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada ini.

Mbak Risa masih berada di posisinya, di bagian tedepan panggung, menghadap kami para penyanyi, dan tentu saja membelakangi penonton. Bibirnya bergerak membentuk satu kata, dan kebetulan aku tidak dapat memahami kata yang hendak diucapkan oleh Mbak Risa.

Opo ki?” tanyaku pada Bang Roman, yang berdiri persis di sebelah kananku.

“Yogyakarta.”

“Oh.”

Konser yang sebenarnya telah berakhir ini akhirnya memberikan lagu tambahan. Okelah. Menurut pengalamanku, energi para penyanyi itu paling besar justru di akhir, sesudah konser yang sebenarnya selesai. Kenapa? Karena disitulah energi eksitasi paling tinggi tercipta.

Intro dibunyikan oleh pemusik, penonton yang masih bertahan segera bertepuk tangan mengiringi intro lagu paling ternama bagi setiap orang yang pernah hidup di Jogja.

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”

Maka bait-bait mulai terlontar, tentunya diiringi oleh nada yang merdu. Semuanya berpadu dan menyusup ke segala sisi yang ada di gedung ini. Meski sejatinya, Yogyakarta itu adalah lagu galau, tapi menyertakan konteks sebuah kota penuh kenangan ini sejatinya sudah berhasil membuat orang yang mendengar justru merasa terkenang, bukannya galau.

“Senyummu… Abadi…”

Enaknya jadi anak choir laki-laki itu adalah selalu diletakkan di belakang. Dan menjadi lebih enak, ketika kemudian aku bisa selalu memantau seorang gadis yang ada di bagian Sopran. Seorang gadis yang tersenyum manis kepada penonton ketika lirik terakhir barusan didendangkan. Aku mengamati itu dengan jelas, dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa itu adalah senyum paling indah di dunia.

Lepas konser adalah hal yang lain lagi. Semua penyanyi akan berserak ke keluarga masing-masing, atau ke teman masing-masing. Ucapan selamat selalu terlontar setiap kali seorang penyanyi bertemu keluarga atau temannya.

Lelah sontak lenyap kalau begini. Percayalah.

Tidak serta merta setiap penyanyi akan bubar jalan sih. Ada kalanya mereka justru saling bersalaman dan berpelukan sendiri terlebih dahulu. Bahwasanya latihan choir apalagi untuk konser itu adalah hal yang berat, itu adalah fakta tidak terbantahkan. Bahwa ada banyak friksi yang mungkin terjadi, itu juga ada realitas interaksi antar manusia. Bayangkan saja ketika dua minggu terakhir, kami para penyanyi latihan setiap hari selama lebih dari 6 jam. Mengulang dan mengulang terus lagu yang sama. Semuanya demi penampilan yang istimewa hari ini.

Sejatinya konser ini akan menjadi sangat emosional bagiku. Tentunya karena ini adalah konser terakhirku bersama choir ini. Jalan kehidupan sudah menuntunku ke tempat yang lain, yang meminta untuk ditaklukkan. Maka, malam ini mungkin adalah untai nada terakhir yang lepas dari bibirku di kota ini.

Mungkin. Kita kan tidak tahu tentang masa depan.

“Wei, selamat ya bro! Keren tadi bass-nya,” ujar Tini, teman kuliahku yang jadi penonton di konser ini.

“Hahaha. Iya dong. Thanks ya.”

“Eh, Leona. Selamat lho. Apik banget tadi.”

Tini kemudian menyapa Leona, yang entah bagaimana ceritanya sudah ada 1 meter dari posisiku berdiri.

“Makasih ya, Mbak.”

Ah, Leona ini. Kok bisa-bisanya disini? Baiklah, ini dia gadis sopran yang senyumnya paling manis itu. Inilah gadis sopran yang selalu membuat sudut mataku sekecil apapun akan berpaling dan memperhatikannya. Inilah gadis sopran yang sudah 7 tahun lamanya menjadi ratu di dalam hatiku. Dan inilah gadis sopran yang selama 7 tahun pula hanya menjadi impianku.

Tenang saja, 7 tahun itu adalah rahasia rapat milikku sendiri. Aku bahkan masih bisa berpacaran dengan dua gadis lain berturut-turut, meski di hatiku jelas-jelas hanya ada Leona. Yah, terkadang kita harus membedakan impian dan realita.

7

Cuma, entah kenapa, malam ini ada rasa membuncah dalam hati. Memohon untuk segera dilepaskan. Otakku mencoba melawannya, lagi-lagi demi membedakan impian dan kenyataan. Tapi kali ini hati mengalahkan otak, dia menuntunku untuk mendekati Leona. Dasar hati, ada banyak hal yang mudah kenapa dia memilih yang sulit?

“Na, pulang sama siapa?”

“Sendiri dong, Bang. Kenapa?”

“Langsung pulang?”

“Iyalah. Udah malam gini.”

“Hmmm, kalau tak ajak ke McD Jombor mau? Nanti pulangnya tak barengin deh.”

“Ngapain?”

“Pengen ngobrol aja. Kan besok aku udah mau cabut dari Jogja.”

Leona tampak berpikir sejenak. Segaris keraguan tampak dari raut mukanya. Toh aku pun pasrah kalaulah itu akan menjadi sebuah penolakan.

“Tapi nggak lama-lama lho ya, Bang.”

* * *

“Tadi sopran ada yang salah kan, pas lagu pembukaan?” tanyaku sambil meletakkan nampan berisi dua paket nasi ayam plus kentang, disertai dua gelas minuman coke.

“Iya kayaknya. Tapi di lagu yang sama bass-nya nggak kedengeran.”

“Ya iyalah. Rendah banget. Ditinggiin kasihan soprannya.”

Bagian terbaik dari menjadi anggota choir adalah ketika kita mempertahankan martabat jenis suara kita sendiri.

“Yang penting dapat tepuk tangan to Bang?”

“Hooh. Kira-kira kapan meneh ya, dapat tepuk lagi?”

“Nyanyi wae di jalanan. Paling juga ditepukin.”

“Enak wae. Gini-gini aku kan bass yang berkelas.”

Nggaya banget kowe, Bang.”

Ayam goreng yang berminyak itu segera masuk ke mulut kami masing-masing. Disela saos sambal warna merah dan sesekali bersama kentang. Seruputan coke kemudian menjadi penyerta yang manis. Tidak disarankan untuk sering-sering, semata-mata karena harganya belum cocok untuk ukuran dompetku.

Pada dasarnya, makan cepat adalah takdirku. Tidak ada teori mengunyah 32 kali. Bahkan ketika kecil, aku adalah orang yang sering cegukan ketika makan. Semakin dewasa, aku semakin pandai menggunakan gerakan peristaltik untuk menghabiskan makanan. Tidak baik sih memang.

Dan karena aku sudah selesai, maka marilah kita menuntaskan malam ini.

Tanganku segera masih ke dalam tas ransel yang kubawa, merogohnya ternyata tidak mudah. Ada seragam properti konser di dalam tas ini, belum lagi sepatu dan barang-barang lainnya. Sampai akhirnya tanganku mendapati yang dituju.

Sebuah buku berjudul “Odong-Odong Merah”.

“Na…”

Yang diajak ngomong masih asyik menghabiskan kentang gorengnya.

“Nih tak kasih.”

“Apaan, Bang?”

“Buku.”

“Punya siapa?”

“Punyakulah. Masak punyamu.”

Kosodorkan buku yang kuambil dari dalam tasku itu. Cover putihnya menjadi latar tertulisnya judul “Odong-Odong Merah”, disertai nama alfarevo.

“Kamu yang nulis, Bang?”

“Iya dong. Jadi nanti kamu tak bonusin tanda tangan. Hahaha.”

“Wuih keren. Aku kapan ya?”

“Pada saatnya.”

“Sebentar, Bang.”

Leona segera berlalu dari hadapanku dan menuju wastafel. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan tangan yang mulus eh bersih. Bergegas pula dia membuka buku yang aku tulis itu.

“Ini bener penerbitnya? Sama kayak Marmut Merah Jambu dong?”

“Syukurlah. Kamu nggak tahu aja aku nunggu ini naskah terbit udah setahun. Hehe.”

Leona mencoba membalik-balik halaman yang ada di dalam buku. Sebuah buku yang aslinya adalah kumpulan kisah ngenes hidupku.

“Ehm, gini Na. Itu buku emang baru banget terbitnya. Jadi, sebelum orang lain di luar sana pada tahu. Aku mau pengakuan dosa duluan.”

Hell yeah! Aku mendefinisikan sendiri bahwa jatuh cinta adalah sebuah dosa.

“Coba dibuka bab 22, judulnya Cinta Diam-Diam,” kataku sambil menunjuk ke arah buku putih yang dipegang oleh Leona. Yang disuruh langsung mengikuti instruksiku.

Bab 22 itu kebetulan memang singkat, dan isinya mayoritas dialog. Jadi kalaulah panjang halamannya, itu lebih kepada habis karena teks yang di-enter saja.

“Kalau ingat, yang bagian akhir itu cerita waktu kita lewat selokan mataram, pas insiden helm hilang, Na.”

Leona diam saja. Kadung nanggung, maka baiklah kalau kita tuntaskan semuanya ini segera.

lilin

“Jadi begitulah, Na. Aku cinta dan akan selalu cinta sama kamu. Hanya memang aku sadar bahwa cinta yang ini benar-benar impian belaka. Makanya, aku cuma mau bilang itu kok. Toh, aku juga sudah tahu kalau kamu tidak merasakan hal yang sama.”

Leona masih diam, sejurus lantas menyeruput coke di hadapannya, yang mungkin isinya tinggal es batu, lalu beralih menatapku.

“Kok begini, Bang?”

“Nggak ngerti aku, Na. Semuanya berjalan dengan aneh ketika itu semua menyangkut kamu. Sekadar mencari tahu kamu single atau nggak dulu pas semester 1, itu saja sudah sulit. Dan semuanya lah.”

“Terus, kamu sama mantan-mantanmu?”

“Ya, hidup kan harus realistis juga, Na. Masak aku mau jomblo terus. Aku sih berharapnya cinta itu akan timbul sambil jalan. Nyatanya ya nggak.”

“Lha kalau sekarang?”

“Tujuh tahun itu lama lho, Na. Mungkin cinta itu bisa demikian karena dia nggak aku ungkapkan. Aku yakin dia hanya minta diungkapkan, langsung ke orangnya. Itu doang. Setidaknya sehabis ini aku bisa lebih realistis lagi dalam bermimpi.”

“Hahaha. Mimpi kok realistis Bang?”

“Habis ngimpiin kamu ketinggian, Na.”

“Emang kenapa sih?” tanya Leona dengan pandangan penuh selidik.

“Nggak lihat kalau kamu itu orangnya sangat adorable? Mungkin nggak banyak yang bilang kamu cantik, tapi semua setuju kamu menarik. Apalagi, mantannya kamu kan tampannya tiga kali lipat mukaku, Na. Kebanting dong nanti. Hehe.”

“Gitu doang?”

“Dan hal-hal lainnya yang mendukung sih.”

“Darimana kamu tahu aku nggak merasakan hal yang sama?”

“Lha, bukannya habis aku kasih kamu hadiah ulang tahun waktu itu, kamu jadi dingin kayak es batu gitu ke aku? Wong kita ketemu di kampus aja berasa nggak kenal gitu. Makanya, sejak itu sih aku mulai bisa realistis. Jadi ya aku nggak akan memaksakan apapun, atau meminta jawaban sekalipun. Aku cuma ingin bilang perasaanku saja kok. Mana kan sudah ditulis di buku, masak nanti kamu tahu dari orang, ya tambah bubar dunia.”

“Emangnya kenapa kamu ngerasa begitu, ehm maksudku, cinta gitu, ke aku Bang?”

“Nggak tahu. Perlu alasan ya?”

“Mestinya.”

“Sayangnya nggak ada.”

Leona menunduk lagi, matanya menerawang ke arah Ring Road Utara yang mulai sepi.

“Kalau kamu tahu keadaanku, kamu juga nggak akan mau sama aku, Bang.”

“Loh kenapa?”

Napas panjang dihela oleh Leona, tampaknya ada sesuatu yang amat penting yang hendak disampaikan.

“Aku ini ada glaukoma lho, Bang.”

“Terus?”

“Masih cinta?”

“Hahahaha. Na, Na. Sudah baca bab 22 kok masih nanya gitu. Kan udah jelas disitu, aku jatuh cinta sama Leona Mayasari itu sejak pertama kali mendengar nama itu. Mana tahu aku bentuknya kayak gimana? Begitu dua minggu kemudian, baru aku nemu foto kamu. Dua minggu berikutnya baru aku lihat kamu. Sampai tujuh tahun kemudian, kok ya perasaannya masih sama itu.”

“Jatuh cintamu aneh, Bang.”

“Makanya, perjalanannya juga aneh. Sebenarnya lebih aneh lagi kalau terus kita jadian sih. Hehehe.”

“Masalahnya kamu cuma bilang gitu, Bang. Kamu nggak nanya sama sekali kan tadi?”

“Enggg.. Iya sih. Nggak apa-apa deh. Kan ceritanya cuma mau bilang cinta, bukan mau cari pacar.”

“Oh ya udah kalo gitu.”

Semacam jawaban yang bikin aku tertantang.

Tarik nafas dalam-dalam. Mari kita tuntaskan!

“Aku cinta kamu, Na. Dan akan selalu cinta. Jadi, bolehkah aku terus mencintai kamu, sebagai pasanganku?”

Akhirnya lepas juga. Kalau tadi lega, sekarang lega banget!

“Cieee.”

“Yah, ini anak, ditembak malah bilang cieee.”

“Hahaha. Habis kamu lucu sih, Bang. Punya perasaan kok dibohongi.”

“Ya maka dari itu aku bilang ke kamu. Masak tiap pengakuan dosa, sama melulu. Pembohongan terhadap hati.”

“Iya. Iya. Hmmm, oiya lupa satu lagi. Kalau nih, kalau aku terima, emang kamu mau LDR-an?”

“Owh. Jadinya cita-cita S2 di negeri orang itu mau diwujudkan ya?”

“Gila. Kok tahu Bang?”

“SMS-mu dari tahun 2007 aja masih tak simpen rapi, Na. SMS-mu yang cerita lagi naik Pramex juga aku ingat. SMS kamu bilang merindukanku juga aku simpan rapi. Apalagi cerita soal cita-cita, ya aku ingat bangetlah. Nasib jadi melankolis sentimentil yang jatuh cinta.”

Hening melanda, seiring dengan semakin sepinya tempat ini. Ternyata sudah jam 12 malam aja.

“Baiklah, Bang. I’m yours now.”

Kalaulah ada yang lebih menyenangkan dari tepuk tangan penonton konser, maka itu adalah jawaban yang baru saja terlontar dari bibir manis Leona.

🙂

Cowok Capricorn dan Cewek Sagitarius

Pembahasan gaje di blog ini yang soal-soal zodiak, sebenarnya dikutip dari sini. Jadi jangan tanyakan ke saya mengapa. *mengapaaaaaa*

Baiklah, kita mulai.

Relasi Sagitarius dan Capricorn sebenarnya merupakan kombinasi yang sulit. Sagitarius dapat melonggarkan Capricorn dari strict-nya si kambing ini. Jadi ada semacam kesegaran dalam hubungan. Sementara dari sisi lain Capricorn akan membantu Sagitarius melihat ke depan, maklum jago berencana. *pantes saia jadi PPIC yak*

Pria Capricorn adalah orang yang praktis, bijaksana, punya tujuan tinggi, dan pejuang untuk sukses. Pria Capricorn ini semacam dingin karena takut menunjukkan emosinya. Ya, semacam semuanya tampak baik-baik saja gitu. Tapi, aslinya, dia itu mencoba melakukan apapun yang dibutuhkan oleh keluarga mereka. Pada akhirnya tetap saja pria Capricorn adalah orang yang protektif dan tegas dalam hubungan. #eaaaaa

Wanita Sagitarius adalah persona yang jujur, namun dengan kata-kata setajam silet *tsaahhh*. Ya tajam karena jujur gitu sih. Wanita Sagitarius sangat independen, sehingga keluarga hanyalah bagian kecil dari kehidupan mereka. Maka nggak jarang wanita Sagitarius itu melakukan banyak hal sendiri. Dalam suatu hubungan, wanita Sagitarius adalah wanita yang menyenangkan, asalkan diberikan kemerdekaan.

See? Satu protektif, satu bertendensi merdeka. Ketemu nggak tuh?

Tingkat kecerdasan keduanya sejajar. Keduanya belajar mengejar kualitas yang terbaik satu sama lain dan hormat-menghormati (emang PPKn?) tidak mudah buyar. Keduanya belajar bahwa mereka memiliki kualitas saling berbagi.

Keduanya memiliki perbedaan dalam kompatibilitas yang jarang ditemukan. Pikiran keduanya cocok bahwa hati mereka berdetak dalam irama yang sama. Perempuan Sagitarius dengan kesabaran dan gairah mengajarkan lelaki Capricorn untuk menjadi lebih ekspresif dan romantis. Sebaliknya, lelaki Capricorn membawa perempuan Sagitarius lebih dekat dengan ikatan keluarga dan pendekatan praktis.

Capricorn memiliki banyak ide imajinatif dalam hubungan, sementara Sagitarius menampilkan banyak toleransi. Yang penting sih jangan sampai Sagitarius mengeluarkan kata-katanya yang setajam silet itu tadi. Hehe.

Kira-kira begitu. Jadi menurut penerawangan saya, hubungan semacam ini tidak disarankan. Hahahahahahaha.

Sir Alex dan Fans Sepakbola

Sir Alex Ferguson resign, dan pemberitaan sudah semacam Sir Alex meninggal dunia. Berlebihan? Ya mungkin, tapi itulah industri sepakbola. Pemberitaan yang terbilang mendadak, sampai kemudian muncul pengumuman resign, plus pengumuman penunjukan David Moyes, adalah rantai yang sinambung membentuk sensasi.

Sebenarnya apa salahnya Sir Alex resign? Dia sudah 71 tahun, dan sudah 26 tahun membesut Setan Merah.

Yah, 26 tahun itu waktu yang sangat lama. Bahkan sebenarnya 27 tahun kalau menghitung dia tiba ke Old Trafford pada 1986. Belum genap memang.

Saya mengenal tim idola saya, Internazionale, pada tahun 1995. Usia saya 8 tahun ketika itu. Anggaplah anak-anak yang lain akan mengenal sepakbola serta kemudian mencintainya pada usia yang sama, maka kita akan mendapati bahwa sebagian besar fans, bahkan yang berusia 30 tahun pasti lekat dengan Sir Alex.

Kalau saya sebagai Interisti sudah mengalami masa-masa dari Hodgson, Castellini, Simoni, Lucescu, Tardelli, Lippi, Cuper, sampai Mancini dan Mourinho, para fans MU hanya mengenal Sir Alex. Orang yang datang ketika MU ada di bawah.

Jadi, mungkin yang legowo adalah Manchurian yang usianya 40 tahun. Iya, mereka yang mengalami nggak enaknya jadi fans MU. Ketika MU diledek saat terlempar dari papan atas sepakbola Inggris.

Soal kecintaan saya terhadap olahraga, memang mengarahkan saya pada anti kemapanan. Itu kenapa saya merupakan anggota anything but MU, apa aja asal jangan MU. Kenapa? Karena saat saya mengenal Liga Inggris, itu pas dengan zaman MU sedang jaya-jayanya. Sama persis ketika saya mendukung Eddie Irvine alih-alih Michael Schumacher.

Tapi tentu, ini bukan kebencian, tapi lebih kepada bobot respek. Bahwa saya tidak suka Juventus, itu mungkin kadarnya lebih mengarah ke kebencian, utamanya sejak insiden di musim 1997/1998 saat pelanggaran terhadap biru-hitam tidak dikenai penalti.

Artinya apa? Para fans MU, utamanya yang seumuran saya, akan sangat sulit beradaptasi dengan realita bahwa yang ada di bench MU bukan lagi sosok rapi yang berkacamata dan mengunyah permen karet. Bukan lagi sosok yang hobi marah-marah (termasuk ke wasit). Bukan lagi Sir Alex Ferguson. Sederhana kan?

Bahwa cinta kepada sepakbola itu memang luar biasa. Tinggal sekarang, sama ketika Inter ditinggal Mourinho, Juve ditinggal Lippi, AS Roma ditinggal Capello, atau juga Dortmund ditinggal Hitzfeld, ada 2 pertanyaan penting.

Siapkah tim dengan hal baru?

Siapkah fans atas perubahan itu?

Inter terbukti gagal, karena sejak Mou hengkang, selalu saja goyah. Juve, ya lumayan berhasil di bawah Ancelotti. Roma sendiri juga terbilang berhasil. Dortmund? Bubar ketika ditangani Novia Scala.

Jadi, bagaimana dengan Moyes dan MU? Mari kita nantikan.

2 Tahun

Memperingati 2 tahun saya jadi penghuni Cikarang.

Mengingat sebelumnya saya juga 2 tahun jadi penghuni Palembang. Berarti saatnya cabut inih? Hahahahaha.

Nggaklah. Walaupun saya dapat anugerah mudah beradaptasi terhadap tempat. Pindah itu makin lama makin bikin malas. Itu berarti saya betah? Nggak juga.

Tinggal lebih lama bukan berarti betah, itu bisa saja lebih berarti pasrah.

Dua tahun yang lalu, pagi-pagi saya cabut dari mess, lanjut bandara, naik Singa, lanjut Damri, sampai kemudian terdampar di kehidupan baru bernama Pavilion A2/2, dengan bibik penuh dilema.

Ah, sudah dua tahun lewat rupanya.

Ada banyak hal yang mungkin bisa disesali, dan ada banyak hal yang harus disyukuri. Begitulah hidup, karena hidup tidaklah lepas dari pilihan-pilihan yang paket konsekuensi yang menyertainya. Dan kamar panas, tanpa AC, RH 77%, suhu nggak pernah di bawah 32 derajat Celcius, itu nyaman?

Nggak.

Tapi aksesnya (ke Jakarta, bandara, Jogja, dll) yang mudah. Teman sekos yang kebetulan pas asyik-asyik. Makanan di sekitar kos yang syukurlah masih murah, serta sederet hal lain masih mampu menyertai ketidakenakan.

Bukankah itu hidup? Mana mungkin kita hidup ketika semuanya enak. Iya kan?

Jadi, mari kita nikmati saja hari-hari yang akan berjalan, dengan keyakinan penuh bahwa semuanya akan dilancarkan oleh Tuhan.

Amin.

 

David Moyes

Sir Alex Ferguson akhirnya pensiun dari hingar bingar Old Trafford. Ya iyalah, usianya juga sudah 71 tahun. Seingat saya pelatih yang masih melatih di usia segitu paling hanya Mr. Trap dan Cesare Maldini, serta Carlo Mazzone.

Beritanya bikin heboh dunia maya menciptakan spekulasi sekitar 24 jam, sebelum kemudian diresmikan bahwa pelatih MU berikutnya adalah David Moyes.

Siapa Moyes?

Penggemar EPL asli pasti tahu siapa Moyes. Hanya penggemar cupu yang nggak ngerti David Moyes. Kenapa? Karena Moyes adalah manajer terlama ketiga di sebuah tim FPL. Pertama tentu saja Sir Alex (sejak 1986–De Gea aja belum lahir itu), lalu disusul Arsene Wenger 10 tahun berselang, dan Moyes sejak 2002.

Lainnya? Ya tentu saja silih berganti.

David Moyes adalah orang Skotlandia, sama dengan SAF. Lahir dengan nama lengkap David William Moyes. Usianya tahun ini pas 50 tahun karena lahir pada 25 April 1963. Kariernya dimulai di Celtic dan diakhiri di Preston North End.

Di tim terakhir inilah dia kemudian switch karier jadi pelatih sampai kemudian di-hire oleh Everton pada Maret 2002. Kebetulan, pertandingan pertamanya (vs Fulham) disiarkan langsung oleh TV Indonesia (TV7 apa ya.. lupa…) dan saya nonton *nggak penting*

Waktu itu Everton mainannya di bawah-bawah, dan kemenangan 2-1 atas Fulham membantu membebaskan Everton dari jerat degradasi.

Oya, David Moyes juga adalah orang yang memberikan debut kepada bintang terang sepakbola Inggris bernama Wayne Rooney, tentunya juga ketika mencetak gol kemenangan Everton atas Arsenal (2-1).

Jangan salah juga, gol Rooney kala itu menahbiskannya sebagai pencetak gol termuda Liga Inggris. Bertahun kemudian, Moyes juga memberikan tempat untuk James Vaughan untuk bisa menjadi pencetak gol yang lebih muda lagi.

So, soal pemain muda, rasanya sih jangan ditanya ini Bapak. Sekarang saja kita masih melihat kiprah Seamus Coleman di sisi kanan Everton, atau (kalo nggak kebanyakan cedera) Jack Rodwell, serta (kalo nggak bernasib sial) Dan Gosling.

Pembelian terbaik Moyes tentu saja ketika bikin rekor klub saat meng-hire Maroune Fellaini. Dan memang nasibnya Everton adalah menjual pemain-pemain bagusnya, untuk uang besar. Lihat saja Wayne Rooney, lalu juga ada Francis Jeffers (gagal bersinar), serta Joleon Lescott.

Sampai saat tulisan ini dibuat, Moyes telah mengukir 425 pertandingan hanya bersama Everton, 172 kali menang, 123 kali seri, dan 130 kali kalah. Rataan kemenangannya 40%.  Total 565 gol disarangkan anak asuhannya, dan 501 gol dialami oleh kiper-kiper seperti Richard Wright, Nigel Martyn, sampai Tim Howard dan Jan Mucha. Semua prestasi itu melahirkan 639 poin. Masih ada kesempatan untuk menambah 6 lagi. Musim ini pencapaian Everton cukup baik, nomor 6, di bawah Chelsea/Arsenal/Spurs.

Semua yang digapai Moyes dianggap baik terutama karena dana terbatas yang dialaminya. Tim ini bahkan masih bisa membabat Citizens 2-0 lewat gol Leon Osman dan Nivica Jelavic pada pertandingan terakhir. Sejak Moyes memegang Everton, bahkan Liverpool pun bisa kalah. Sebelumnya? Rada susah.

Soal prestasi pribadi, Moyes moncer. League Managers Association Awards diraihnya pada 2003, 2005, dan 2009. Jumlah 3 itu sama dengan SAF (1999, 2008, 2011). Kayaknya sih nambah 1 lagi SAF musim ini. Cuma masih rebutan sama Michael Laudrup juga sepertinya.

Begitu kira-kira, yah kalau para Manchurian sejati saya mah nggak meragukan pengetahuan soal Moyes. Ini info aja buat orang-orang yang mengaku fans MU tapi komen yang jelek-jelek soal klub lain di setiap komentar portal berita. Fans bola sejati nggak pernah menyebut Barca sebagai Bancilona atau Inter sebagai Iler dan sejenisnya. Fans bola sejati selalu punya penghormatan tinggi pada tim lain. Kenapa? Karena fans bola sejati pasti pernah merasakan nggak enaknya mencintai sebuah klub. Yah, Manchurian yang sudah cinta MU pada saat era undefeated Gunners tentu lebih paham. Nggak kayak fans karbitan gitulah, yang begitu tim kesayangan jeblok, langsung pindah tim favorit. Hahaha.

Satu hal adalah bahwa Moyes belum pernah memenangi apapun. Pembuktian diperlukan disini. Sebagai anggota anything but MU, tentu saya berharap Moyes gagal. Cuma sepertinya, pergantian ini nggak akan berdampak besar. Moyes adalah manajer yang berkualitas tinggi.

So, mari kita tunggu.

Belajar Main Gitar

Umur 26, dan nulis blog dengan judul ‘Belajar Main Gitar’?

Maluk samak mukak!

*ah luweh*

Tapi ya begitulah. Di dalam hikayat keluarga, memang saya doang yang punya kemampuan bermain alat musik amblas. Termasuk juga kemampuan menyanyi yang gagal. Meskipun saya ini dirigen di Lingkungan Theresia, tapi jika dibandingkan dengan orang tua dan adek-adek saya, aslinya saya ini nggak ada apa-apanya.

Bapak saya bisa gitar, dan tentu saja organ. Mamak saya tentu saja bisa main gitar, karena background anak tukang pakter. Sementara 3 adek saya juga jago main gitar, at least mereka sudah pernah tampil ngeband.

Untuk nyanyi jugak. Sudah pernah dicoba di happpup Seturan, dan memang cuma saya yang nyanyi-nya penuh mlengse.

Jadi, kalaulah kalian lihat saya lagi nge-dirigen, itu semata-mata karena belum ada pilihan lain saja. 😀

Dan ya saya juga bukannya sama sekali nggak bisa main gitar. Kalau sebatas C, D, E, Em, F, F#m, G, Gm, G#m, A, Am, B, Bm mah saya bisa. Yang nggak saya bisa adalah memainkan sebuah lagu tanpa harus donlot chord di internet dan lantas menghafalkannya.

Jadilah sekarang saya lagi usaha supaya bisa main gitar. Untungnya di kosan ada pemain-pemain gitar yang lumayan handal. Lumayan membantu, setidaknya untuk nyetem gitar yang baik dan benar. Kebeneran habis mudik kemaren, saya berhasil mancilok sebuah gitar dari rumah. Dibawa naik Garuda, jadi saya semacam musisi saja rupanya.

Begitulah, ada standar kehidupan masing-masing. Belajar main gitar bagi saya memang bukan urusan belajar bahwa kunci D atau G itu seperti itu, tapi lebih kepada membiasakan diri hingga dapat mengenali nada dan kunci tanpa perlu menghafalkannya. Karena menghafal sejatinya adalah keparahan dalam hidup. Sila bayangkan rasanya lupa (akibat menghafal) terhadap sesuatu, rasanya gemes gilo geli gimana gitu.

Semoga lancar ya. *nulis dengan jari kapalan*

5 Perjalanan Serba Pertama

Sudah cukup lama saya nggak nulis bab lain dari blog ini selain ‘hanya mau menulis’. Sekarang pengen meneruskan serial 5 perjalanan sesudah paling absurd dan jadi teman yang baik.

Kali ini saya mau menuliskan 5 perjalanan ketika saya cupu sangat jadi orang. Kecupuan itu tentu saja terjadi karena itu pertama kali saya melakukan perjalanan tersebut.

MarKiMul, mari kita mulai!

1. Batavia Air (medio 2004)

Saya pulang kampung naik ALS sesudah saya lulus SMA. Cuma, di perjalanan saya mengalami traveler diarrhea yang menyebabkan hidup saya semengenaskan jomblo ngenes sepanjang perjalanan Lampung-Bukittinggi. Walhasil sampai rumah saya jatuh kurus, yang mana daripada sebelumnya saya sudah kurus kering.

Nah, begitu kembali ke Jogja, emak saya nggak tega saya kena traveler diarrhea lagi, jadi dibeliin deh tiket pesawat ke Jogja. Dan itu adalah almarhum Batavia Air. Waktu itu berangkatnya masih dari Tabing. Dan itu adalah penerbangan koneksi.

Usia saya 17 tahun dan belum pernah naik pesawat setelah tahun 1989. Mana ngerti saya suasana bandara kayak apa? Dan lagi, saya sama sekali nggak pegang HP kala itu. Lengkap sudah.

Dengan ngenes saya sudah harus merelakan seat pinggir jendela saya kepada seorang kancut yang tega bilang kalau bangku saya yang di gang, padahal jelas-jelas A. Saya yang pengen melihat awan kan langsung garuk-garuk rok pramugari.

Bagian ngenesnya adalah waktu transit, bahwa saat itu saya asli ngenes tanpa alat komunikasi apapun di bandara itu. Waktu itu bandara Soekarno-Hatta belum digital. Ganti jadwalnya masih yang model kayak mesin ketik itu.

Ada sekitar 2 jam saya nunggu dengan gamang di ruang tunggu terminal 1, lupa A-B-C. Dan syukurlah pada akhirnya sampai juga ke Jogja dengan selamat.

2. Merpati (2008)

Bagian dari project 9 hari saya yang tahu-tahu mewarnai hidup saya dengan segera dan memusnahkan kemungkinan saya dapat penghargaan kelulusan apoteker, tapi tidak pernah saya sesali karena nilai pengalamannya LUAR BIASA.

Jadi waktu itu saya naik pesawat bareng Pak Lanto dan Pak siapa gitu saya lupa dari Jogja, transit Jakarta, lanjut Medan. Nah, sesudah dari Medan mau ke Gunungsitoli ini yang bikin deg-degan.

Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat kecil, isi 28 penumpang kalau nggak salah. Begitu lihat bahwa tangga naiknya itu dilipat jadi pintu, udah berasa kecilnya ini pesawat. Belum lagi lihat sepasang baling-baling di sayapnya yang tidak kalah mungil, semungil hatiku *uopoooo*

Mengingat saya cupu, jadi saya ikut saja Pak Lanto pilih di gang. Untungnya itu pilihan benar karena ternyata cukup ngenes juga di jendela. Semacam menakutkan gitu.

Tapi seru sih.

3. Taksi di Bandung (2008)

Ini sontoloyo-nya supir taksi di Bandung. Ncen asli sompret. *lah malah misuh-misuh*

Jadi kisahnya, dalam rangka liburan semester dan memberikan support penuh kepada dedek bungsu yang hendak meniup puluik pupuik dan menabuh tampelong talempong, saya dan dua adek langsung menuju Bandung Lautan Asmara.

Rencananya, mau menginap di rumah saudara yang memang ada di Bandung. Kontak kita waktu itu hanya si Petra, sepupu saya yang sepantaran sama si Cici, sekarang sudah jadi lawyer, sementara saya masih jadi officer *separuh curhat*

Terakhir kali ketemu Petra adalah tahun 1997, waktu itu dia masih SD. Dan di dalam perkembangan wanita tentu saja ada perbedaan besar.

Begitu taksi yang diorder sampai ke kompleks yang dituju, mulai deh itu supir kampret belagak nggak ngerti jalan. Berhubung saya juga nggak ngerti jalan, apalagi dua adek saya pun demikian, ya ikut manut patuh begitu supir bilang kagak ngarti. Jadilah taksi dibawa muter-muter nggak karuan.

Pada saat ini juga, Cici menelepon Petra, suruh keluar rumah. Permintaan absurd juga, lha emang kalau Petra keluar rumah kita ngerti bentuknya Petra di tahun 2008 kayak apa?

Ujungnya sih ketemu, dengan cost membengkak dan seringai jahanam ala David Luiz dari supir taksi. Yeah!

4. Solo (2005)

Ada 3 kali saya ke Solo. Eh, 4. Yang terakhir sendirian.

Nah ini yang pertama. Detailnya ada di sisi lain blog ini. Jadi kisahnya si Coco itu pengen naik sepur. Ndeso tenan nggak pernah naik sepur ya. Karena kita, teman-temannya, baik hati dan rajin menabung, maka kita temanilah dia ber-15 semata mau naik Pramex.

Kisahnya panjang banget, jadi monggo dihaturi mampir kesini ya.

5. Ngangin-Ngangin (2007)

Dari namanya saja sudah absurd, tapi itulah desa terpilih untuk melakoni skripsi. Pertama kali saya kesana adalah bonceng Pipin, dan dikasih tahu bahwa tempatnya lumayan nyelempit.

Dimulai dari melewati Kali Progo. Mengingat Ngangin-Ngangin ada di Kulonprogo, alias baratnya Progo. Terus sesudah lewat Progo dan sekian tikungan, masuklah kita ke kanan, dengan sawah membentang.

Sampai di ujung jalan ketika jalan aspal habis, dimulailah petualangan baru dengan jalan berbatu.

Demikianlah pada akhirnya saya sampai di sebuah desa, yang anehnya, jalannya mulus. *jangan-jangan ada akses lainnya ini?*

Pertama kali itu pula langsung ngider dusun, langsung ikut PKK sambil bernyanyi, “hidup gotong royong sehat sandang dan pangan…”

Ehm, begitulah, 5 perjalanan serba pertama saya yang penuh kecupuan dan kebingungan. Maaf kalau nggak lucu, kan cuma berniat ngelucu. 😀 😀

Tristan

Kok ya mendadak saya ‘jatuh cinta’ dengan nama ini. Gara-garanya kemarin kenalan sama anak yang lucu bin imut. Seperti biasa, ditanya:

“Siapa namanya?”

“Isss.. Tan..”

“Hah? Setan?”

“Tristan.”

Anaknya–ya namanya juga anak-anak–nggak takut sama orang baru. Bisa gaul dengan cepat, dan tentu saja berlarian kesana kemari.

Dan kemudian saya jadi ingat nama striker Real Mallorca–kemudian Deportivo La Coruna–Diego Tristan Herrera. Ketika ada tim yang mendobrak kemapanan, maka saya suka, termasuk Super Depor-nya Tristan yang bisa mengusik El Clasico.

Yah, jadilah nama itu terngiang-ngiang. Dijadiin nama anak bagus kali ya?

Cuma masalahnya, belum ada emaknya ini.

Ternyata nama Tristan ini sangat terkait dengan sebuah kisah romantis bin pahit. *ealah, ujung-ujung e yo galau*

Romansa kisah cinta Tristan dijalin bersama Isolde (sumber lain menyebutkan Isolt). Kisah ini termasuk kisah jadul yang kesohor di kancah kesusasteraan Barat. Kisah Tristan sendiri dianggap didasari oleh mitologi Celtic Pursuit after Diarmand and Grainne, juga The Wooing of Emer. Di Yunani juga ada Theseus and Labyrinth, serta di Persia ada Wis and Ramin.

Karya awal yang menyangkut Tristan ini kira-kira adalah Tristan yang ditulis oleh Thomas (Inggris) dalam Anglo-Norman. Juga ada puisi Le Roman de Tristan yang digarap penyair Norman, serta Tristrant oleh orang Jerman Eilart von Oberg.

Disebutkan bahwa legenda soal Tristan memasukkan referensi legenda Raja Arthur. Jadi, perjalanannya nggak serta merta Tristan ini terkait dengan legenda Raja Arthur yang juga tidak kalah kesohor itu.

Salah satu versinya, seperti dikutip dari sini, bercerita sbb.

Tristan–yang terkadang disebut Tristram–adalah keponakan Raja Mark of Cornwall. Ada yang bilang bahwa Tristan merupakan saingannya Maya Hasan dalam main harpa *oke lupakan kalimat ngawur barusan*

Disebutkan bawa Raja Irlandia mengirim seorang jawara–setaraf Si Pitung–bernama Morholt. Tapi tugasnya Morholt ini untuk menuntuk upeti dari Cornwall. Kelanjutannya adalah duel Tristan vs Morholt. Tristan berhasil membunuh Morholt, tapi dia kenal racun yang ada di pedang Morholt. Suara-suara sekitar bilang bahwa di Irlandia ada seorang putri bernama Isolde yang ahli dalam penyembuhan. *sebut saja apoteker jaman King Arthur*

Tentu saja Tristan menyamar kesana. Gile aje sudah membunuh utusan Irlandia, lalu minta penyembuhan ke Irlandia tanpa menyamar. -___-

Setelah sembuh, Tristan kembali ke Cornwall dan memuji Isolde habis-habisan dan kemudian merekomendasikan Raja Mark untuk menikahi Isolde. Raja Mark setuju dan minta Tristan balik ke Irlandia untuk mendapatkan Isolde, demi sang raja.

Tristan, ketika sampai di Irlandia, mendapati kondisi bahwa Irlandia sedang diteror naga. *tuh kan ketahuan mitologinya*

Dengan kekuatan bulan, Tristan bisa membunuh naga itu. Dan pada saat yang sama, Isolde sadar bahwa Tristan inilah yang membunuh Morholt pamannya.

Catatan: di versi lain, disebutkan bahwa Isolde justru akan dijodohkan dengan Morholt, dan malah ‘senang’ dengan kematian Morholt. Juga di versi lain dibilang bahwa Tristan tidak datang tiba-tiba ke Irlandia, tapi hanyut dibawa perahu, dan ditemukan Isolde yang lagi galau karena disuruh kawin sama Morholt.

*sik bener sik ngendi mboh*

Ujung-ujungnya, Isolde berhasil dibawa oleh Tristan ke negaranya. Nah, nah, nah, jatuh cinta dimulai disini. kabarnya ibunya Isolde (di versi lain disebut bahwa ibu Isolde sudah mati jauh lebih awal), menyiapkan minuman ajaib agar Isolde berbagi ramuan dengan calon suaminya supaya mereka saling mencintai selamanya.

*boleee kakaaa ramuannyaaaa…*

Berikutnya adalah pertanyaan, “piye perasaanmu le?” terhadap Tristan yang harus melihat Isolde (yang dicintai dan mencintainya) harus nikah sama Mark, dan dia harus selalu ada disitu–namanya juga pegawai.

Dalam legenda 1200-an dikisahkan kaitan Tristan dengan legenda King Arthur. Disini pula muncul kontras Raja Mark yang awalnya pria terhormat, lantas digambarkan sebagai raja kejam dan pengecut.

Tristan kemudian meninggalkan negeri asalnya, lalu ke Britania dan menikah disana. Cuma, cinta dalam hatinya tetap untuk Isolde. Suatu kali ada pertempuran dan dikirim kembali ke Cornwall berharap bisa disembuhkan oleh apoteker masa jadul yang bernama Isolde.

Kisah berikutnya adalah Tristan nggak kuat berdiri karena kesakitan, dan bertanya ke istrinya, Isolde mau bantu nyembuhin apa nggak. Dasarnya istrinya cemburu (ah, dasar wanita), dia malah bilang nggak.

Karena galau, Tristan akhirnya meninggal. Tapi kemudian Isolde datang, dan begitu tahu Tristan meninggal, eh dia ikut meninggal juga.

Edisi meninggal dalam kesedihan ini semacam kisah di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yah. Ckckck.

Begitu tahu kisahnya yang ini, kok jadi ngenes ya? Hehehe.

Cuma poinnya, kelihatan sekali bahwa Tristan ini adalah seorang ksatria, yang bahkan rela mengorbankan perasaannya sendiri. Aslinya sih ngenes, tapi termasuknya mulia kan ya.

Kalau mau informasi tambahan untuk kisah ini, ada webnya loh. Sila klik. Referensinya banyak dan beragam. Sumber yang tadi itu hanya salah satunya saja. Ada juga ulasan film-nya nih, boleh klik.

Yah, sebuah rasa penasaran pada sebuah nama membongkar kisah cinta yang (menurut saya) wagu, tapi tiadalah wagu dalam cinta. *tsahhhh*

Soalnya, kisah cinta berujung sama-sama mati itu nggak cuma Tristan.

Ada Romeo – Juliet (sama-sama mati minum racun)
Cleopatra -Mark Antony (mati karena bunuh diri gegara gosip nggak jelas)
Lancelot – Guinevere (nggak langsung mati sih, cuma keduanya selibat sampai matinya)
Paolo -Francesca (dibunuh sama kakaknya Paolo yang adalah suaminya Franceesca, ya iyalah, lagian selingkuh gitu.. hedeh..)
Thiebe – Pyramus (ini paling konyol, kan mereka janjian di taman, Thiebe ketemu singa yang habis makan, lalu sembunyi tapi selendangnya jatuh dan kebawa singa. Nah si singa ketemu Pyramus. Perpaduan mulut berdarah si singa dan selendang Thiebe bikin Pyramus malah bunuh diri. Lah piye to iki? Giliran Thiebe keluar dari sembunyi, dia liat Pyramus mati dengan pedang di dada, itu pedang dicabut lalu ditusuk sendiri).

Komentar terakhir saya, dasar cinta :p

Lagi Mikir

Kemaren, mendadak mikir *biasanya ga mikir*

Dulu di Jogja, ketika tempat tinggal saya sangat dekat dengan gereja Banteng, saya bahkan ke gereja saja jarang. Pada masa itu, saya memahami rasanya jadi Katolik NaPas (Natal Paskah). Hingga pada suatu ketika, saya kemudian menjadi aktif, justru di tempat yang jauh dari gereja Banteng. Tempat itu Kapel Robertu Bellarminus Mrican.

Ada kali 2 tahun saya cukup aktif disana, sampai ketika sebuah statement dari Suster Gracia bikin saya sakit hati. Jadi ceritanya lagi latihan lektor, pas ngetes, eh saya dikomentarin, “begini nih kalo nggak biasa nyanyi..”

*jeger*

Komentar itu kemudian termasuk mengompori saya untuk masuk PSM. Dan kemudian masuk beneran. Nah, sejak itulah, saya mulai jarang aktif lagi di gereja. Padahal, saya sempat sampai pada tataran gawe umat bosan soale nek ora lektor, kolektan, misdinar, atau mentok2nya jualan teks misa. Pasti ada saya di misa Minggu pagi itu.

Sampai bertahun-tahun kemudian saya pindah ke Palembang. Tempat kos pertama saya sangat dekat dengan Seminari. Pernah sekali ikut tugas koor, tapi terus malas karena pekerjaan rasanya kok sudah berat banget. Pada akhirnya ya saya hanya jadi Katolik biasa saja, yang setiap pekan ke gereja. Padahal, kalau mau aktif ya bisa, wong gereja dekat. Bahkan sejak 2010, saya punya sepeda motor. Kalau mau ke Yosef, San Frades, apa Seminari, itu hal mudah. Mana semacet-macetnya Palembang, kalau hanya mau ke San Frades sih nggak akan nemu macet.

Tapi entah ya, niat ada, tapi kok nggak jalan.

Hingga kemudian saya kesasar ke Cikarang. Di tempat yang untuk radius 20 km hanya ada 1 gereja, yang kalau mau dicapai harus menemui jalanan ganas penuh kontainer.

Dan, kok ya aneh, disini saya koor ikut, lektor ikut, balai kesehatan ikut (walau statusnya panggilan). Aneh aja, justru di tempat yang butuh effort lebih hanya untuk sekadar ke gereja, saya malah begini.

Mungkin karena ini faktor pencarian jodoh? Rasanya kok nggak juga. Wong di balkes nggak ada juga yang bisa digebet, di koor apalagi.

Atau faktor apa ya?

Mboh ki. Lagi mikir.