Sir Alex Ferguson resign, dan pemberitaan sudah semacam Sir Alex meninggal dunia. Berlebihan? Ya mungkin, tapi itulah industri sepakbola. Pemberitaan yang terbilang mendadak, sampai kemudian muncul pengumuman resign, plus pengumuman penunjukan David Moyes, adalah rantai yang sinambung membentuk sensasi.
Sebenarnya apa salahnya Sir Alex resign? Dia sudah 71 tahun, dan sudah 26 tahun membesut Setan Merah.
Yah, 26 tahun itu waktu yang sangat lama. Bahkan sebenarnya 27 tahun kalau menghitung dia tiba ke Old Trafford pada 1986. Belum genap memang.
Saya mengenal tim idola saya, Internazionale, pada tahun 1995. Usia saya 8 tahun ketika itu. Anggaplah anak-anak yang lain akan mengenal sepakbola serta kemudian mencintainya pada usia yang sama, maka kita akan mendapati bahwa sebagian besar fans, bahkan yang berusia 30 tahun pasti lekat dengan Sir Alex.
Kalau saya sebagai Interisti sudah mengalami masa-masa dari Hodgson, Castellini, Simoni, Lucescu, Tardelli, Lippi, Cuper, sampai Mancini dan Mourinho, para fans MU hanya mengenal Sir Alex. Orang yang datang ketika MU ada di bawah.
Jadi, mungkin yang legowo adalah Manchurian yang usianya 40 tahun. Iya, mereka yang mengalami nggak enaknya jadi fans MU. Ketika MU diledek saat terlempar dari papan atas sepakbola Inggris.
Soal kecintaan saya terhadap olahraga, memang mengarahkan saya pada anti kemapanan. Itu kenapa saya merupakan anggota anything but MU, apa aja asal jangan MU. Kenapa? Karena saat saya mengenal Liga Inggris, itu pas dengan zaman MU sedang jaya-jayanya. Sama persis ketika saya mendukung Eddie Irvine alih-alih Michael Schumacher.
Tapi tentu, ini bukan kebencian, tapi lebih kepada bobot respek. Bahwa saya tidak suka Juventus, itu mungkin kadarnya lebih mengarah ke kebencian, utamanya sejak insiden di musim 1997/1998 saat pelanggaran terhadap biru-hitam tidak dikenai penalti.
Artinya apa? Para fans MU, utamanya yang seumuran saya, akan sangat sulit beradaptasi dengan realita bahwa yang ada di bench MU bukan lagi sosok rapi yang berkacamata dan mengunyah permen karet. Bukan lagi sosok yang hobi marah-marah (termasuk ke wasit). Bukan lagi Sir Alex Ferguson. Sederhana kan?
Bahwa cinta kepada sepakbola itu memang luar biasa. Tinggal sekarang, sama ketika Inter ditinggal Mourinho, Juve ditinggal Lippi, AS Roma ditinggal Capello, atau juga Dortmund ditinggal Hitzfeld, ada 2 pertanyaan penting.
Siapkah tim dengan hal baru?
Siapkah fans atas perubahan itu?
Inter terbukti gagal, karena sejak Mou hengkang, selalu saja goyah. Juve, ya lumayan berhasil di bawah Ancelotti. Roma sendiri juga terbilang berhasil. Dortmund? Bubar ketika ditangani Novia Scala.
Jadi, bagaimana dengan Moyes dan MU? Mari kita nantikan.