Seulas Senyum

pablo (2)

NSP! Wah, masih musim nggak tuh? Sejak pencurian pulsa yang marak dilakukan sama provider kaya raya, NSP mendadak distop! Ah, ini mah menggalaukan saja. Bagaimana mungkin NSP dihilangkan? Bagaimana pula nanti aku akan digunakan kalau NSP mati. Bayangkanlah, kalah NSP ditiadakan, maka aku akan jarang-jarang ditelepon. Dan aku juga akan jarang-jarang membunyikan nada dering.

Yah, NSP yang ada padaku dan nada dering yang tertanam padaku, sama persis.

Awalnya aku menganggap ini hanya praktek mellow seorang pemilik handphone. Tapi ternyata lama-kelamaan aku memaknai lagu itu. So sweet lah untuk didengarkan dan so sulit untuk dinyanyikan.

Aku hanyalah seonggok handphone yang so jadul alias cukup jadul. Jangan panggil aku tua. Aku memang masih candy bar, tapi jangan salah, kekuatanku lebih dahsyat daripada pegangan generasi terbaru. Apa itu? Ah, BB.. Coba celup dalam kopi, habis itu BB. Sama apalagi itu? Android? Sama aja.

Mana ada handphone sepertiku, tahan jatuh dari ketinggian 5 meter, pernah masuk gelas teh, pernah dipakai melempar anjing waktu pemilikku ketakutan.

Aku hanya seonggok handphone yang diam pada zaman. Dulu aku adalah handphone paling tipis yang pernah ada. Ingat, paling tipis! Tolong jangan keras-keras waktu bilang DULU. Agak menyakitkan hati.

Tapi karena aku berasal dari masa lalu, aku sangat paham tentang masa. Akulah saksi ketika pacar pertama pemilikku mentransfer fotonya dengan bluetooth. Yak, fitur paling canggih padaku, memang bluetooth, gigi biru. Belum ada BBM atau Whatsapp tertanam padaku. Waktu itu? Pasti kalian juga belum mikir. Waktu itu akulah yang terhebat.

Aku juga saksi ketika pesan singkat masih merajalela. Aku terlalu panas untuk selalu meladeni pesan singkat yang bertubi-tubi masuk. Tapi aku kuat, mana pernah aku hang? Ah, nggak mungkin itu. Aku handphone kuat.

Aku juga saksi ditindih oleh pemilikku ketika dia baru putus dengan pacarnya. Orang sinting! Ketika sakit dan sedang nggak perlu handphone aku dibiarkannya terselip diantara dua belah springbed. Ketika butuh, sambil nangis-nangis dia mohon aku tiba-tiba muncul di permukaan.

Tapi tak apa. Aku menikmati detail peristiwa pemilikku. Tidak ada yang mengenalnya sedalam aku.

Karena aku pula yang menyimpan semua pesan singkat tentang cintanya yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun. Handphone-handphone terkini, ayo sini, memangnya di memorimu ada pesan singkat dari 5 tahun silam? Mana ada! Hanya aku yang punya.

Akulah saksi ketika pemilikku dengan seulas senyum, sesekali membaca kembali pesan-pesan singkat yang masih ada di handphoneku. Baginya, lebih baik beli handphone baru alih-alih menghapus pesan-pesan itu. No! Itulah pesan cinta yang sebenarnya.

Pesan cinta yang tidak terungkap.
Pesan cinta yang terus menerus terlampaui masa.
Pesan cinta yang tidak eksplisit.
Pesan cinta yang hanya dimaknai dengan seulas senyum.
Pesan cinta yang meninggalkan luka, bahwa cinta tak harus dimiliki.
Pesan cinta yang terwujud dengan bebas.

Dan hanya aku yang mengerti makna senyum itu.

Karena senyumpun dapat bermakna tangis.

 

Di Ujung Horison

Bahwa hidup itu seperti memandang horison, aku sungguh paham itu.
Sesuatu bisa dengan mudah kamu lihat.
Tapi tak seluruhnya.
Siapa yang tahu ada apa di balik horison itu?
Sampai Colombus dianggap orang gila karena hendak mencari tahu.

Dan jangan kamu pungkiri, bahwa kamulah ujung horison itu.
Aku masih bisa melihatmu, menikmati keindahanmu.
Sedikit menikmati sisa ombakmu yang sampai ke tempat aku berdiri.
Tapi kamu akan tetap disana, di tempat itu.

Aku tidak bisa kesana.
Aku tidak bisa berenang, dan lebih lagi, aku tak tahu ada apa dibalik horison itu.
Dan aku bukan Colombus.

Aku hanya berharap bisa seperti Colombus.
Berani dibilang gila, berani dianggap aneh.
Untuk membuktikan kebenaran yang dia percayai.

Lantas aku?
Apakah kebenaran yang aku percaya?

Satu-satunya kebenaran itu adalah bahwa hatiku hanyut, menuju ujung horison, tersimpan nyaman disana.

Tahukah kamu soal itu?

Tak perlu.

Simpan saja hatiku.
Sepenuhnya itu milikmu.