F62

Awal tahun yang luar biasa ketika saya bisa berkumpul bersama keluarga di rumah.

Luar biasa?

Tentu saja! Terakhir ini terjadi adalah di awal tahun 2007 alias 5 tahun silam.

Yah, mengumpulkan 2 orang tua dan 4 anaknya di rumah milik keluarga ternyata bukan perkara yang mudah. Sempat nyaris terjadi, tahun 2008, tapi saya terpaksa tidak ikut karena ada pekerjaan di Nias waktu itu.

Memang, kami setahun sekali masih bertemu, di Jogja. Tahun 2008 masih bertemu ketika wisuda saya. 2009, masih bisa kumpul menjelang sumpahan saya. 2010? Ada momen ketika si bungsu masuk seminari, dan saya, dengan perjuangan keras bisa beroleh cuti guna menyusul ke Jogja. Di 2011 pun sebenarnya terjadi waktu Pak Guru wisuda. Jadi sebenarnya tidak ada masalah soal pertemuan.

Tapi, bertemu dan berkumpul di rumah, tempat kami benar-benar menjadi diri kami sendiri?

Susahnya minta ampun.

Maka, keajaiban sejak 24 Desember sampai 1 Januari kemarin tidak boleh saya lewatkan.

Yah, F62 adalah nomor rumah kami. Tempat yang dibangun dengan susah payah. Pun, saya ikut bersusah payah. Jadi ingat dulu ikut serta mengaduk semen, membelah bambu untuk bikin pagar, mengulur kabel ke tetangga waktu belum dapat listrik, memukul nyamuk dari pohon bambu belakang rumah, tidur di dipan beralas kardus kulkas, sampai mengecat rumah.

F62 adalah rumah, tempat impian dimulai. Dan saya berharap bahwa 6 orang yang nggak pernah kehabisan keributan itu bisa berkumpul lagi tanpa perlu menunggu hitungan 5 tahun lagi.

Amin.

Advertisement

Reach Your Dream…

Barusan membaca blog teman lama saya berinisial 122. Jiahh.. ya disebut demikian karena selama 7 semester kami bersama. Hal itu tentu saja karena NIM 122 dan 123 selalu dalam urutan nomor yang jelas dan lugas.

Kemarin tanggal 1 juga sempat ketemu di Jogja, dan baru tahu kalau dia sudah menyatakan resign dari kantornya, tepat 2 tahun.

Dari status2nya dan kekasihnya, saya cukup tahu bahwa mereka berkeinginan untuk segera wirausaha. Lagipula si 122 ini berasal dari keluarga yang berwirausaha, cocok sekali.

Dan sungguh sebuah keberanian besar bagi seseorang untuk melepaskan status pegawai sebuah perusahaan yang cukup ternama, yang notabene melepaskan pula segenap gaji, tunjangan, asuransi, dan fasilitas lain yang melindungi.

Saya hanya perlu memberikan jempol untuknya!

Sekilas membahas ini. Dalam salah satu perjalanan hidup saya berurusan dengan bank, saya merasakan betul bahwa seorang karyawan memiliki banyak kemudahan dalam berproses. Wawancara kredit misalnya, waktu untuk wawancara 1 wirausahawan bisa setara 5 karyawan. Kenapa? Bank hanya perlu memastikan bahwa karyawan ini gajinya sesuai dan statusnya tetap untuk memastikan keberlanjutan kredit, sementara wirausahawan? Senguping saya, sampai ditanya prospek segala.

Tapi bagaimanapun, setiap orang punya mimpi masing-masing. Namun tidak semua orang berani meninggalkan kenyamanan yang dia sudah punya, untuk menggapai mimpi-mimpi itu.

Saya pun demikian.

Kenapa? Karena setidaknya yang saya lakukan sekarang masih bersinggungan dengan mimpi-mimpi saya. Itu pasti. Dan yang terutama adalah karena saya berjuang banyak untuk bisa sampai pada posisi seperti yang saya punya sekarang.

Artinya? Saya tidak akan merealisasikan mimpi saya?

Tentu tidak! Ada suatu waktu ketika mimpi itu akan jadi nyata. Tidak sekarang, memang. Karena mimpi itu perlu dirintis perlahan, meski itu dengan noda-noda kegagalan, penolakan, ketidakpedulian, dan banyak lagi. Sampai detik ini pun saya masih belajar mengolah kegagalan dan penolakan sebagai bagian dari upaya saya menggapai mimpi itu.

Salut untukmu bro! Kalau sudah sukses, kabar-kabari ya.. hehehe…