Nama Itu, Senyum Itu, Kamu Itu

Kadang aku ingin bertanya pada Tuhan, mengapa Ia membiarkan udara mengantarkan gelombang yang isinya sebuah kata berisi namamu. Kadang aku berharap waktu itu aku sedang mendengarkan seseorang lain yang berbicara yang lain pula, bukan berbicara sebuah kata yang isinya adalah namamu.

Ya, sejak gendang telingaku menangkap dua patah kata yang adalah namamu, semuanya tak lagi sama. Namamu berlari menyusuri sistem sarafku, memenuhi cairan-cairan perantara neuron yang ada di otakku, bahkan ikut main-main dengan tekanan darahku. Entah mengapa semuanya soal kamu.

Mungkin sebenarnya aku harus jujur bahwa yang kusesali bukanlah saat aku mendengar namamu. Baiklah, aku memang harus jujur.

Satu hal yang kusesali adalah karena mendengar namamu aku telah memberikan cintaku kepadamu, yang tampaknya takkan pernah mencintaiku. Sebenarnya hanya itu. Sayangnya, cinta itu bertumpuk, terpendam, bahkan terbenam di dalam hatiku. Cinta itu telah mengendap bersama toksin-toksin kronis di dalam tubuhku.

Apakah mungkin karena kita cukup dekat?
Apakah mungkin karena aku seolah-olah mendekati kamu sebatas ingin berteman?
Apakah mungkin karena kamu memang tidak punya rasa padaku?
Sungguh aku tak tahu.

Kamu telah menjadi hemoglobin dalam darahku. Sungguh tanpa kamu, otakku seakan tidak pernah menerima oksigen. Dia hampa. Bahkan kalau bukan karena kamu, maka kata-kata ini tidak mengalir.

Hanya dari namamu yang tampak biasa tapi entah kenapa membuatku menggila. Lantas aku bertemu kamu yang juga entah kenapa malah membuat aku seperti perlu minum obat penenang. Dan terutama, ketika kamu tersenyum.

Sungguh dunia menjadi terang benderang. Aku hanya berharap sehabis melihat senyummu, aku tidak perlu memakai kaca mata, karena senyummu sungguh menyilaukan.

Satu hal yang kusesali, ya hanya satu saja. Sayang, yang satu itu berakar banyak.

Aku tidak tahu apakah selama ini kamu menyadari cintaku? Aku yakin kamu pasti menyadari tentang aku karena kita sering berinteraksi. Dan aku yakin kamu bukanlah orang aneh yang berinteraksi sendiri, karena itu memang tidak mungkin dilakukan.

Apakah kamu tidak sadar bahwa selama ini aku merindumu? Meskipun aku menulis kata-kata lewat pesan singkat yang seolah-olah bercanda, tapi sejatinya itu nyata.

Mungkin aku memang terlalu banyak bercanda.
Tapi sebenarnya itu lebih karena aku mencintaimu.
Dan yang terjadi kemudian adalah aku tidak punya daya untuk mengungkapkan cinta kepadamu.

Apakah kamu tidak peka sedikitpun tentang panggilan hatiku? Mungkin kini dia sedang sirosis, membatu, karena siapa? Karena kamu.

Kamu adalah senyuman paling indah.
Kamu adalah tawa paling menghangatkan.
Kamu adalah kerlingan yang paling menawan.
Kamu adalah binar paling cemerlang.

Sungguh itu kamu, dan memang hanya kamu.

Kala berulang usaha membuatku berhenti pada ketidakpedulianmu akan aku, maka aku akan selalu berlari.

Sayangnya, aku jatuh terlampau dalam di hatimu.
Aku tidak bisa memanjat lagi.
Bibir jurang hatimu sudah terlalu jauh karena aku terperosok sedemikian dalam di hatimu.

Aku menangis kala mendengarmu bersama seseorang yang kamu cintai.
Aku tertawa kala kemudian orang itu justru menyakitimu.

Aku tertawa, karena akhirnya aku punya ruang kembali untuk masuk ke sisi hatimu.  Tapi tetap saja, aku rasa kamu tidak tahu.

Pernahkah kamu menyepi sejenak?
Pernahkah kamu mendengarkan jeritanku dalam dasar jurang hatimu?
Pernahkah kamu sejenak melihat ke bawah, ketika aku menatap penuh harap bahwa kamu akan membantuku keluar dari jurang ini dan menaruhku di sisi hatimu?

Ketika kamu selalu menyebut hendak mencari sosok lain, aku selalu berharap bahwa kamu akan berpaling padaku.

Sayangnya tidak.

Hah..
Kamu ini memang bikin gila. Kamu sudah seperti Diazepam yang masuk secara intravena ke dalam pembuluhku. Aku tak berdaya karena kamu.

Lantas apa?
Aku harus berusaha untuk sadar sendiri, berupaya bangkit sendiri, dan berjuang untuk tegak kembali.

Aku tahu kamu sebenarnya tidak salah karena akulah yang memberikan cintaku kepadamu. Dan salahku juga tidak pernah meminta cintamu.

Sungguh, aku hanya tidak berani.

Kini aku baru mengerti sungguh bagaimana rasanya mencinta. Sayangnya rasa itu harus kudapatkan dengan mencintaimu, yang tidak akan pernah mencintaiku.

Yah, kini aku sudah tahu rasanya.
Terima kasih telah memberikanku pengalaman yang tidak akan terlupa soal rasa mencinta.
Ini sungguh berharga bagiku.

Dan pasti akan jauh lebih bermakna, kalau kamu pada akhirnya ada di sampingku.

* * *

Malam menjelang dan suasana laboratorium, seperti biasa, sepi. Seorang dalam balutan jas laboratorium tampak berbicara sendiri dengan memegang gelas ukur dan pipet.

Dan orang itu masih melontarkan kata-kata, kadang manis, tapi lebih banyak galaunya. Mungkin percobaannya sedang gagal, mungkin peak HPLC yang diharapkannya tidak muncul, mungkin ia harus mengulang preparasi, Tidak ada yang tahu.

Tidak ada yang tahu? Mungkin juga tidak.

Karena ada sosok lain di ujung ruangan yang mendengarkan dengan saksama racauan orang itu. Sangat saksama malah.

Satu hal saja yang perlu dipertanyakan, apakah sosok lain itu sadar bahwa orang itu meracau panjang tentangnya?

Tidak ada yang tahu. Sungguh.

* * *

Tulisan saya yang dimuat dalam buku Tahu Bagaimana Rasanya
Sebuah buku antologi yang diinspirasi dari lagu berjudul sama ciptaan Mbak Lala Purwono 🙂