Yona masih terjaga, tapi kantong matanya jelas memperlihatkan bahwa dia sudah ngantuk, sangat ngantuk malah. LCD TV sesekali sudah menonton Yona yang terkapar di sofa. Hari sudah jam 11 malam, Yona masih disitu, tidak ke tempat tidur. Yah, teman untuk tidur bersamanya masih belum sampai di rumah. Alan masih belum bersamanya di rumah.
“Aku nggak suka kamu pulang malam. Kamu masih ingat aku nggak? Masih ingat rumah nggak?” Yona mengingat perkataannya, marah tentunya. Dan itu belum lama. Baru tadi pagi, jam 1. Dan belum 24 jam, Alan kembali mengulangi hal yang sama.
“Aku kan nggak main, aku nggak selingkuh, aku nggak mampir-mampir. Aku kerja, sayang,” kilah Alan.
“Justru! Kalau kamu main dan bukan kerja, aku nggak marah. Kamu nggak ingat kesehatan kamu?”
Alan diam saja, melepas kemeja, dan segera pergi mandi.
Ini bukan pertengkaran yang pertama. Mungkin bulan ini sudah yang ketujuh belas. Kebetulan ini sudah tanggal 30. Hanya ada 13 hari tanpa marah-marah. Dan 8 diantaranya Sabtu-Minggu. Jadi, sebulan ini, Alan pulang tepat waktu 5 kali. Ya! Hanya 5 kali.
“Apa aku perlu telepon bos kamu?” teriak Yona pada Alan yang masih di kamar mandi.
“Woooo.. jangan dong sayang..”
“Jadi besok pulang on time?”
“Diusahakan…”
Yah, jawaban paling diplomatis dari seorang pria. Pria ya begitu itu, janji melulu, akan diusahakan. Paling mentok tahan seminggu, sisanya? Ya kayak biasa lagi.
* * *
Alan memacu mobilnya dengan kencang. Jalan tol di malam hari dapat didefinisikan sebagai jalan bebas hambatan yang sebenarnya. Dan ini sudah jam 11 malam. Hari ini banyak meeting. Ada demo, pekerjaan stop, sehingga Alan perlu mengatur jadwal pengiriman dan seabrek pengaturan lainnya. Resiko jadi Manager PPIC.
“Yona pasti marah lagi..” gumam Alan seraya menginjak gas lebih dalam. Matanya sesekali melihat ke BB yang terletak di dashboard mobil. Tidak ada balasan BBM dari Yona. Bahkan Yona yang biasanya rajin menelepon, kali ini nggak melakukan hal itu.
“Padahal aku kan sudah bilang, aku kerja. Kalau mau lanjut, bisa banget. Rugi juga selalu menolak ajakan Pak Weksa. Huhhhhh.. Dasar wanita!” Alan membanting tangannya pelan ke setir.
Sebenarnya Alan juga sudah berusaha pulang cepat. Kesalahannya hari ini adalah pamit ke bos. Kalau saja jam 5 tadi dia langsung hilang dari meja, pasti tidak akan ada meeting jam 5 sore. Dan bos selalu begitu. Meeting jam 5 sore, data harus dapat besok, pagi pula. Ini mah sama saja meminta anak buahnya lembur.
“Panggilan.. Jalani ajah..” bisik Alan lagi, persis ketika dia selesai membayar tol di pintu keluar.
* * *
Deru mobil terdengar dari luar. Yona terjaga. Bantingan pintu Alan menjadi penanda alami bahwa yang di depan itu Alan. Lagipula, mana ada tamu nongol jam setengah 12 malam, kalau bukan emergency atau maling.
“Sayang….,” kata Alan sambil mengetuk pintu.
Yona beringsut dari sofa. Bangkit dan berjalan gontai menuju pintu rumah, lalu membuka pintu dan berkata, “Jam berapa ini?”
“Kan aku udah SMS kalau meeting sayang..”
“Kamu ingat tadi pagi ngomong apa? Belum 24 jam Alan!”
“Tapi aku kan…”
“Tapi aku kan kerja, nggak mampir, nggak main? Basi kali. Aku udah bosen dengernya..”
“Kalau kenyataannya begitu?”
“Terserahhhh…”
Yona mengusap matanya, mau nangis. Setiap kali marah begini, capek juga. Alan pun demikian, setiap kali pulang, bukannya disambut manis, malah dimarahin terus.
Maka dua insan yang sejatinya saling mencinta itu diam. Emosi tinggi dan fakta bahwa ini sudah malam membuat mereka diam satu sama lain.
Sampai 48 jam kemudian.
“Sayang…,” Alan datang ke rumah tepat waktu. Jam 6 sore. Ini termasuk keajaiban dunia ke delapan.
Sepi.
Alan membuka pintu dengan kunci yang dia punya. Bingkisan besar yang dia bawa membuatnya agak sulit bergerak. Surprise untuk Yona mungkin obat mujarab untuk tidak tidur dengan batu. Bayangkan 2 malam tidur hening, meski ada orang di sebelahnya.
Alan beringsut pelan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu.
Alan bingung, pergi kemana istri tercintanya.
Tujuan akhir dari langkah Alan adalah di kamarnya. Aneh, pintu terkunci, dari dalam.
“Sayang…,” ketuk Alan, “Aku pulang cepet nih…”
Tidak ada jawaban.
Ketukan ke dua.
Masih tidak ada jawaban.
Ketiga kali mengetuk.
Masih tak terjawab.
Alan memilih mundur, meletakkan bungkusan yang dia bawa di sofa. Lalu kemudian terkapar di sofa yang lainnya.
Lima detik setelah Alan kabur ke alam mimpi, Yona membuka pintu.
“Cintaaa… katanya uda pulang?”
Hening.
Kamar mereka berdua sudah selesai dihias. Manis sekali. Yona ingin rekonsiliasi malam ini. Daripada masuk ke hari 3 tidur dengan guling hidup yang kali ini tidak bisa dipeluk dan memeluk.
“Cintaaaa…”
Masih hening.
Tanpa jawaban, Yona pun mengintip ke ruang tamu. Hanya tampak Alan yang tertidur mangap di sofa. Yona berbalik malas. Pulang cepat, buat tidur, ngapain itu?
Tambah panas, Yona pun kembali ke kamar yang sudah dihias manis, dan memilih untuk tidur saja.
Maka ini malam ketiga.
Pagi buta, Alan terbangun. Tidur di sofa membuatnya agak pegal. Dia berjalan ke kamar, dan kamar itu terbuka.
Dekorasi indah, ranjang penuh bunga, dan wangi semerbak ada di ruangan itu. Sebuah tulisan di meja rias Yona, “Maaf ya Cinta.. Aku marah karena aku sayang kamu.. Itu saja kok.. Luv U..”
Alan tersenyum simpul. Mendadak dia enggan membangunkan Yona.
“Biarin deh..”
Alan lantas berangkat mandi dan kemudian pergi ke kantor, seperti biasanya.
Suara deru mobil yang meninggalkan carport membangunkan Yona. Sudah 12 jam dia tidur. Mungkin terlalu lelah seminggu ini menunggu Alan pulang malam.
“Cintaaa..”
Masih hening.
Yona mengintip lagi ke ruang tamu. Tidak ada siapapun, kecuali sebuah bungkusan dengan tulisan “I’m Sorry and I Love You”.
Yona membuka bungkusan itu. Sebuah album foto lengkap dengan puisi. Mana foto-foto jaman pacaran pula. Yona mendadak galau maksimal.
Bahwa pria demikian dan wanita juga demikian. Keduanya sama, saling mencintai. Bahwa perspektif mencintai itu berbeda, wajar. Beginilah Alan danYona, keduanya tetaplah insan yang saling mencinta, meski marah. Karena marah pun tidak lain karena cinta. Beginilah Alan, beginilah Yona.
Yona memeluk album foto dan puisi tersebut.
Alan memasang ucapan Yona di buku agendanya.
Mereka tetap saling mencinta.