Dua Sisi

Aku masih bersamamu sekarang. Aku juga heran kenapa aku masih bertahan bersamamu. Tapi biarlah, lagipula selama ini aku sudah bersamamu dan mungkin untuk waktu-waktu yang mendatang. Yah, sejauh aku bersamamu, aku cukup menikmati. Ada hal-hal yang bisa kamu penuhi. Ada standar-standar yang spesifikasinya cocok padamu.

Tapi maaf, ini soal hati. Hatiku masih berlari-lari. Sesekali dirimu benar-benar hilang dari otak dan hatiku. Sesekali itu terjadi tidak sengaja, namun sesekali memang aku sengaja mengeluarkanmu dari otak dan hatiku. Kadang bisa dua minggu lamanya, kamu hilang benar dari pikiranku sebelum akhirnya logika mengembalikan kamu kembali ke otak dan hatiku.

Dalam waktu-waktu itu, dia yang mengisi tempatmu di otak dan hatiku. Ingat ya, di dua-duanya, otak dan hati. Dia yang sedang galau di ujung sana. Dia yang selalu mampu menghilangkan kegalauanku, alih-alih kamu. Maaf, kamu justru lebih sering membuatku galau.

Sayang memang aku tidak mampu memilikinya, maka baiklah aku tetap bersamamu.

Nafas pria itu mendengus berat. Meski begitu, dia tetap masuk ke dalam rumahnya.

* * *

Pintu itu akhirnya terbuka juga. Pulang juga kamu. Baguslah kalau kamu pulang. Setidaknya ada yang harus bersamaku saat ini. Aku memang harus bersamamu saat ini dan mungkin waktu-waktu yang mendatang.

Untung pula kamu pergi. Sejujurnya aku juga malas melihatmu. Kadang aku ingin menyuruhmu pergi karena aku sedang malas melihatmu. Makanya, untuk kali ini aku bersyukur sekali kamu pergi. Sekali-kali kalau kamu hilang dari kehidupanku, hidupku terasa lebih baik.

Kamu pasti tahu bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan dia dalam hidupku. Meskipun kamu sudah ada di hidupku cukup lama. Dia punya sesuatu yang lebih dari kamu, dia memiliki hal yang aku butuhkan. Sesuatu yang kamu tidak miliki.

Kebetulan pula aku sampai di rumah sebelum kamu. Jadi aku sudah ada dan siap di rumah ketika akhirnya kamu buka pintu itu. Yah, pasti tidak ada masalah.

Kamu akan pulang, kita akan bertemu, dan kehidupan akan kita lanjutkan kembali. Aku dan kamu berjalan bersama dalam masa depan hidup kita. Tentunya dengan dia tetap ada dan akan selalu ada di dalam kehidupanku.

Pintu itu bergerak. Helaan nafasmu kudengar berat. Kamu sudah masuk ke rumah.

* * *
Tulisan saya yang berjudul Dua Sisi, dimuat di Antologi berjudul Salah. Diterbitkan dalam rangka #11Project11Days 🙂

Advertisement

Trauma Tak Selalu Tentang Luka

screenshot_221

Keping DVD berhenti berputar. Switch otomatis membawa DVD Player pada posisi off. Layar LCD sudah kembali pada posisi stand by, membutuhkan film lain untuk ditayangkan, dapat diperankan oleh artis yang berbeda asal sama tampannya.

Naya masih tersedu sedan dengan tisunya. Menangis. Ya, menangis. Menonton DVD Korea selalu membawa haru dalam diri Naya. Dan hampir selalu haru diterjemahkan dalam tetesan air mata.

“Kadang-kadang tangis itu perlu Nay, buat ngebersihin mata. Tapi kalau nangis melulu ya bukannya matamu yang bersih. Sama alis-alisnya sekalian mungkin,” kata Lani, yang dengan setia duduk diam di sebelah Naya, “Mau diputerin DVD yang mana lagi?”

“Bentar kali Lan, air mataku belum ngumpul lagi nih,” jawab Naya dengan sesenggukan.

“Kamu nonton DVD Korea cuma buat nangis? Kamu itu memang pengen nangis kan? Film Korea ini cuma buat pemicu biar kamu nggak kelihatan nangis tanpa sebab?” selidik Lani.

“Stopppppp…” tangis Naya kembali meledak, “Huaaaaa…”

Lani tampak merasa bersalah, sepertinya dia terlalu keras dengan temannya yang masih labil ini, “Sorry Nay.. Nggak maksud…”

“Oke..,” Naya berhenti sebentar mencari tisu, “kamu harus paham Lan.”

“Paham apa?”

“Melupakan itu nggak mudah. Apalagi dengan hati terluka.”

“Oke Nay, aku paham. Tapi apa mesti begini terus. Poconggg saja udah menggalakkan gerakan move on, masak kamu masih diam bergalau begini? Kapan majunya kamu Nay?”

“Nggak mudah.. nggak mudah.. ” rapal Naya sambil menggeleng.

“Nggak mudah, tapi kamu harus move on kan Nay…” Lani mencoba agak sabar menghadapi penggalauan teman baiknya sejak sama-sama ngekos ini.

“Mungkin… mungkin.. aku trauma Lan…”

“Hahhhh? Kamu trauma sama cowok?”

“Maybe…”

“Gilaaaa.. Ini namanya menantang ketetapan duniawi. Sebenci-bencinya kamu dengan dia. Seberapapun luka di hati kamu, ya jangan terus trauma sama cowok! Jangan-jangan nanti kamu suka sama aku lagi.. Hiiiiii….”

Dan sebuah bantal dilempar.

“Pokoknya aku kudu jauh-jauh dari kamu kalo begini,” lanjut Lani.

Kali ini guling yang dilempar.

“Ini berbahaya…,” Lani tak berhenti berbicara.

Lemari melayang.

Hening.

“Nay, aku tahu sakit. Mungkin Mario membuat luka di hati kamu. Mungkin juga kamu trauma. Aku tahu Nay. Tapi ada kalanya trauma nggak selalu soal luka. Trauma ini bisa jadi alasan utama kamu untuk move on. Lupakan Mario! Dia udah nyakitin kamu. Biarkan luka kamu ditutup oleh yang lain Nay.”

“I need to move on, Lan?”

“Tentu… Aku nggak mau kamu jadi lesbi. Ngeri aku Nay.”

Kali ini Naya melempar sepeda motor.

“Kamu wanita kuat Nay. Aku yakin kamu pasti bisa. Sip?”

Naya tampak mulai kuat. Air matanya mengering. Entah mengering karena tisu atau memang air matanya sudah habis atau karena proses produksi air matanya dihentikan gara-gara sweeping.

“Sipppp Lan. Aku tahu kamu teman yang paling baekkkk…”

“Nah, gitu baru teman! Asikkk.. Nggak jadi dilesbiin sama Naya.. hahahaha..”

“Itu truk tronton di depan mau tak lempar sekalian, Lan?”

“Ampun.. hehehe.. Okehhh.. Aku pulang dulu ya Nay! Jangan lanjut nonton dulu, nanti banjir ini kamar. Kan aku yang repot kalau kamu minta tolong ngepel. Air mata itu agak lengket-lengket gimana kalau banjir.”

“Nggak segitunya kaleeeee.. Sipp.. thanks ya Lan.”

“You are welcome Nay.”

Lani menutup pintu. Di balik pintu, dia meninggalkan sahabatnya, Naya yang barusan terluka ditinggal pacar.

Lakukanlah sampai engkau puas. Cari saja apa yang hatimu mau. Sampai kapanpun aku slalu mencoba untuk mengerti. Teruskanlah hingga engkau jera. Dustai dan khianati lukai hatiku. Meski lautan air mataku mengering. Kucoba tetap…..

“Ya sayang?” Lani mengangkat handphone-nya. Hanya ada 1 orang dengan ringtone ini.

“Lagi dimana Lani sayang? Jadi nonton?”

“Jadi dong! Nanti ketemuan disana aja ya. Kamu beli tiketnya dulu.. hehe…”

“Oke.. oke.. Sip.. Aku tunggu. Take Care. Love you Lani.”

“Love you too Mario.”

 

Teman?

“Ran, Mily itu pacarmu?” tanya Yana, suatu kali.

“Heh? Pacar? Dari mana ceritanya? Kita itu hanya berteman kali bro.”

“Tapi kok kalian sepertinya dekat sekali?”

“Ah, itu perasaan dek Yana saja. Aku sama Mily nggak pergi makan tiap hari, nggak pernah apel-mengapeli, nggak pernah telpon-telponan, nggak setiap hari Whatsapp-an. Dari mana status pacar masbro?”

“Yah, tampak di mata saja. Setidaknya,pasti ada perasaan.”

“Nonsense…”

Dan hening.

Rana dan Mily. Tidaklah aneh memberi predikat mereka teman. Tidak pula luar biasa menyebut mereka, lebih dari sekadar teman. Karena semua orang boleh berpendapat, karena hak berpendapat itu dijamin di negeri ini. Yang tidak dijamin itu hak untuk berdiri di halte bus untuk kemudian bisa selamat sampai naik bus yang ditunggu.

“Cek.. cek…” Rana mengetik sebuah pesan via Whatsapp.

Tak berbalas.

“PING!”

Masih tak berbalas.

“PING!”

“Yooooooo…” Sebuah balasan dari Mily The Galauers

“Sombong…”

“Yo ben.. Ngopo?”

“Ora popo.. Tadi ada yang bilang kita pacaran! Wkwkwkwk..”

“Huuuuu.. Wah, aku dipitnah.. aku dipitnah..”

“Lha njuk?”

“Pitnah kan lebih kejam daripada demo.. Ihiks..”

“Dasar esmud galau! Makanya cepet cari pacar sono.. Buat obat galau!”

“Dasar esmud galau! Makanya cepet cari pacar sono.. Buat obat galau!”

“Jiahhh.. ngopi.. ngopi.. ngopi yuk…”

“Hayukkkk… kapan? kemarin?”

“Abad depan. Huhhhhhhh.. Ayo tak jemput.”

“Oke.. oye.. Mari…”

Dua gelas plastik sudah berdiri manis di meja. Satu gelas Caramel Machiato, dan satu gelas Java Chip. Keduanya berdiri tegar di atas meja, diantara dua insan, Rana dan Mily.

“Jadi siapa ya bilang kita pacaran?” tanya Mily, membuka pembicaraan.

“Tuhhh.. si Yana. Ora cetho kok.. hahaha..”

“Hahaha.. memang pancen ora cetho..”

Kedua insan ini kemudian bercengkerama ngalor ngidul. Setiap sedotan kopi yang masuk ke dalam kerongkongan berbuah sebuah topik menarik. Mulai dari bincang novel, bincang adik, bincang bintang, sampai ke bir bincang.

“Jadi sebenarnya gimana?” tanya Mily, ketika gelak tawa perbincangan mereda.

“Opo?”

“Ya kita ini emangnya gimana? Kan ora cetho.. hahaha…”

“Yah, kan emang kita berteman to?”

“Teman?” tanya Mily dengan intonasi yang 180 derajat berbeda dari gelak tawanya barusan.

“Yah.. enaknya kita berteman ajalah.. lebih asyik, tanpa beban, tanpa berharap, tanpa sakit hati.. Sip?”

“Jossss…”

Sedotan kopi dihentikan, karena memang sudah habis. Kedua gelas itu ditinggalkan dalam keadaan diam, meski keduanya telah menjadi saksi dua tetes air mata Mily, yang tidak sempat dilihat oleh Rana.

Ya, kita berteman aja

 

Mari Menari

Aku menari dengan suara yang menyentuh hidupku
Aku setengah gila dan bunuh diri
Memainkan gitar dan berusaha untuk mengeluarkan cairan
Tanpa payung

Kamu menari begitu halus dan sesuatu yang berbeda
Itu akan instingmu
Aku bernyanyi di bawah lampu jalan
Kamu di tempat yang indah

Namun kakek pernah mengatakan
Itu dua hal yang berbeda
Kamu bisa meninggalkan bentuk
Dua pertandingan besar
menari denganku
Hanya berdansa denganku
Hati ke hati
Paru-paru kita
Abadi
menari denganku
Hanya berdansa denganku
Itu bukan situasi
Tapi hati
Siapa yang memutuskan jalan

Kamu sehalus porselen
Renda di tempat tidurmu
Aku ada untuk membuat lebih besar
Apa seperti yang aku rasa
Bagiku itu masih yang pertama
Menjadi anjing liar
Memukul keras di spatbor
Untuk membuka lubang
Namun kakek mengatakan

Itu dua hal yang berbeda
Kamu dapat meninggalkan bentuk
Dua pertandingan besar
Menari denganku
Hanya berdansa denganku
Hati ke hati
Paru-paru kita
Abadi
Menari denganku
Hanya berdansa denganku
Itu bukan situasi
Tapi hati
Siapa yang memutuskan jalan
menari denganku
Hanya berdansa denganku
Hati ke hati
Paru-paru kita
Abadi