Halo Paktuo, bagaimana perjalanan menuju surga? Lancar, kan? Pastinya lancar, dong. Semua orang yang kenal Paktuo pasti meyakini itu. Saya sedang antre BPJS di PGI Cikini kala Cici memberi kabar bahwa Paktuo sudah nggak ada. Sumpah, ingin menangis di tempat rasanya. Kita baru ketemu tanggal 11 Juli yang lalu, lho. Kita juga saling berkata, “Nanti kan ketemu lagi…”
Tapi kok jadinya begini, Paktuo?
Ada banyak hal yang tidak saya ketahui tentang Paktuo, sebagaimana abang-abang, kakak, dan terutama Petra mengetahuinya. Ya bagaimana, kita ketemu tidak cukup intensif dalam durasi yang begitu lama, tapi perjalanan waktu membawa kita kepada diskusi-diskusi hangat. Ah, paling senang saya melayani diskusi dengan seorang old man yang penuh ide-ide perubahan. Setidak-tidaknya bisa jadi bahan untuk nakal dalam tulisan.
Sebelum semuanya seperti sekarang ini, Paktuo ada kala saya kecil. Yha, dari 1987 sampai 1993, jelas sekali memori itu dalam kepala saya. Paktuo adalah wali baptis saya. Tentu memilih wali baptis tidaklah sembarangan. Sebagaimana saya memilih Paklek Beny sebagai wali baptis Kristofer juga sangat dipertimbangkan. Sebagai sosok kakak yang tersedia di Bukittinggi kala itu, maka pilihannya ya pasti Paktuo.
Sejak lahir sampai 1993, rumah Paktuo adalah peraduan. Tempat bermain bersama abang, kakak, dan kemudian Petra. Saya masih merekam benar saat-saat Paktuo, Maktuo, dan anak-anak yang tersisa meninggalkan rumah yang kini jadi toko CU itu. Foto-foto pada saat-saat akhir juga masih ada. Ditarik mundur lagi, foto saya di depan Hardtop juga adalah salah satu foto legendaris saya.
Saya masih duduk di kelas 2–kalau tidak salah–kala Paktuo pindah. Dulu happy benar saya punya Paktuo yang jadi kepala sekolah. Punya Paktuo yang sama-sama dengan bapak saya merintis Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebuah partai yang tinggal sejarah. Faktanya, pemilu berikutnya, kooptasi Pak Jenderal menjadikan bapak saya kuning, maklum PNS.
Begitu Paktuo pergi, kita kan tidak pernah lagi bersua hingga tahun 1997. Itu juga statusnya mampir sebentar. Hingga kemudian di kejauhan saya mendengar kabar tentang aneka peristiwa yang ada dalam keluarga. Operasi jantung, operasi tumor, dan lainnya. Siapalah saya bisa mampir kala itu?
Rasanya kita baru bersua lagi tahun 2008 dan sesudah itu intensitasnya jadi begitu kerap. Tahun 2008 saya muncul di Bandung menunggui si Daniel lomba musik. Tahun 2009 saya mampir waktu mau interview di Sanbe. Sesudahnya, sampai tahun 2012 kita kembali tidak bersua.
Kepindahan saya ke Cikarang memang memudahkan saya main ke Bandung. Salah satu kunjungan justru terjadi kala Mbah Bruder meninggal dan Paktuo serta Maktuo hadir dalam misa itu. Saya sendiri akhirnya numpang nginap untuk kemudian besok paginya diantarkan mencari bis di Pintu Tol Pasir Koja. Ya, diantarkan sampai saya naik bis. Sampai nggak enak rasanya kala itu.
Pada akhirnya, kita jadi sering berdiskusi bersamaan dengan tahun politik, 2014. Saya dapat pacar orang Cimahi dan setiap kali ngapel saya nginapnya di rumah Pharmindo. Jadilah kita sering ngobrol.
Beberapa ide penting dari Paktuo yang saya rekam adalah soal revolusi mental. Sayang, Paktuo, oleh konsultannya revolusi mental dipersempit jadi kerja keras, etos kerja, dan gotong royong. Diskusi kita tentang orang mengantre, kemacetan, ketertiban masyarakat yang sempat bikin kita berharap pada konsep revolusi mental jadi nggak masuk. Saya ingat sekali pendapat Paktuo, bahwa dalam memajukan bangsa ini, yang kita perlukan adalah perubahan mentalitas.
Yang kedua dan selalu kita diskusikan adalah tentang Jokowi yang kadang-kadang meluber sampai Jonru dan Denny Siregar. Saya kaget kalau Paktuo menyebut soal Jonru, junjungan masyarakat Mojok. Bagaimana mungkin orang dengan pemikiran seperti Paktuo mengikuti fanspage Jonru?
“Saya sih nggak baca. Tapi saya baca melalui Denny,” ujar Paktuo.
Baiklah, sebagai salah satu founder dan tokoh PDI di Bukittinggi, saya yakin soal politik nggak akan lepas dari pemikiran Paktuo. Dan saya nggak bisa melarang siapapun membaca dua akun yang tidak cocok dengan selera saya itu.
Kita juga selalu berdiskusi tentang pentingnya Balai POM ada di setiap kabupaten/kota. Bagaimana pengawasan orang jualan es depan rumah bisa optimal jika Balai POM hanya ada di ibukota provinsi? Kita belum sempat cerita lagi soal itu, Paktuo. Saya padahal punya banyak informasi baru soal itu. Tapi saya mau meyakinkan, perkembangan yang ada senada dengan pemikiran Paktuo.
Paktuo juga rela menjadi wali nikah saya. Sesudah sebelumnya jadi wali nikah bapak-mamak saya. Kemudian juga jadi wali nikah adik saya. Juga menyirami saya sebelum menikah, dan menyirami istri saya saat mitoni. Sedemikian pentingnya value Paktuo bagi keluarga kami. Dan sejujurnya, saya yakin Bapak saya sangat kehilangan teman diskusi terbaik sekelas Paktuo. Tangisan Bapak di depan peti bahkan setara dengan tangisnya kala ditinggal orangtuanya sendiri.
Kini, setiap kali saya melangkah keluar rumah yang terbayang adalah pertemuan kita yang terakhir kali. Ya, agak tidak biasa saya berangkat nelat, 5.30 masih di rumah. Dalam posisi belum pakai baju, tetiba pintu saya diketuk disertai suara yang tidak asing. Saya buru-buru pakai baju dan dengan hanya dua kancing atas yang terkait, saya buka pintu.
Ada Paktuo dan Maktuo.
“Lho? Lagi nginap di rumah Abang?”
“Iya, soalnya mau ke Harkit. Habis itu ke BSD.”
“Dikasih tahu Derrel kesininya,” ujar Paktuo.
“Ya sudah, ya. Nanti kan ketemu lagi…”
Pada akhirnya kita memang ketemu lagi, Paktuo, untuk terakhir kalinya. Bukan di rumah, tapi di rumah duka. Tanpa diskusi seperti biasanya karena Paktuo sudah kaku dan diam di dalam peti putih itu. Yang penting, saya masih melihat senyum di bibir Paktuo.
Selamat jalan, bapak baptis saya. Selamat jalan, wali nikah saya. Selamat jalan, role model saya, salah satu manusia terbaik yang pernah saya kenal. Semoga kelak kita bisa berdiskusi lagi sambil minum teh buatan Maktuo di Firdaus ya, Paktuo. Oh, iya, titip salam juga buat Mbah Kakung. Selamat berbahagia bersama orang-orang baik di alam sana.
2 thoughts on “Selamat Jalan, Paktuo!”