Bagi yang sering baca blog saya pasti ingat bahwa di salah satu posting, saya pernah bercerita bahwa seterkenal apapun Raditya Dika dengan buku dan film-filmnya, tetap ada ibu-ibu di Pejaten Village yang nggak ngeh dia itu siapa. Ceritanya ketika saya dan kawan-kawan penulis GagasMedia Group lainnya diundang nonton Manusia Setengah Salmon. Pas Raditya Dika sedang di panggung dengan muka kucelnya, tetiba ada ibu-ibu lewat dan bertanya. “itu siapa?”
“Itu Raditya Dika, bu,” jawab saya.
“Siapa dia?”
“Artis.”
“Kok saya nggak kenal?”
*hening*
Oke, saya mungkin salah sebut, karena bagaimanapun Raditya Dika tetaplah seorang penulis. Dan bersyukur juga saya jadi penulis di Bukune, yang doyan membekali penulisnya dengan ilmu, termasuk beberapa kali sesi bersama Raditya Dika. Salah satu yang saya ikuti adalah sarapan bersama yang diadakan ketika GagasMedia Group mengadakan #KumpulPenulisPembaca2014. Salah satu topiknya saat itu, tentu saja, buku Koala Kumal ini.
Raditya Dika memang tidak menawarkan hal yang sungguh-sungguh baru. Dia berkali-kali menyebut soal kegelisahan dan komedi dengan hati. Selalu dan selalu itu. Makanya, saya yang masih belajar ini, kemudian merelakan hati bertarung mati-matian di belikoalakumal.com untuk PO dan gagal dapat kaos. Memang hanya penulis sekaliber Raditya Dika-lah yang bisa bikin pengelola website harus begadang nambah kapasitas server, di saat Bang Rhoma melarang untuk begadang.
So, ketika buku yang diperebutkan secara berjamaah itu sampai ke pangkuan, apakah sesuai dengan pengorbanannya? Mari kita kulik.
Seperti yang pernah saya perbicangkan dengan Fial, bahwa premis dalam menulis personal literature itu tidak pernah enteng. Beda dengan novel-novel komedi yang boleh dibilang premisnya sepele. Coba lihat premis di buku-bukunya Alitt, tentang hubungan, tentang kuliah, tidak pernah ringan. Pun dengan yang digarap oleh Raditya Dika dalam buku Koala Komal ini. Bahkan, untuk menyarikan premisnya, saya harus menunggu sampai bagian akhir buku. Berbeda dengan buku-buku lainnya ketika premis itu bisa ditangkap dari 1-2 cerita, kali ini premis itu justru ketemu karena sesuatu yang benar-benar tertulis, hingga kemudian saya bisa bilang, “Oalah…”. Iya, penarikan kesimpulan soal kenapa Koala, itu berbeda dengan cara menarik kesimpulan ‘kenapa Marmut’ dan ‘kenapa Salmon’. Bingung? Baca saja sendiri.
Secara konten nyaris tidak ada yang baru dengan Koala Komal. Raditya Dika juga bilang begitu waktu saya asyik mamam omelet pas di Promenade, memang tidak ada yang sungguh-sungguh baru. Buku ini kembali berisi pengalaman sehari-hari yang dikontemplasikan dan dituliskan kembali secara komedi. Kita juga menemukan model yang saya, setidaknya di Marmut Merah Jambu dan Manusia Setengah Salmon. Namun, tetap saja setiap pengalaman itu menarik, apalagi jika diceritakan secara tepat. So, buat yang penasaran, ya monggo dibaca sendiri.
Kalau mengacu pada bab terakhir, kiranya buku ini sebenarnya adalah sesuatu yang lepas dan baru dijahit pada saat-saat akhir. Makanya, persis seperti yang tertulis di bagian depan, membaca buku ini tidak harus dari depan, dari tengah atau dari belakang juga boleh, asal jangan dari Hongkong.
Cerita-cerita perihal persahabatan kembali diangkat dalam porsi yang tampaknya melebihi buku-buku yang lain, tentu saja berdampingan dengan kisah cinta, putus, dan galau. Plus, kisah LB. Sesungguhnya ini bagian yang lucu dari Koala Kumal. Must read!
Yah, menulis review soal PeLit ini memang enak-enak nggak. Enak karena nggak ribet harus mikirin spoiler atau nggak. Nggak karena kita nggak bisa menceritakan isi buku bahkan secara garis besar sekalipun, karena memang lepas dan Koala-lah yang menyatukannya. Oh, kenapa Koala? Sedikit spoiler saja, gambar Koala yang ada di bagian awal posting ini adalah gambar yang menjadi dasar buku ini dijuduli Koala.
Pada prinsipnya buku ini tetap memuat kualitas dari seorang Raditya Dika, namun menurut saya tidak mampu mengimbangi ekspektasi orang, terutama setelah Marmut Merah Jambu. Entah kenapa, Koala Kumal bagi saya mengimbangi Manusia Setengah Salmon dalam hal kalah pamor sama MMJ. Sekali lagi, kualitas Raditya Dika-nya tetap, tapi karena saya menggunakan MMJ sebagai standar, maka ekspektasi saya terhadap Koala Kumal jadi tidak tercapai. Tapi tentu saja saya tetap belajar perihal menulis komedi yang menggunakan hati dari buku ini. Sebenarnya saya sih berharap ketika film Marmut Merah Jambu sudah cukup pintar mengambil sudut pandang–bandingkan dengan Manusia Setengah Salmon–maka akan ada buku yang berbeda dari Raditya Dika. Cuma, mungkin ekspektasi saya yang ketinggian.
Reviewnya absurd? Ya, makanya baca sendiri bukunya, tersedia 17 Januari 2015 di toko buku terdekat.
Paaraahh.. udah review ajaa.. :v
LikeLike
memang keren sih buku nya
LikeLike
Yup. Keren.
LikeLike