Nulis Komedi, Yuk!

Beberapa hari yang lalu, saya dapat informasi bahwa sebuah naskah komedi saya diterima di sebuah antologi. Well, dengan demikian saya segera menyongsong antologi mayor ke-4, sesudah “Kebelet Kawin, Mak!”, “Radio Galau FM Fans Stories”, dan “Curhat LDR”. Sebuah pencapaian yang sebenarnya terlambat jika menilik ke usia saya yang sudah kepala lima ini. Sebentar lagi sudah punya cucu.

*itu dusta*

*pacar aja belum ada*

Dari 3 antologi yang sudah ada, 2 diantaranya bergenre komedi. Pada akhirnya saya berpikir, mungkin rejeki saya memang di genre ini. Soalnya kalau mau dirunut-runut dari awal saya menulis (kembali), sama sekali nggak ada niatan untuk menyentuh tulisan komedi. Silakan klik posting-posting saya di awal mula kebangkitan blog ini, di 2011, nggak ada yang lucu, atau bahkan sekadar niat ngelucu. Pun dengan antologi-antologi indie yang saya ikuti di tahun 2011 hingga awal 2012, juga tidak ada yang beraroma komedi.

Tersebutlah lomba cerpen dari Blogfam yang mewajibkan sebuah tulisan yang bikin ngakak-ngikik-ngukuk, yang lantas bikin saya menulis komedi untuk pertama kalinya. Itu tahun 2012 lho, jadi ya belum lama-lama banget. Sulit? Tentu saja. Pada akhirnya, sesudah petualangan menerjemahkan sebuah kejadian bodoh milik sendiri, saya akhirnya menuntaskan cerpen berjudul “Jangan Main Api, Kalau Nggak Mau Kesiram”, yang diedit menjadi “Jangan Main Api”. Naskah ini kemudian diterima di buku “Kebelet Kawin, Mak!” dan jadi antologi mayor pertama saya.

Begitulah. Jalan nasib bergulir hingga kemudian muncul pula buku “Radio Galau FM Fans Stories” yang memuat cerpen “Foto Dalam Dompet” yang genrenya juga komedi. Dan ketika Oom Alfa lantas terbit di genre komedi, saya mulai mencoba memahami bahwa agaknya rezeki saya memang di genre ini, bukan di romance yang kalau dirunut hikayat penolakannya sungguh bikin pilu hati. Uhuk.

Nah, sebagai orang yang baru di dunia tulis menulis komedi, saya kepengen mengajak kalian semua yang belum masuk ke ranah ini, untuk mencobanya juga. Kenapa? Karena ternyata saya mendapat faedah yang lumayan baik dari sekadar menulis komedi ini. Apa aja, sih?

Jeli Mencerna Peristiwa

Raditya Dika pernah bilang bahwa sebuah karya itu sebaiknya menjawab keresahan hati, yang kemudian boleh jadi sama dengan keresahan hati orang banyak. Dan disitulah poinnya komedi. Ketika misalnya seorang Alitt Susanto menciptakan tulisan-tulisan soal mahasiswa abadi, ada segerombolan mahasiswa lain yang ngakak karena merasakan hal yang sama.

Nah, poin mencipta komedinya adalah kemampuan mencerna peristiwa-peristiwa kecil yang ada di sekitar kita. Ketika saya belum membaca tulisan Radit, Alit, dan sederet penulis komedi lain, sebuah peristiwa mungkin tampak biasa bagi saya. Tapi menjadi beda ketika mindset komedi mulai ada dalam benak saya.

Sebagai contoh, kemaren saya melatih sebuah lagu berjudul “Kasih”. Lagu ini kece minta ampun dengan lirik:

Kasih itu sabar murah hati, percaya, tak angkuh, dan tak dengki
Kasih itu tak memegahkan diri, kasih itu kekal serta abadi

Itu asli kutipan dalam kitab suci lho! Kalau dibaca dengan perspektif biasa, ya kita hanya akan menerima kata-kata itu seperti biasa juga. Tapi saya mencoba berpikir komedi. Bagaimana caranya?

Ganti saja kata ‘Kasih’ dengan ‘Jomblo’. Dan, voila, hasilnya beda.

Jomblo itu sabar murah hati, percaya, tak angkuh dan tak dengki
Jomblo itu tak memegahkan diri, jomblo itu kekal serta abadi

Perihal ini saya jadikan status di FB dan yang ngelike plus komen banyak. Padahal di FB saya ada sederet ahli agama, dan mereka tidak komplain sama sekali. Jadi saya sudah cukup merasa aman. Toh saya sama sekali tidak berniat menistakan agama. Cukup di tivi saja saya lihat kasus penistaan agama.

Hal yang sama juga berlaku ketika kemaren saya makan pecel lele. Saya biasa makan kesana karena muka penjualnya ngenes. Nah, beberapa jam sebelumnya, saya ngobrol dengan teman kantor soal istri muda nan cantik jelita milik seorang supplier tua bangka. Dua peristiwa yang nggak nyambung, tapi kalau dilihat dari konsep komedi, jadinya:

“Saya biasa makan disini karena muka penjualnya ngenes. Eh tapi istrinya cantik. Fix besok nggak makan disini lagi. #jomblosirik.”

Lucu? Buat saya, sih, iya.

Menggunakan perspektif komedi akan bikin kita jeli melihat hal-hal sepele bin biasa di sekitar. Sayapun masih terus menerus mengasah soal ini agar bisa menciptakan komedi yang bisa diterima orang banyak. Soalnya, nih, kalau cuma sekadar humor apoteker, banyak yang lucu tapi tidak menjangkau orang banyak. Misal saya menyebut “ngemut suppo” dalam konteks tertentu bakal lucu, tapi dalam banyak pengertian, orang akan bertanya-tanya. Itulah gunanya melihat lekat-lekat ke dunia sekitar.

Lebih Menikmati Hidup

Ini poin terbesar yang bikin menulis komedi menjadi penting bagi hidup saya. Kalau boleh dirunut, saya adalah seorang sentimentil-melankolis yang amat-sangat-mudah tersinggung, dulunya. Saya bahkan pernah kehilangan teman hanya gegara ketersinggungan ini. Untunglah, saya kemudian masuk ke SMA yang isinya laki semua–dimana hinaan dan cercaannya kejam, bung!–plus ketemu anak-anak bermulut kotor di UKF Dolanz-Dolanz.

Ibarat penyakit dan sistem imun, paparan berkali-kali memang mampu bikin saya menjadi orang yang mulai tidak mudah tersinggung. Tapi tetap saja mudah tersinggung itu nggak enak. Sumpah deh. Hingga akhirnya saya baca banyak blog soal kejadian konyol seseorang. Ya, Raditya Dika mengutip pernyataan seseorang (yang saya lupa), dan disampaikan di sebuah workshop di Palembang, bahwa komedi adalah tragedi plus waktu. Disinilah saya mulai berpikir lebih lanjut dan menemukan bahwa sebenarnya hal-hal yang bikin tersinggung itu, sebenarnya bisa ditertawakan.

Kayak ketika kemaren saya disapa “ISS” sama supplier. Sudah layak dan sepantasnya saya tersinggung dan marah besar. Tapi pada akhirnya saya memilih untuk menertawakannya saja, lalu menuliskannya. Rasanya? Jauh lebih enak di hati.

OOM ALFA-pun kalau dibaca-baca sebenarnya adalah bagian dari masa kelam kehidupan saya. Tapi saya mencoba menuliskannya kembali dengan anggapan waktu bisa mengubahnya menjadi komedi. Dan untunglah, pada akhirnya selesai dan saya sendiri cukup puas pada hasilnya.

Bikin Orang Senyum Itu Amal, Lho!

Salah satu cara saya mengetes sebuah kalimat lucu atau tidak adalah dengan update status FB. Ya, mau bagaimana lagi, pergaulan saya kan usia dewasa yang nggak ngerti Twitter. Saya gaulnya dengan emak-emak yang kalau update status sepanjang jalan kenangan. Nggak apa-apa, deh.

Seperti soal jomblo menjadi kasih, atau juga soal pecel lele tadi, saya sungguh senang dengan responnya. Apalagi ketika ada yang mengapresiasi:

“Statusmu lucu, Mas.”
“Lanjutkan bro! Semoga jomblo terus!” <- Kamfret -____-”

Atau ketika ketemu teman di kantin dan sama-sama menertawakan kalimat-kalimat ngetes lucu yang saya tulis di linimasa itu, rasanya sama saja. Iya, senang karena kalimat itu mampu bikin orang tersenyum, kasih komen, kasih jempol, atau apapun yang berupa respon balik.

Sekarang, saya selalu menganggap update status sebagai bagian dari ngetes kalimat komedi. Dan bagian dari upaya manusia berlumur dosa untuk menciptakan amal baik. Yah, namanya juga usaha. Kadang ada aja yang sok perhatian dengan aneka status jomblo saya bahkan termasuk MENAWAKAN ADEK IPARNYA SENDIRI. Ini, sih, ekses. Akan selalu ada pada setiap niat, jadi mari diabaikan saja.

Menjadi Terkenal!

Siapa tidak kenal Raditya Dika? Mau jawab nggak ada? Enak aja. Ada lho. Waktu saya ikutan meet and greet di Pejaten Village, tiba-tiba saya didatangi ibu-ibu.

“Eh, Mas. Itu siapa sih?” katanya sambil menunjuk ke Radit yang lagi foto-foto di depan panggung.

“Artis, Bu.”

“Kok saya nggak kenal?”

*garuk-garuk make up si ibu yang mirip Ratu Atut*

Yap. Radit terkenal dari tulisan komedinya. Mari kita juga menghitung Alitt, Adhitya Mulya, dokter Ferdi Riva Hamzah, Dewi ‘Dedew’ Rieka, Indra Widjaya, hingga Kevin Anggara. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ketenaran karena menulis komedi.

Well, tentu saja, saya tidak merekomendasikan bagian ini sebagai alasan utama untuk menulis komedi. Tapi sebagian orang kan ingin terkenal, dan ini adalah salah satu jalannya saja. Syarat dan ketentuan berlaku. Resiko ditanggung penumpang. Saya sendiri cukup puas dengan keberhasilan saya menikmati hidup dengan menulis komedi.

Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba menulis komedi?

Yuk!

Advertisement

15 thoughts on “Nulis Komedi, Yuk!”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.