God, What Do You Want Me To Do?

“So he (Saul), trembling and astonished, said, ‘Lord, what do You want me to do?” (Kisah Para Rasul 9:6).

Setengah mati saya mencari padanan kalimat Saulus di atas dalam Bahasa Indonesia, tapi zonk. Alkitab versi Indonesia tidak memuat percakapan itu. Jadi ceritanya, dalam perjalanan ke Damsyik, Saulus tetiba melihat cahaya memancar dari langit dan mengelilingi dia (ayat 3). Saulus lalu jatuh dan kemudian terdengar suara, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”, itu di ayat 4. Pada ayat 5, Saulus bertanya, “Siapakah Engkau, Tuhan?”, yang kemudian dijawab, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu”. Menarik bahwa di ayat 6, versi Inggris menulis kalimat yang membuka tulisan ini dilanjutkan dengan arahan kepada Saulus untuk bangun dan pergi ke kota, namun versi Indonesia menghabisi kalimat penting dari Saulus itu tadi. Yeah! Kalau diperdebatkan bisa berabe. Jadi baiklah kita kembali ke topik karena fokusnya bukan itu.

12196103_10207567568804248_151758893460368410_n

Fokus saya adalah kalimat Saulus tadi, yang kalau diterjemahkan bebas, “Tuhan, apa yang Engkau kehendaki untuk aku lakukan?”. Atau kalau kalau terlalu bebas bisa dipertanyakan sebagai, “Sakjane aku ki dikon ngopo, Gusti?

Sejujurnya, pertanyaan semacam itu terus menerus terjadi dalam karier saya. Bahkan mungkin kalau mau dirunut ya dalam hidup saya pada umumnya. Passion saya jelas menulis, namun entah mengapa saya gagal untuk menjadi penulis beneran. Selain karena sekarang dunia penerbitan cukup kejam untuk seorang penulis dengan ide yang kadang-kadang terlalu absurd seperti saya, namun karena faktanya saya tidak bisa bekerja tanpa ‘bos’. Ini memang kelemahan saya. Buktinya, dalam masa-masa pengangguran, nyaris tidak ada naskah yang selesai. Justru naskah OOM ALFA jadi ketika disambi persiapan audit ISO 22000:2005 di pabrik lama.

Diawali ketika saya kuliah, sebenarnya. Entah mikir apa saya waktu itu, masuklah saya ke Farmasi Klinis Komunitas. Waktu itu gambaran bekerja di Rumah Sakit tampak menarik. Namun rupanya tidak jadi menarik ketika saya melihat mayat di Rumah Sakit kala gempa Jogja 2006. Saya tidak siap untuk itu. Maka kemudian pindah jalurlah saya ke Industri, Industri Farmasi tepatnya. Well, salah satu alasan kenapa dulu saya FKK adalah ogah ngelab. Ketika akhirnya saya Praktek Kerja Lapangan di Bayer Cimanggis, saya masuk ke Quality Control. Beuh.

Untungnya saya masuk ke QC Kemas, tidak berhubungan dengan buret dan kuvet, tapi dengan kemasan. Rutinitas saya adalah di gudang. Dulu, saya sangat menikmati ketika berada di gudang. Namun melihat fakta bahwa gudang itu adalah tempat sepi yang kadang-kadang berbahaya kalau sendirian, saya membulatkan tekad untuk tidak mau bekerja di gudang. Di Bayer juga, sambil lihat-lihat, rasanya saya juga nggak bisa bekerja di Produksi karena mengoperasikan mesin cuci mahal saja saya keder, apalagi alat puluhan miliar.

Maka, datanglah masa mencari pekerjaan. Pertama kali di Medion, staf produksi, gagal. Ketiga, Anugrah Argon Medica, Apoteker Penanggung Jawab, gagal juga. Keempat, Sanbe Farma, Quality Assurance, gagal juga. Gagalnya bukan semata-mata gagal, sih. Untuk ketiga dan keempat lebih karena saya sudah berprogres bagus di nomor dua. Tempat yang akhirnya menerima saya sebagai staf PPIC. Disinilah pertanyaan Saulus itu akhirnya terus muncul secara berulang.

Ketika masuk, modal saya minim sekali, hanya modal gelar dan sedikit-sedikit Excel. Saya bisa jadi manusia di belakang layar komputer, itu sudah tampak menarik dan sesuai keinginan. Namun kemudian mulai tampak masalah-masalah. Salah satu yang bikin keder adalah masalah di Inventory Planning. Bagian yang mengurus Material Requirement Planning ini kan hobi berantem. Dengan Purchasing karena main maju mundur due date, dengan Produksi karena tetiba Production Planning menurunkan Work Order sementara barang belum ada, dengan Gudang juga jelas karena tempatnya sudah tidak cukup eh masih mendatangkan barang saja terus. Pada suatu masa ketika saya menikmati menjadi Export Import Planning Officer, saya berkata, “Nggak mau, ah, pegang inventory“.

Mimpi saja saya. Karena nggak sampai hitungan tahun, staf yang pegang inventory resign, kemudian penggantinya cuti lahiran. Pakbos dengan serta merta menunjuk saya sebagai Peelte Inventory Planning Officer. Bukan sembarang tunjuk, karena ketika saya ditunjuk posisinya sedang peralihan sistem enabler dan sedang kena CAPA audit Badan POM, walhasil total nilai inventory membludak. Kalau dihitung-hitung, nilainya setara dengan gaji saya jika hidup selama tiga periode dan selama tiga periode itu jadi PPIC terus dengan gaji yang setara. Ketika mendapati itu, saya bertanya, persis seperti Saulus, “God, what do you want me to do?

Ya sudahlah, saya kerjakan, dan syukurlah nilai inventory membaik sembari dibayangi mimpi Cefadroxil setiap hari, dihantui suara telepon manajer Gudang sehari enam kali, dibisik-bisiki sama manajer Finance tentang nilai persediaan. Ah! Saya tidak nyaman dengan pekerjaan itu, sungguh. Namun karena ada di depan mata, saya lalu menganggapnya proyek. Selesaikan, lalu keluar. Begitu. Karena jujur saja, saya nggak bisa memaksa orang (Purchasing) untuk main maju-majukan kedatangan barang. Saya nggak sudi mengakomodasi kenaikan forecast semena-mena dari Marketing, tapi bosnya sudi. Lah, susah toh. Maka kemudian ketika ada Plant baru di Cikarang, saya coba lompat. Lompatnya sesudah ditawari posisi Supply Chain Section Head, di tahun kedua saya menjadi staf PPIC. Naik satu, dan saya harus sudi mengakomodasi marketing? Nggak.Saya nggak nyari posisi, saya cari nyaman, pikir saya kala itu.

Bayangan saya, menjadi PPIC di Plant baru kan sama dengan membangun sistem. Toh saya berhasil dengan perubahan sistem yang ada dan baik juga jika diterapkan di Plant baru. Lagipula, dengan Plant baru, tantangan membuatnya establish bikin saya tertarik. Pindahlah saya tanpa tahu bahwa kemudian saya harus memegang sesuatu yang saya hindari ketika PKL dulu: Gudang.

Saya tidak hanya jadi PPIC di Plant baru ini, saya harus pegang gudang, mulai dari terima barang masuk sampai pengiriman. Wow! Nggak terbayangkan sama sekali ketika pindah, dan ketika kemudian tahu ada job itu, saya bertanya lagi seperti Saulus. Kenapa saya justru dihadapkan pada pekerjaan yang tidak saya sukai, lagi dan lagi. Kenapa?

Tiga tahun lamanya, ditunjang kompilasi yang berujung pergi, dan kemudian keinginan untuk memberi bakti lebih kenapa merah putih, saya bergerak dari pabrik ke ranah yang lain. Kali ini berhubungan dengan orang-orang yang menggunakan uang negara, jenis uang yang kalau dibelikan makanan, agak susah metabolismenya. Heu. Mepet-mepet hukum, pula. Padahal, berdekatan dengan hukum adalah hal yang tidak saya sukai, terutama sejak kena tilang di bunderan Tegalgede Cikarang. Oh, masuk ke tempat yang itu juga agak kecelakaan. Niat hati ingin jadi auditor yang lebih teknis karena toh pengalaman saya di pabrik itu lima tahun, dan saya punya trik yang saya yakini tidak banyak auditor pabrik tahu untuk diterapkan. Jadinya malah auditor keuangan. Bablas. Heuheu.

Ketika sadar kalau bablas, saya bertanya lagi, persis seperti ketika saya kejatuhan duren bernama Inventory Planning. Namun lagi-lagi saya coba jalani dan syukurlah saya mulai berhasil berdamai dengan keadaan. Saya mulai menikmati indahnya, mulai mengambil nilai plus dari setiap kegiatan yang saya lakukan, dan menikmati bahwa diri kita bisa memberikan nilai tambah bagi organisasi. Delapan kota sudah saya jalani dalam perdamaian itu, jumlah yang nggak mungkin akan kelakon kalau saya masih jadi PPIC. Agak beda dengan di pabrik yang dalam waktu singkat segala hal bisa dikondisikan dan dipetakan dengan jelas, pekerjaan di auditor ini semacam puzzle. Ketemunya sedikit demi sedikit, dan belakangan saya bahkan sudah berniat untuk memperdalam ilmu Manajemen Risiko karena saya melihat bahwa ternyata belum cukup banyak auditor yang memiliki kedalaman ilmu itu. Sempat hendak daftar beasiswa ke luar negeri pula, namun saya pending karena pengen kawin dulu.

Ketika saya sudah berdamai dengan keadaan, meski saya nggak bisa bilang ini adalah zona nyaman, tiba-tiba petir menyambar lagi. Muncul lagi situasi yang bikin saya bertanya, “God, what do you want me to do?“. Lagi dan lagi dan lagi, ternyata. Jujur, belakangan saya memang lepas dari aktivitas di Gereja. Kalau jarang berdoa, itu mah dari dulu banget. Tapi apa iya karena itu kemudian kondisi yang sama muncul lagi?

Sejujurnya, saya masih nggak habis pikir, kenapa semuanya ini terjadi, dan kenapa pula harus saya? Gampang sih membaliknya.Tuhan tinggal bilang, “kenapa tidak?”. Kalau yang lain saya masih berusaha untuk berdamai, lalu apakah kali ini saya harus berdamai juga, sementara terlalu banyak pertanyaan yang saya simpan? Kini, sambil menanyakan pertanyaan yang jadi judul tulisan ini, saya bahkan bertanya, “sebenarnya saya salah apa?”

Yah, begitulah.

One thought on “God, What Do You Want Me To Do?”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.