Kajian Manajemen Risiko Terhadap LDR

Minggu lalu saya habis ikutan training tentang Manajemen Risiko. Ini ilmu yang lagi ngehits banget di dunia manapun, kecuali di negara yang rakyatnya hobi ngeshare berita cuma dari baca judul doang, lalu maki-maki orang di Pesbuk–padahal kenal juga kagak. ISO paling umum, 9001:2008, sedang mengarah ke 9001:2015 dengan penekanan Manajemen Risiko. Jadi ke depan, nggak akan ada auditor internal kacrut sok galak yang kemudian menemukan sebuah form yang tidak ditandatangani, kemudian mengenakan klausul 4.2.2 dan 4.2.3 sebagai temuan. Yang ada, pendekatannya, ketika form tidak ditandatangani, risikonya apa? Nah, itu baru bener.

word-cloud-risk-management-related-items-32680353

Namun, kalau membahas Manajemen Risiko secara biasa-biasa saja, rasanya pasti ngantuk. Maka saya mencoba untuk memahami Manajemen Risiko dengan pendekatan LDR. Perkara mau pakai LDR dalam konteks Long Distance Relationship, atau Love Different Religion, atau Lelah Dikibulin Relationship, itu suka-suka saja ya.

Oke, sebenarnya risiko itu apa? Mengacu pada konteks Manajemen Risiko, definisi risiko adalah pengaruh ketidakpastian terhadap tujuan. Simpelnya, kamu ingin berangkat ke kampus naik sepeda. Apakah kemudian terlambat menjadi sebuah risiko? Jelas tidak, karena toh tujuan kamu tercapai. Yang disebut risiko adalah kalau tahu-tahu karena naik sepeda, kamu ketemu mantan yang dibonceng sama pacar terkini naik becak, terus kamu ikuti dan nggak jadi ke kampus. Itulah risiko, karena tujuan kamu ke kampus tidak tercapai.

Nah, bagaimana dengan LDR?

Begini. Sebagai manusia yang kodratnya diciptakan berpasang-pasangan, sebenarnya salah satu tujuan hidup manusia adalah memiliki keluarga. Sebagai bagian dari upaya untuk berkeluarga, ada yang disebut pendekatan atau lantas pacaran. Sayangnya, pacaran itu nggak selalu dekat. Kadang ada yang terpaksa ditinggal kerja sama pasangannya ke luar kota atau ditinggal sama pasangannya kuliah ke luar negeri, atau sama-sama kuliah ke luar negeri, tapi kok ya beda rumah ibadah (ups!). Baik LDR dalam konteks jarak maupun LDR dalam konteks Tuhan-memang-satu-kita-yang-tak-sama sebenarnya untuk memenuhi tujuan hidup manusia yang kalau diesensikan adalah “beranak cucu dan memenuhi muka bumi” itu.

So, tujuannya jelas, dan ketika kita berupaya berkeluarga dengan jalannya cari pacar dan kok ya LDR, maka LDR adalah risiko. Mudeng? Semoga mudeng.

Nah, ada 1 slide sebenarnya yang saya baca terus menerus ketika pelatihan kemaren, yakni strategi untuk menangani risiko. Ini karena dalam 1 gambar, semua aspek tercantum. Jadi, ternyata untuk mengelola risiko ada dua pendekatan utama, yakni TERIMA dan TOLAK. Sebenarnya ya sesederhana itu.

Kalau kita mengerti LDR sebagai risiko dan kita TERIMA, maka ada EMPAT cara untuk mengelolanya.

Pertama, MENAHAN dalam artian menjaga risiko itu untuk tidak berbahaya. Bagaimana caranya? Ya, salah satunya adalah dengan menahan diri ketika melihat orang lain cium-ciuman di depan mata sendiri, ketika menyaksikan orang lain peluk-pelukan di dalam KRL. Tahan saja, jangan sampai membuncah dan kemudian meledak. Untuk itu, penting bagi kaum LDR agar menetapkan level toleransi yang tinggi kepada orang-orang yang berkasih-kasihan di depan mata. Ya, toleransi dengan umat beragama lain itu penting, namun toleransi dengan orang yang berkasih-kasihan di depan mata juga sangat diperlukan.

Kedua, MENGURANGI, bisa juga menghilangkan. Yang semacam ini bisa berlaku bagi Love Different Religion. Ketika religion-nya different, menghilangkan si different itu dan menjadikannya same adalah bentuk upaya mengurangi risiko yang bisa bikin cita-cita berkeluarga dengan yang dicintai putus karena tidak mendapat restu dari Ayah, Bunda, Pakde, hingga Tulang Belulang. Kalau untuk LDR yang jarak, ya bisa saja jaraknya dikurangi. Kayak saya dulu pindah ke Cikarang supaya LDR-nya tidak nyeberang laut, eh malah putus dan sekarang saya malah LDR Beda Benua. Keren kan? Pokoknya harus keren.

Ketiga, MEMINDAHKAN. Ini kalau dianalogikan di PT jadi sederhana, tinggal cari pihak ketiga yang mau mengelola limbah, misalnya. Kalau dimasukkan ke dalam konteks LDR jatuhnya jadi bingung. Nah, karena bingung, mungkin cintanya bisa dipindahkan ke yang agamanya sama, atau yang rumahnya lebih dekat. Gitu? Loh?!

Keempat, MENGEKSPLOITASI. Hey! Risiko tidak selalu buruk, loh! Bagi risk taker, risiko itu justru dikembangkan ke level kompetitif yang lebih tinggi. Seperti yang saya lakukan di blog ini, ketika saya LDR Beda Benua saya umbar terus meski tampak mengenaskan, karena dengan begitu semakin banyak orang yang masuk ke blog ini untuk meludahi maupun menyetujui saya. Atau kemudian mengirimkan email penawaran review dengan kompensasi menarik. Lak malah bagus, toh? Kalau bagus, monggo dikirim email kerjasamanya. Azek.

Begitu kalau risiko LDR itu diterima. Kalau TOLAK? Lah yo lebih gampang lagi. Hindari. Hindari LDR. Kalau pacar pindah kerja ke kota lain, putuskan. Jadilah jomlo menahun dan berkerak yang mencari jalan untuk memenuhi tujuan hidup dengan perhitungan risiko yang berbeda.

Ya, karena pada prinsipnya, pencarian akan cinta itu adalah bukti bahwa hidup manusia memang tidak lepas dari risiko. Begitu bukan? Salam kecup-kecup-HP-ala-LDR!

Advertisement

5 thoughts on “Kajian Manajemen Risiko Terhadap LDR”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.