Adit tampak gundah, tangannya sesekali mampir ke kepala dan merusak tatanan rambutnya. Raut mukanya juga lesu. Betul-betul tanpa gairah sama sekali. Sendirian, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di taman belakang kampus.
Tiba-tiba kakinya seperti terantuk sesuatu.
“Asem!” teriaknya. Mahasiswa Jogja memang selalu punya cara untuk mengakomodasi umpatan sehingga tampak lebih halus.
Adit menunduk, memegangi kakinya yang hanya tertutup sepatu sandal. Bagaimanapun, itu sakit. Untunglah Adit tidak melihat adanya luka pada kakinya. Menyadari kakinya baik-baik saja, Adit penasaran pada benda yang mendadak mampir ke kakinya. Adit hobi jalan-jalan sendiri di taman belakang kampus dan paham setiap detail di tempat ini. Baginya, terantuk sesuatu di tempat yang sangat dikenal, adalah keanehan.
Raut muka gundah dan lesu segera bertambah ekspresi penasaran. Rasa itu muncul ketika Adit melihat sebuah kotak kayu kuno tergeletak manis ditutupi dedaunan.
“Sejak kapan ada barang begini disini?” gumam Adit sambil membersihkan kotak itu dari dedaunan. Tangannya menelusuri setiap bagian dari kotak kayu kuno dan mendapati sebuah buah gembok disana.
“Kotak itu akan menjawab mimpimu, anak muda.”
Adit kaget sejadi-jadinya melihat seorang pria berjenggot putih 1 meter sudah ada di hadapannya. Alih-alih bertanya lebih lanjut, Adit mengambil langkah seribu. Kabur.
Dengan nafas terengah-engah, Adit terkapar di Lorong Cinta yang terletak di tengah kampus. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang berharap pria berjenggot putih 1 meter itu tidak mengikutinya. Kampus di sore hari pada hari Minggu tentu saja sepi. Adit berada di area maha besar itu sendirian.
Ketika nafasnya mulai tertata rapi, Adit mengambil posisi duduk yang lebih nyaman, bersandar pada pilar Lorong Cinta. Tangannya menimang kotak kayu kuno dengan sebuah gembok. Pikirannya melayang pada perkataan pria berjenggot putih 1 meter.
“Kotak ini akan menjawab mimpimu!”
“Kudu dibuka kalau gitu,” kata Adit, tentu kepada dirinya sendiri, “Tapi piye?”
Adit membolak-balik kotak kayu kuno itu, berharap ada metode lain membuka kotak tersebut tanpa harus mendapatkan gemboknya. Lima belas menit dan puluhan kali bolak-balik, Adit berhenti pada keputusasaan.
“Dit!” Tiba-tiba Vita datang dan menepuk bahu Adit dari belakang.
“Eh!” Antara kaget, malu, senang, dan bingung, Adit kehilangan diksi.
“Ngapain di kampus minggu-minggu?” tanya Vita sambil melontarkan senyum manisnya.
Sebuah senyum yang menjadi mimpi Adit.
“Nggak apa-apa. Maklum lagi galau.”
“Pantes tak cari ke kos nggak ada. Aku mau balikin kunci lab nih,” ujar Vita sambil menjulurkan tangan putihnya yang bertaut serenteng kunci.
“Oke! Habis ini mau kemana, Vit?”
“Ya pulang kos lah. Kenapa?”
“Tunggu sebentar.”
Vita menatap bingung. Adit dengan tergesa-gesa mencoba satu persatu dari serenteng kunci yang diberikan Vita untuk membuka gembok kota kayu kuno yang ada di hadapannya.
“Kamu ngapain, Dit?”
Adit tidak menjawab, fokusnya tertuju sepenuhnya pada kotak kayu kuno dan mimpinya untuk memiliki senyum manis Vita.
“Yes!” teriak Adit. Kunci ke-17 alias percobaan terakhir dari serenteng kunci dari Vita berhasil membuka kotak kayu kuno itu. Vita semakin mengernyitkan dahinya, bingung. Adit semakin bersemangat membuka kotak itu.
“Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah. Jikalau mimpi itu harus dikejar, kejarlah. Jikalau mimpi itu butuh pengorbanan, berkorbanlah. Jikalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah.”
Adit terkesiap. Vita kebingungan. Dua fenomena makhluk hidup yang tampak absurd untuk terjadi pada saat yang sama.
“Kalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah,” bisik Adit.
“Ngomong apa, Dit?” tanya Vita heran.
“Aku sayang kamu.”
“Apa?”
“Aku sayang kamu, Vita.”
Lorong Cinta, Adit, Vita, dan sebuah ungkapan mimpi. Angin bertiup ringan menembus dedaunan, memberi kesejukan untuk sebuah penantian akan jawaban.
Aku menyunggingkan senyum termanis. Tangan dan mataku belum bisa lepas dari selembar kertas yang kupegang. Mataku mulai berkaca-kaca kala kembali memandangi judul yang tertera pada selembar kertas itu, JOMBLO BOX. Pikirku lantas melayang ke masa lampau.
“Cah, gawe film yuk!” kata Yo sambil tiduran di kasurku.
“Sok. Gawe tugas wae nggak kelar-kelar,” sergah Ola sambil tetap asyik main Snake.
“Hiburan, La. Mosok hidup dengan tugas terus,” ujar Yo membalas argumen Ola.
“Tapi boleh juga tuh. Dan, gawe skenario yo!” timpal Leon sambil tetap asyik memandangi layar monitor yang sedang beralih fungsi jadi televisi.
“Tenan yo! Ojo jadi isu tanpa konsep ini.”
“Justru kamu yang bikin konsepnya, Dan,” racau Yo di balik guling.
Dua bulir air mata menyelinap turun membasahi kulit wajah gelapku, seorang pria sentimentil. Rekaman percakapan asal muasal cerita yang barusan kubaca membawa kenanganku kembali ke masa silam, tepatnya tiga tahun yang lalu.
Film Jomblo Box itu tidaklah pernah menjadi realisasi. Bahkan naskahnya saja terselip manis di dalam tumpukan laporan praktikum di dalam kardus. Aku memang hobi menyimpan semua dokumen, meskipun pada kenyataannya sebagian besar adalah sampah. Setidaknya, ketika aku membongkar kamar, aku bisa sejenak tersenyum seperti ini. Konsekuensinya, kamarku menjadi laksana gudang atau mungkin tempat sampah.
Biarlah, nyatanya tiga sahabatku bisa dengan tenang beristirahat di ruangan 3 kali 3 meter ini. Kamar ini adalah peraduan dari empat orang yang berusaha memulai mimpi dengan langkah, persis seperti yang kutulis di naskah Jomblo Box. Meski cerita itu menjadi isu tanpa konsep, setidaknya aku berhasil menemukan sebuah frase yang menguatkan. “Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah” kemudian menempel manis di styrofoam orange yang melekat di dinding kamarku.
“Rrrrttttttt…. Rrrrrttttttt….,” kasurku bergetar.
Sebuah pesan singkat dari Nia, pacarku.
“Say, udah makan?”
Pertanyaan klasik standar yang selalu dipakai untuk memulai percakapan.
“Udah say. Lagi ngapain?” balasku. Ini juga menu standar.
Aku dan Nia bertemu di awal kuliah dalam sebuah kepanitiaan lintas fakultas. Itu sudah tiga tahun yang lalu. Sudah setahun ini Nia bekerja di Palembang. Pendidikannya sebagai guru SD yang hanya butuh dua tahun tentu berbeda denganku yang masih harus berkutat dengan teori di kampus. Ketika Nia berkisah tentang realita kerjanya, aku hanya bisa menjawab dengan kutipan buku-buku. Sungguh tidak berimbang.
Beginilah aku dan Nia sekarang, puluhan pesan singkat terkirim setiap hari. Kalau malam menjelang, aku dan Nia akan menghabiskan waktu hingga kuping panas atau salah satu dari kami tertidur. Realita Long Distance Relationship. Untunglah hubungan ini masih bisa bertahan.
Tidak ada balasan dari Nia. Mungkin pacarku itu sedang sibuk mengajar atau koreksi. Aku berusaha memahaminya, seperti Nia memahamiku. Mungkin itulah yang menyebabkan hubungan pisah laut yang kami lakoni bisa bertahan.
Cerita Jomblo Box tadi tiba-tiba menggelorakan niatku untuk memasukkannya ke dunia maya. Aku blogger aktif yang sayangnya belum punya laptop dan modem sendiri. Maka aku dengan rutin dan senang hati menghabiskan uang kirimanku untuk sekadar 1-2 jam berkelana di dunia maya. Blogku dikunjungi setidaknya 50 kali per hari. Aku ingin pengunjung di blogku membaca kisah lama yang tidak pernah terwujud itu.
Pandanganku terhenti sejenak pada kondisi kamar yang lebih parah daripada kapal pecah. Tadinya aku hendak mengumpulkan bahan-bahan selama kuliah Profesi Apoteker guna persiapan ujian komprehensif. Tapi tampaknya menulis blog menjadi hal yang paling menarik saat ini. Perkara kamar berantakan biarlah diurus nanti.
Beginilah kehidupanku, Adan Setia Dharma. Entah mengapa orang tuaku tidak memakai saja istilah umum untuk menamaiku. Adan itu sejatinya sama dengan Adam. Mungkin orang tuaku tidak menginginkanku berkumis macam Om Adam suaminya Tante Inul.
Namaku tidaklah mengandung arti yang sangat berat. Orang tuaku hanya menginginkanku menjadi seorang pria yang setia pada janjinya. Itulah prinsip yang selalu aku junjung tinggi karena bagaimanapun seluruh dunia akan menangkap langsung dari namaku bahwa aku ini selalu setia pada janjiku sendiri. Itulah sebabnya aku berusaha lulus secepat mungkin untuk bisa mewujudkan janjiku membantu orang tua. Adikku empat dan masih sekolah semua, jadi aku harus cepat-cepat menjadi apoteker, cepat-cepat bekerja, dan cepat-cepat membantu orang tua.
Aku selalu merasa kesasar setiap kali hendak lulus karena jiwaku sejatinya bukanlah di farmasi. Seperti karyaku yang terselip di dalam tumpukan, aku lebih nyaman menulis. Bahkan mimpiku adalah menjadi penulis, sungguh tidak nyambung dengan keadaanku sebagai calon apoteker.
Kadang memang hidup harus realistis. Aku selalu berusaha memahami itu sambil tetap berupaya mencari langkah untuk mewujudkan mimpiku.
Telepon genggamku bergetar lagi. Nia membalas pesan singkatku.
“Lagi kangen kamu, sayang :)”
One thought on “Pria Yang Setia Pada Janjinya”