Hari ini saya berasa anak soleh, walau masih tetap kalah soleh dibandingkan Soleh Solihun. Bukti bahwa saya anak soleh adalah saya dua kali beribadah di hari Minggu ini. Bukan apa-apa, kebetulan ada jadwal tugas bernyanyi di dua misa, di dua kota (Jakarta dan Tangerang), dua provinsi (DKI Jakarta dan Banten), yang untungnya terjadi di dua jadwal yang punya rentang waktu 8 jam. Jadi saya masih bisa mengejar jadwal kedua dengan naik bis dari tempat ternama di Tangerang.
“slamik,slamik,slamik…”
Sebuah teriakan khas awak bus yang mengacu pada daerah Islamic, pintu masuk area Lippo Karawaci dan sekitarnya.
Yup, kisah soleh pertama hari ini adalah bernyanyi bersama anggota PSM Cantus Firmus yang sudah tidak Mahasiswa lagi, di Santa Helena, Lippo Karawaci. Sebenarnya, sebagai umat Katolik pada umumnya, cuma nyanyi di misa itu sangat biasa. Lagu-lagunya juga pasti biasa. Bahkan seperti yang pernah saya tulis sebelumnya di blog Catatan Umat Biasa, untuk bernyanyi pada misa, banyak koor yang latihan alakadarnya, bernyanyi alakadarnya, dan segala hal yang sungguh alakadarnya.
Bukan hal yang aneh ketika ada koor 1 suara dengan peserta koor adalah cabutan yang diperoleh 15 menit sebelum misa dimulai. Juga bukan hal yang aneh melihat anggota koor sama sekali nggak melirik ke dirigen ketika bernyanyi. Bukan apa-apa, ketika tugas, itu adalah kali pertama dia melihat teks yang dinyanyikan itu. Profil semacam itu sudah sangat biasa, dan jelas terbilang menurunkan prestise koor misa itu sendiri. Mungkin hanya koor saat perayaan besar semacam Natal dan Paskah yang dipersiapkan benar-benar.
Makanya, ketika diminta bernyanyi (hanya) di sebuah misa, tampaknya adalah biasa saja.
Tapi ternyata tidak demikian adanya.
Sebagai contoh, sekadar bernyanyi lagu berjudul “Kemuliaan”, sejatinya orang Katolik yang misa tiap minggu pasti bisa menyanyikan itu sambil merem, bahkan kalau nggak ingat itu sedang di gereja, boleh jadi mereka akan menyanyikannya sambil kayang. Percayalah, bahwa meski lagu itu sangat besar isinya, tapi sebagian umat menyanyikan lagu itu sekadarnya saja. Termasuk juga saya.
Nah, ketika tadi saya merinding (hanya) ketika menyanyikan lagu tersebut, pasti ada yang aneh. Hal yang sama juga terjadi ketika saya ikut serta menyanyikan lagu-lagu lainnya, termasuk tiga lagu Komuni yang all english. Beneran bikin saya kudu ke London. *oke, ini tidak berhubungan baik*
Bernyanyi sambil merinding menurut saya hanya bisa dicapai pada tataran tertentu dalam rasa. Saya sering bernyanyi–maupun duduk di bangku koor sambil lipsync–dan tidak selalu tataran itu tercapai. Memang, tataran itu butuh aneka prasyarat untuk bisa digapai.
Dan salah satunya bernama kerinduan.
Kerinduan untuk bernyanyi bersama sebuah paduan suara bernama Cantus Firmus. Well, ini tidak sekadar bertemu teman lama. Banyak anggota koor tadi pagi yang beneran baru saya kenal. Bagaimana tidak, mereka angkatan 2009, Juni 2009 baru masuk. Padahal Mei 2009 saya sudah cabut, kerja di Palembang. Mereka ranum, saya ra(e)nom. Yup, akhirnya saya menemukan dua poin utama.
Kerinduan dan Cantus Firmus.
Kerinduan bernyanyi dalam naungan Cantus Firmus itulah yang kemudian masuk ke hati dan menyebabkan lagu yang rutin dinyanyikan setiap pekan itu mendadak menjadi menggetarkan. Kerinduan itu memicu saya dan tampaknya beberapa yang lain untuk bernyanyi dari hati. Apalagi ketika kemudian salah satu lagu yang dinyanyikan adalah lagu andalan segala angkatan, saya sih menangkap beberapa mata yang berkaca-kaca ketika lagu itu dinyanyikan.
Begitulah. Bernyanyi mungkin biasa, namun ada faktor penting yang kemudian bisa membedakan output dari nyanyian itu, namanya hati 🙂
One thought on “Bernyanyi Dengan Hati”