Tag Archives: kota baru

Enam Petang di Palembang

Yah, begitulah. Memang sepertinya isi blog ini bakal sepi. Huiks. Semoga sih tidak, tapi memang apa daya, ada kendala waktu, terlebih ketika saya harus melakoni tugas negara. Ketika tugas negara, waktu saya kurang, jadi ngeblog cuma sekadar mimpi yang bukan basah. At least, saya tetap bikin poin-poin untuk di-blog-kan. Belum 3 post rasanya saya nulis sejak Tujuh Hari di Kendari. Iya, memang begitu. Sesudah bertualang ke Celebes, kali ini saya mendapat tugas di Andalas. Dan bagi seorang sentimentil melankolis semacam saya, penugasan kali ini agak menyingkap sisi hati. Uhuk. Batuk Pak Haji?

Untitled7

Ketika pertama kali mengetahui bahwa saya dapat penugasan di kota itu, saya senang-senang sedih. Senangnya tentu karena kota itu punya memori luar biasa bagi hidup saya. Sedihnya? Justru karena saya pernah tinggal berbilang tahun, kok rasanya sayang kalau jadi tujuan. Soalnya dari list penugasan, ada beberapa kota yang memang belum sempat saya injak. Selanjutnya, Mbohae!

Advertisement

Heavy 13

Baiklah, rupanya harus menunggu tengah malam supaya bisa menulis posting ini. Ya nggak apa-apa, toh barusan saya menang 4-3, pakai Bayern Muenchen versus Manchester City. Nggak apa-apa kan? *mulai salah fokus*

Kalau sebelumnya saya punya posting berjudul 30 menit yang luar biasa, maka sekarang saya kurang bisa mendeskripsikan 30 menit yang tadi sore menjelang malam saya alami.

Begini ceritanya *gelar kloso*

Sejak di Cikarang saya memang agak LDR-an sama gereja. Jarak kos-kosan ke gereja adalah kira-kira 13 kilometer. Tentunya ada banyak umat lain disini yang menempuh jarak lebih jauh. Masalahnya, didikan saya itu tidak mengenal jarak jauh.

Di Bukittinggi, dari rumah ke gereja, 13 kilometer itu adalah berangkat dari rumah, sampai ke gereja, lalu pulang lagi ngambil Puji Syukur lalu balik lagi ke gereja. Kemudian di Jogja, 13 kilometer itu memang sekitar jarak kos-kosan ke Kota Baru. Tapi jalan Paingan-Kota Baru nggak mengenal kontainer kan? Di Palembang lain lagi. Kalau mau mengukur jarak waktu saya di kos-kosan Cece Meytin ke Kapel Seminari, maka 13 kilometer itu bisa satu bulan misa, lengkap dengan Jumat Pertama, pembukaan Bulan Maria, plus penutupannya.

Makanya, saya pernah bilang ke tante saya yang suster bahwa perjalanan ke gereja disini seperti perjalanan ke Golgota. Bedanya, ini Golgota masa kini. Komentarnya sih singkat, “bisa jadi.”

Nah, bermula dari tukar hari tugas antara saya dengan Dian (padahal di PSM saya ngertinya Ria -___-), akhirnya saya dapat tugas lektor Novena Roh Kudus hari kedelapan, 17 Mei 2013. Sebenarnya kan enak kalau Jumat, besoknya libur, jadi bisa leyeh-leyeh.

Cuma siapa sangka kalau si tanggal 17 itu menjadi saat pertama kalinya saya naik sepeda motor sambil berdoa?

Siang sempat hujan sih, tapi pulang kantor sudah oke. Kemudian saya coba kutak kutik si Young yang rusak, dan gagal. Kemudian saya mandi dan persiapan berangkat. Begitu buka pintu kos, sudah lihat hawa nggak enak dari awan yang menggantung seram di sebelah kiri. Hawa-hawa hujan gede.

Saya berangkat tanpa mengenakan mantel, tapi kemudian segera pakai mantel di depan Wisma Mattel. Nggak nyangka, ternyata airnya sudah kemana-mana. Jalan masuk Jababeka 2 sudah banjir, demikian pula di depan kantor. Yang bikin ngenes, arah jatuhnya hujan itu diagonal 45 derajat, dan kok ya sejalur dengan arah perjalanan saya. Jadilah ini muka semacam refleksi akupuntur pakai air hujan yang tajam-tajam. Mana kaca helm nggak mungkin ditutup, soalnya gelap.

Begitu keluar pintu 10 dan hendak menuju Kalimalang, saya berbelok ke kanan seperti biasa, dan tidak memperhatikan bahwa ada lubang besar di depan saya. Si BG melaju melindas lubang itu dan ternyata dalamnya tak taksir ada 20-30 cm, karena kemudian rodanya si BG yang depan sempat meloncat. Saya sudah berpikir hendak jatuh saja ini, tapi ternyata pegangan tangan kanan saya–sambil tetap ngegas–masih bisa menahan keseimbangan sehingga tidak jatuh.

*Puji Tuhan*

Ini bukan hujan biasa yang jelas, dan setahu saya jalan Cikarang-Cibarusah itu kalau hujan yang nggenang. Satu hal yang perlu disyukuri adalah itu jalan habis dipoles. Jadi nggak perlu terlalu khawatir sama lubangnya yang besar-besar itu.

Begitu masuk Jembatan Tegalgede, genangannya sudah se-footstep si BG. Syukur pula bahwa saya pernah diberi pengalaman banjir di Palembang dulu. Jadi tahu gimana caranya melajukan sepeda motor dengan baik dan benar agar tidak mati mesin. Khusus bagian Tegalgede ini lewat.

Lalu berlanjut ke daerah dekat POM Bensin tempat saya dan si BG jatuh untuk pertama kalinya. *tuh kan mirip jalan salib ke Golgota*

Sudah ngeri aja karena bolongan di jalan itu rata ketutup air. Saya berbekal ngikutin jalurnya depan saja, dan untungnya lolos sampai ke depan Carrefour. Dan kebetulan sih, banjir juga, juga se-footstep si BG. Tangan saya nggak lepas dari gas, di gigi 1, plus kaki saya nggak lepas dari rem belakang, plus tangan yang ngegas tadi juga jaga-jaga di rem. Ini kan gigi 1, takutnya lompat, nabrak yang depan. Kan berabe.

Lalu saya tahu masih ada titik lagi yang banjirnya pasti tinggi. Itu di jalan naik jembatan yang menyeberangi Tol Cikampek. Sudah menutupi mesin kalau itu, disinilah saya mulai berdoa sambil naik sepeda motor.

“Tolong Tuhan.. Tolong Tuhan..”

Lebay yak? Mungkin. Tapi ini naluriah.

Jembatan lolos. Dan saya tidak punya pengalaman cukup soal hujan intensitas besar di jalan sesudah itu. Pikir saya, harusnya sih udah beres.

EH SIAPA BILANG?

Ternyata di pertigaan dari Gemalapik airnya sudah mulai tinggi lagi. Saya ambil kanan dan tinggi airnya sama dengan yang di tanjakan mau lewat jembatan. Udah ngeri aja kalau si BG mati di tengah jalan, soalnya di belakang mobil besar-besar. *jangan dibayangkan*

Sesudahnya, genangan semata kaki jadi biasa aja buat saya. Tinggal libas sana sini. Nggak banyak lagi masalah, termasuk di perempatan EJIP yang sebenarnya kan cekungan itu. Saya mulai tenang, ayem. Lagipula ini kan sudah masuk daerah perumahan yang terkenal. Yang dikelola oleh developer ternama. Harusnya kan nggak banjir. Apalagi begitu lewat kali, ya nggak meluap.

EH SIAPA BILANG?

Sesudah bundaran Elysium saya mendapati genangan yang LEBIH tinggi daripada yang ada di pertigaan dari Gemalapik. Bahkan mobil-mobilpun melewati jalan ini dengan galau. Karena rata-rata city car. Kalau tidak salah, dalam posisi saya mengendarai si BG, airnya sudah hampir ke lutut saya. Ketinggiannya persis waktu saya kebanjiran di Sekip. Dan jangan lupakan arus dari citycar yang berjalan bersisian dengan saya.

Ngenes.

Untunglah, akhirnya sekolah yang saya sebut gereja itu segera terlihat dan tidak ada genangan lain sesudah itu. Fiuhh. Saya keluar kos 6 kurang 10, dan sempat buka sepatu, ganti sandal, pakai jas hujan, dll, sampai ke gereja 18.20, jadi ya 30 menit. Tiga puluh menit naik motor yang mendebarkan, ehm, cenderung mengerikan.

Tapi, ada banyak orang yang bersama saya di jalanan? Kok mereka bisa ya?Dan ini saya sekali-sekali, dalam rangka mau ke gereja. Kalau mereka yang statusnya mau pulang ke rumah bagaimana yak? Kok bisa?

I don’t know.

Kebetulan yang absurd mungkin ya. HP pas rusak, yang mana daripada seluruh kontak lektor ada di HP itu. Mau menghubungi siapa, misal untuk menggantikan, ya bingung. Makanya kemudian saya putuskan bablas saja. Syukurlah sampai.

Pada akhirnya tugasnya berjalan lancar, meski saya salah menyebut “dia” dengan “ia”. Yah, maklum, habis kehujanan *mohon excuse*

Ada banyak pelajaran yang saya petik selama 30 menit tadi.

1. Mengendarai sepeda motor melibas banjir itu butuh fisik yang kuat. Tangan kiri saya bahkan masih pegal sampai saya mengetik posting ini. Menahan beban kiri-kanan dan menjaga keseimbangan itu sulit ternyata. Belum lagi perut saya yang mendadak juga ‘capek’ karena tahanan tangan larinya ke otot perut. Sungguhpun kalau nggak keburu, melibas jalanan kayak tadi AMAT SANGAT TIDAK DISARANKAN. Saya hanya beruntung saja bisa selamat sampai  tujuan.

2. Masalah itu selalu ada, bahkan menjelang akhir perjalanan. Lha saya itu begitu di bundaran Beverli sudah amat sangat yakin nggak akan ada genangan lagi. Lah kok malah dapat yang paling besar. -____- Pada akhirnya ternyata masalah itu akan hilang kalau kita beneran sudah sampai di tujuan. So, waspadalah.

3. Sepanjang jalan, sambil minta tolong sama Tuhan, saya berasa dibisikin, “Kalo lo sampai, lo menang!” Entah dibisikin sama siapa sih, tapi rasanya jadi bikin teguh kukuh melaju meski saya masih amat mungkin berhenti dan balik kanan pulang kos lalu tidur.

4. Apapun halangannya, kalau itu untuk Tuhan, percayalah, PASTI LEWAT. Itu pelajaran saya benar-benar hari ini. Meski jelas untuk tugas-tugas berikutnya kalau bisa ya jangan begini lagi jalannya, tapi bahwa saya berangkat untuk membaca sabda Tuhan di gereja, dengan jalan yang sebenarnya nggak masuk akal untuk dilibas si BG, dengan posisi sudah nyaris jatuh di dekat Kalimalang, dan saya sampai. Mukjizat? Entahlah. Saya bukan siapa-siapa kok, tapi saya meyakini bahwa saya masih bisa mengetik posting ini saja sudah merupakan berkat melimpah.

5. Sesudah heavy rain selama 13 kilometer tadi, saya melakoni perjalanan pulang dengan gerimis rintik-rintik. Sesudah dikasih yang berat, saya dikasih jalanan lancar, tanpa banyak genangan lagi (cepet ternyata surutnya), dan tanpa banyak truk besar. Begitulah, sesudah cobaan pasti ada berkat melimpah. Amin.

6. Bahwa saya bisa merutuk pemerintah atau siapapun yang bertanggung jawab pada drainase semenjana di kawasan industri ini. Tapi sepanjang jalan saya lebih sibuk minta tolong sama Tuhan daripada memikirkan mengutuk siapa. Ternyata lebih enak rasanya. Hehehe.

Begitulah perjalanan saya menempuh heavy rain 13 kilometer hari ini. Sejatinya ini bukan apa-apa bagi kebanyakan orang, tapi buat saya, ini adalah pengalaman berharga. Berharga banget. Kalau bisa sih nggak usah diulang. 😀

Selamat pagi dan selamat tidur 🙂