Jemari kokoh dengan lengan berbulu, berbalut arloji mahal merk Alba, menari indah di atas keyboard. Tampak jelas di layar monitor bahwa waktu sudah menujukkan jam 12.07 AM alias tengah malam. Segelas kopi yang telah menjelma dari kopi panas menjadi es kopi masih tergeletak manis di sisi kiri layar monitor. Setumpuk dokumen tampak di sisi sebaliknya. Sesekali terdengar bunyi klik.
Jam yang tidak logis untuk menarikan jemari apalagi dilakukan di sebuah meja kerja, dengan seragam rapi, masih berbalut dasi, pun sepatu masih pantofel. Ini di kantor. Jam 12 malam, di kantor, sungguh sebuah perpaduan romansa cinta, wajib, dan terpaksa.
Dear Pak Wiryono,
Terlampir saya kirimkan draft Master Planning dengan perhitungan kapasitas sesuai remark meeting hari ini. Mohon dapat direview.
Terima kasih atas perhatiannya.
Best Regards,
Axel Ricardini
“Done! Hufftttt..,” teriak Axel, si pemilik jemari berbulu yang menari tadi. Tak masalah baginya berteriak-teriak jam segini. Tidak akan ada yang mendengar. Paling mentok satpam di depan, itupun paling lagi bobo juga. Yang paling logis untuk ikut mengikuti teriakan Axel adalah tikus-tikus yang nongol di malam hari. Makhluk hidup yang semacam makhluk gaib karena masih tampil eksis di sekitar kantor meski pest control sudah diterapkan di kantor.
Kantung matanya sudah semacam pemimpin terkemuka. Lama-kelamaan properti itu sudah tidak bernama kantung lagi, tapi karung. Yak, sebut saja karung mata. Kekayaannya itu jelas memperlihatkan bahwa Axel sudah sangat-sangat mengantuk.
“Ah, jumat ini. Besok libur juga,” gumam Axel di sela keheningan malam. Dalam posisi begini, Axel memang sering melakukan monolog dengan berbagai alasan. Salah satunya tentu untuk membunuh sepi karena playlist lagu-lagu di laptopnya sudah membentuk paham monotonisme. Namanya juga laptop kantor, setiap data yang masuk banyak tetek bengek yang harus dipenuhi. Walhasil, Axel menjadi malas dan menerima apa adanya file yang tersimpan di laptop turunan dari pejabat Demand Planning Supervisor sebelumnya.
Dan tampaknya DP Spv itu galau. Bisa dilihat dari pilihan lagu-lagunya.
Bila Rasaku Ini Rasamu
Demi Cinta
Harusnya Kau Pilih Aku
Tegar
Cemburu
Yah, lagu-lagu getirnya cinta. Dan entah mengapa dan bagaimana, kompilasi lagu itu menjadi pas, cocok, dan sesuai untuk kondisi kejiwaan Axel ketika masuk ke kantor barunya ini.
Axel adalah petualang cinta sejati. Tak hanya cinta dengan lawan jenis, namun cinta terhadap employer. Total, dalam 5 tahun kerja dari level bawah selepas lulus S1, Axel sudah berada di 4 perusahaan. Ya, kira-kira setiap tahun 1. Artinya lagi, sepanjang kerja, Axel belum pernah menikmati indahnya hak cuti. Ya tentu saja, ketika sudah tiba waktunya mendapat hak cuti, Axel malah minggat ke perusahaan lain dan memulai kembali dari nol.
Bagi Axel, hidup itu tidak bisa monoton. Setiap pekerjaan dilakoni sebagai proyek, karena dia terbiasa berpikir demikian ketika kuliah. Di dunia kerja yang keras, kualitas orang yang dibutuhkan, kesetiaan? Ah, itu menyesuaikan. Orang yang sudah puluhan tahun kerja di sebuah perusahaan saja bisa pindah haluan. Ada juga yang pindah kesana kemari lalu kembali lagi. Nggak ada yang salah soal itu.
Mouse yang tampaknya juga sudah mengantuk itu masih dipaksa untuk melakoni kegiatan. Kali ini yang dibuka halaman-halaman media sosial, Facebook, Twitter, dan Koprol. Axel juga membawa mouse tua sisa pendahulunya itu membuka tab-tab WordPress, Blogspot, dan Tumblr.
Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar Axel ketika membuka akun Facebooknya. Dia punya teman FB sebanyak 1291, tapi ketika giliran membuka timeline, di bagian kanan atas tempat foto 8 orang teman yang terpilih, selalu muncul orang yang itu-itu saja. Masak sih FB tidak bisa membuat random yang sebenarnya random? Sebenarnya sih, yang lebih mengusik Axel adalah nongolnya foto dan nama akun Dara Milyana. Mengusik sesi 1 karena setiap kali refresh timeline, 7 teman lain berubah tapi Dara tetap. Mengusik sesi 2 adalah karena gadis itu sudah berusaha direfresh berkali-kali dari hati Axel, dan nggak pergi-pergi.
Hasil permenungan Axel adalah, gagal refresh merupakan manifestasi cinta diam-diam. Perihal cinta diam-diam tentu nggak bisa pakai terminologi move on, karena cinta diam-diam tidak mengenal move. Be silent, observe, and hurt. Cinta diam-diam ya sesederhana itu.
Jemari lemas Axel memandangi foto sampul Dara, lanjut ke foto profilnya, diteruskan dengan memantau posting satu demi satu. Entah wall post, entah status. Selalu semacam inilah Axel. Padahal dia sendiri tahu, bahwa Dara adalah gadis yang penuh kedalaman. Apa yang dia tulis di FB hanyalah bagian kecil dari kehidupannya. Artinya? Cek FB tidak berdampak signifikan.
Axel hanya kangen pada Dara. Dan cara itu adalah satu-satunya bentuk penghapus rindu.
Jam 1. Kantor sudah benar-benar sepi. Axel menutup laptopnya dan bergegas pergi tanpa peduli pada es kopi dan tumpukan dokumen di sekitarnya. Dia lelah.
Senin pagi.
Kata Coach Rene, kalau Senin pagi membuat anda hendak masuk sumur saja, itu berarti anda tidak menikmati pekerjaan. Untunglah, Axel tidak demikian. Dia memang ngantuk, tapi itu wajar untuk senin pagi. Ngantuk tidak relevan dengan pola pikir. Dalam kantuk-pun, Axel masih bisa bekerja.
Masalahnya, hari ini Axel bukan hendak kerja, tapi ada jadwal seminar. Uang perusahaan berjuta-juta terhampar untuk membawa Axel ke seminar, dan kemudian dibalas dengan kantuk sepanjang seminar? Sungguh bukan Axel.
Maka peraduan pagi itu adalah kopi.
Penyelenggara seminar sudah cukup biasa tampaknya. Terbukti dengan sepagi ini, coffee break sudah tersedia dengan damai. Axel membawa goodie bag berisi materi seminar plus beberapa cendera mata. Matanya sudah menagih kafein sebagai syarat untuk tetap menyala sepanjang hari.
Gelas elit sudah ada dalam genggaman Axel. Gula dalam porsi wajar sudah masuk, pun dengan sedikit krimer. Menu dasar untuk acara coffee break, yang sudah ada sebelum acara. Aneh ya, acara belum mulai, kok udah break?
Axel tertunduk sambil mengaduk kopinya. Aroma kopi di pagi hari itu sudah cukup untuk menggugah suasana tubuh untuk sirkulasi biologis yang lebih baik. Dalam kondisi tertunduk pula, mata Axel menemukan diksi yang tiada asing tertulis pada sebuah call card yang terletak di atas meja kopi.
Dara M.
Ini Dara?
Wajahnya mendongak, melihat ke sekeliling. Paras cantik itu mestinya tidak akan sulit ditemukan, apalagi di tempat semacam ini. Tapi Axel juga memposisikan diri untuk tidak berharap lebih. Terkadang, berharap lebih itu bisa sakit, apalagi dalam terminologi cinta diam-diam.
“Xel!”
Suara paling merdu sedunia itu membuat kaget. Kemerduan suaranya saja sudah bikin kaget, ditambah intonasinya memang ditujukan untuk mengagetkan. Axel sontak berbalik. Dan benarlah, keindahan diam-diam itu ada di depan mata. Dara.
“Heyyy.. Ikut ini juga to?”
“Yoilah. Kalau nggak ngapain aku kesini, Xel.”
“Haha. Iya juga. Masih di tempat lama, Ra?”
“Masihlah. Aku kan setia.”
Aku juga setia loh, pada cinta diam-diamku untukmu, batin Axel. Tentunya sebatas batin, karena kalimat itu akan tampak absurd kalau terungkap dengan jelas.
“Udah supervisor dong?”
“Ya, begitulah. Aku ya nggak terima kalau udah kerja segini lama masih gitu-gitu aja. Kamu?”
“Ya sama kalau gitu. Artinya kita sama-sama supervisor. Hehe.”
“Pastinya gajinya beda. Axel kan pakar bidang forecasting. Ini kata bosku loh.”
“Bosmu siapa?”
“Pak Alef. Katanya kemarin ketemu Axel Ricardini waktu training Manajemen Operasi.”
“Oh, Pak Alef bosmu to? Tahu gitu tak akrabin lagi kemarin. Hehehe..”
“Bisa aja kamu, Xel. Ayo sambil masuk aja deh. Udah lama nggak cerita-cerita kita.”
Udah lama aku ingin saat-saat ini, Dara. Untaian kata-kata itu masih stuck di otak Axel saja.
Axel dan cinta diam-diamnya, Dara, sudah duduk manis di dalam ruang seminar. MateriVendor Managed Inventory menjadi topik besar hari ini. Axel sendiri sejatinya malas, karena menurutnya ada banyak metode lain yang secara komunikasi lebih simpel alih-alih VMI. Tapi kalau bos sudah nyuruh, mau apa?
“Eh, bukannya kamu dulu di Jakarta, Xel?”
“Iya. Ini kan baru pindah.”
“Pindah? Udah berapa kali?”
“Hahahaha.. Aku tukang pindah kok, Ra. Terakhir di Bandung, baru pindah kesini.”
“Gila..”
“Mencari yang terbaiklah.”
“Udah nemu?”
Ini di depan mataku, batin Axel. “Ya dalam proses. Masih mencoba menemukan, ” ujar Axel dengan pilihan kata yang tidak berkoneksi relevan dengan yang sejatinya hendak keluar.
Seminar dimulai tepat pukul 9, bagus untuk ukuran Indonesia yang suka molor. Mungkin karena orang yang ikut disini adalah pesohor rantai pasokan yang jelas taat waktu. Bagaimanapun waktu dan kejar-kejaran adalah sebagian dari iman orang rantai pasokan. Diakui atau tidak.
Axel tidak fokus sempurna. Teori VMI masuk ke kepala dan berbaur dengan kisah cinta diam-diam-nya dengan teman lamanya, yang sekarang persis ada di sebelahnya. Aih, indah dan penuh dilema.
“By the way, udah married, Ra?” tanya Axel. Sebuah pertanyaan mendasar untuk memastikan. Sebenarnya di Facebook tidak tampak tendensi Dara menikah, meski statusnya disembunyikan. Pertanyaan mendasar yang butuh keberanian tingkat delapan untuk melontarkannya. Tapi masih dapat konteks ketika coffee break.
“Aih, bukannya kamu? Aku mah masih gini-gini aja, Xel. Masih mencari yang bisa dicintai sekaligus dimiliki.”
“Kayak pernah denger. Dimana ya, Ra?”
“Ah masak?”
Itu kan statusmu tiga hari yang lalu, teriak batin Axel. Kali ini hendak keluar, masih tercekat di esofagus.
“Mungkin dari tivi kali ya..” Axel akhirnya berusaha ngeles.
“Wah, setahuku, itu kata-kataku. Tivi nyontek dong.” Dara berkata-kata dalam keindahan paras, kesempurnaan senyum, dan kepenuhan cinta diam-diam Axel. Kombinasi letal penuh dilema. Apalagi ditutup dengan bubarnya break.
Materi VMI kembali masih ke otak para peserta, termasuk Axel. Teori dan contoh praktek terpapar satu per satu, termasuk bagaimana mengelola komunikasi tentang stok yang harus ada di vendor, termasuk pula problem yang mungkin terjadi dalam pelayanan material, termasuk juga soal terminologi pembayaran dan kontrol kualitas. Penuh pokoknya.
Dan karena penuh itu, mendadak Axel punya ide.
Makan siang.
Sapi lada hitam adalah menu populer di hotel tempat seminar digelar. Axel dan Dara, sebagai kawan lama, memilih makan berdua, di tepi kolam, sambil melihat bule gendut berbulu berenang. Ah, nggak ada penambah nafsu makan bentuk lain?
“Ra, kayaknya aku punya contoh model VMI yang paling gampang,” kata Axel sambil mengiris sapi lada hitamnya.
“Apaan tuh?”
“Tadi kan katanya, vendor mengetahui stok di pabrik, dan sebaliknya.”
“Iya, terus?”
“Nah, anggap kamu pabrik, aku vendor. Kamu boleh tahu stok cintaku padamu.”
“Heh?” Dara melongo.
“Terus tadi katanya, pabrik bisa melakukan permintaan sesukanya. Nah, kamu silahkan meminta cintaku sesukamu. Dan terakhir, vendor harus memastikan kalau stok nggak akan habis saat pabrik membutuhkan. Tenang saja, akan selalu ada cinta untukmu.”
Dara masih melongo.
“Ra?”
“Ehm… itu tadi apaan ya, Xel?”
“Anggap saja aplikasi training, merangkap katakan cinta.”
“Hah? Perasaan kita baru ketemu lagi?”
“Tapi perasaanku ke kamu sudah dari jaman nggak enak, Ra.”
“Ohhh.. so?”
“Ya terserah sih. Tadi kan cuma ngomong doang.”
“Tidak berharap komen kan?”
“Ya kalau ada komennya, lebih baik sih, ” kata Axel sambil nyengir.
“Hmmm.. aku pikir dulu deh komennya, harus dijawab pakai teori VMI juga nih. Hehe..”
Dara tersenyum, Axel tersenyum.Mungkin, sapi lada hitam juga ikut tersenyum.
Bagian terbaik dari cinta diam-diam adalah ketika dia diungkapkan.