Eh, Penerbangan Saya Masuk Berita

Googling bin googling eh malah ketemu nih..

LINK INI *nulis sambil marah-marah*

Jadi tertulisnya begini:

Menurut pantauan Posko Angkutan Lebaran Terpadu 2012, ada 11 jadwal penerbangan yang mengalami delay jadwal kedatangan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada H+1 atau Selasa (21/8/2012) kemarin. Maskapai yang mengalami delay adalah Batavia Air, Sriwijaya Air, Lion Air, Citilink, dan Indonesia AirAsia. Keterlambatan itu terlihat sepanjang pemantauan Posko yakni dari pukul 08.00 WIB sampai 18.00 WIB.

Maskapai Batavia Air, misalnya, mengalami keterlambatan kedatangan domestik paling lama dari maskapai lainnya, yakni penerbangan Y6-0584 dari Bandar Udara Minangkabau, Padang, menuju Bandara Soekarno-Hatta selama 2 jam 39 menit.

Keterlambatan paling singkat yakni Lion Air JT-0347 dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang dengan 32 menit dari jadwal semula. Sementara Sriwijaya Air adalah maskapai yang paling banyak mengalami keterlambatan jadwal kedatangan di Bandara Soetta. Ada lima penerbangan dengan tujuan Jakarta yang telat.

Saya bingung nih, itu 2 jam 39 menit dari mana yak? Wong saya antri di pintu boarding aje tulisannya 13.10, padahal saya itu antrinya jam 17.10, itu juga 10 menit sebelumnya dibilang “pesawat akan siap 30 menit lagi..” yang langsung mengundang komplain banyak penumpang.. Jadi 13.10 ke 17.10 itu ternyata 2 jam 39 menit?

Ehm, bisa dipahami sih, kalau dihitung normal, 4 jam itu kompensasi 300 ribu. See? Bayangkan aja rugi di peak season mudik begitu. Rugi bandar cuy. Ah, ya sudahlah… Huhuhuhu…

Masalah Klasik Anak Kos

Lagi merenung, meratap, dan meresap. *halah*

Dan tiba-tiba kepikiran nasib sendiri. Yah, nasib saya yang sudah lebih dari 11 tahun melarikan diri dari pangkuan orang tua. Eh, tepatnya dilarikan, disuruh pergi, tapi emang demi kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.

Dan tiba-tiba lagi terkenang pahit manis-nya jadi anak kos. Kok terkenang? Lha wong saya ini juga masih jadi anak kos. Heleh.

Ya pada intinya, berikut masalah klasik anak kos, berdasarkan pengalaman saya.

1. Antri WC

Ini semacam sepele tapi ternyata penting loh. Bayangkan rasanya kebelet, sudah lari-lari dari kamar, dan lantas mendapati kalau WC tertutup? Ini kayaknya mirip dengan mau kawin tapi terus calon kabur sama mantan. Dan rerata WC di kos-kosan itu jumlahnya nggak banyak, paling 1 atau 2 biji saja.

Belum lagi nih, kos saya yang legendaris di Mbah Mardi sana itu menerapkan konsep WC untuk semua, termasuk untuk mencuci. Jadi bayangkanlah rasanya mules, kebelet, sudah di ujung, eh di dalam WC tiba-tiba lagi asyik ngucek sambil bernyanyi riang? Bayangkanlah! Bayangkanlah! *lebay*

2. Ketika Gebetan Jadi Pacar Teman Sekos

Ini asli, asli bukan pengalaman saya. Tapi ada nih temen yang bernasib buruk dalam bercinta. Sebut aja si Roni. Roni ini nggebet si (sebut saja) Mawar Melati Semuanya Indah. Hasil pendekatan beruntun berbuah kandas.

Dan tiba-tiba…

Mawar Melati Semuanya Indah jadi rajin berkunjung ke kos si Roni. Tapi bukan ke kamar Roni, melainkan ke kamar di sebelahnya! Ihiks, gimana gitu rasanya sendiri galau pulang ke kos, lihat sandal si gebetan di depan kamar sebelah. Lalu dengar cekakak-cekikik pujaan hati, juga dari kamar sebelah.

#eaaaa

3. Nginapers dan Nebengers

Kalau ini asli pengalaman saya. Sebagai orang yang ngekos, dan punya banyak teman yang berumah di Jogja, ini konsekuensi logis. Main ke kos sih nggak masalah. Tapi kadang-kadang bikin gundah gulana.

Ada kala ketika lagi asyik sama pacar *asyik nonton TV loh* eh datang teman hendak berkunjung. Ini mah bukan pengalaman saya saja, lebih seringnya saya malah jadi pengunjung *hihihihi..*

Ada kala juga, sudah malam-malam, capek, sudah membayangkan enaknya kasur di kamar. Eh, begitu sampai kos, kamar sudah ramai dengan temannya teman. Jadi ada teman yang mengajak temannya mengerjakan tugas di kamar saya. Ini juga mirip mau malam pertama, tahu-tahu mertua ikut tidur seranjang. Ehm, gini-gini saya juga pelaku setia! Haha…

Ada juga nih, sedang asyik-asyik mimpi sama Halle Berry di sesi tidur siang, tiba-tiba kamar diketuk, dan rombongan manusia masuk, ngerusuhi. Ealah, kabur dah itu Halle Berry.

Tapi ya, kalau nggak ada yang begitu, kadang rasanya sepi. Itu kan prinsip dasar manusia, begitu ada males, begitu nggak ada malah kangen.

4. Sakit Maag

Ini penyakit wajib anak kos dan ditandai utamanya karena ketiadaan dana, terutama di akhir bulan. Wajib deh, bener. Asli bukan anak kos kalau nggak maag *apa coba?*

Menurut yang saya pelajari di kuliah, mayoritas maag itu ya disebabkan dari kesalahan pola makan. Yang dampak lain, misal pemberian obat berlebihan di masa kecil atau perlukaan lambung, itu kecil sekali.

Dan kesalahan pola makan itu terkait kesalahan manajemen keuangan. Ya, intinya mah, kalau anak kos, tanggal 1 itu makannya sate kambing, kalau tanggal 31 makannya tusukan sate kambing. Kalau tanggal 1 minum soda gembira, tanggal 31 minum air putih dari botol soda (sambil) sedih.

5. Pak Kos dan Bu Kos

Ini asli saya paling sebel. Saya pernah tuh berdiri di sebuah pintu depan kos-kosan, menunggu teman cewek. Dan saya dimarahi sama yang punya kos. “Jangan berdiri di situ!”

Ebuset, lha saya ini cuma berdiri, apa salah? Apa salah saya? *mbrebes mili*

Jadi ada yang emang galak, ada yang rese, ada juga yang menyenangkan. Tapi rerata ortu akan senang yang galak dan jam-nya terbatas, karena itu anak pasti terjamin.

Ah, apa iya? Nggak juga. Di kos cewek adik saya, masih ada juga gadis-gadis yang memanjat pagar semata pintu tinggi itu sudah digembok. Ini mah perkara manusiawi juga. Hehehe..

Yah, sekian dulu. Nanti disambung lagi. Itu tadi lebih ke pengalaman di Jogja sih. Kalau pengalaman di Cikarang dan Palembang, nanti di-share terpisah.

Okeeee… Oyeeeeee… *salaman*

Pria Yang Punya Rasa

“Jangan pernah mau disentuh-sentuh cowok, apalagi yang lebih jauh,” ujar temanku berkali-kali, dan kebetulan diulang lagi.

“Emang kenapa?”

“Pasti nanti diceritain sama temen-temennya. Eh, gue udah nyium dia, gue uda ngapa-ngapain dia.”

Aku terdiam. Selintas kemudian, aku bersyukur. Setidaknya aku berada di pergaulan yang benar.

“Nggak semua cowok kayak gitu kali.”

Nggak semua, karena proses pendewasaanku mengajari demikian. Cerita antar lelaki yang aku tahu adalah tidak jauh-jauh dari rasa, bukan nafsu. Karena, ada yang bilang, sesejati-sejatinya lelaki, adalah lelaki yang mengandalkan rasa alih-alih nafsunya.

Nah, mau tahu tipe-tipe obrolan cowok berbasis rasa. Berikut paparannya.

1. Labil sesi 1

“Piye, Bon?” tanya Chiko sambil menepuk bahu Bona.

“Mbohlah.”

“Lha piye?”

“Yo, mboh.”

“Putus wae po?”

“Nggak. Kalo nggak sama dia, mending aku jadi homo.”

Beberapa hari kemudian, Chiko dan Bona bertemu lagi.

“Piye?”

“Wis ah, sekarang realistis wae,” ujar Bona, dengan pandangan tetap menerawang.

Cowok yang punya rasa memiliki kecenderungan labil, antara mempertahankan atau realistis.

2. Kurang Ajar edisi 1

“Ko, pinjem motor?” teriak Roman dari depan kos.

“Meh nangndi?” tanya Chiko, sambil tetap tiduran.

“Sono.” Roman menunjuk arah utara.

“Belok kiri opo kanan?”

“Lha ngopo emang?”

Cowok yang punya rasa, pasti akan berpura-pura soal ini. Ya begitulah, ke kanan itu menuju arah kos Adel. Kalau ke kiri itu menuju kos Eny, TTM-nya Roman.

“Kiri kanan?”

“Kiri lah,” rapal Roman sambil menyambar kunci motor Chiko.

Cowok yang punya rasa, cenderung tidak menutupi sesuatu atas nama kepura-puraan, meskipun itu tetap kurang ajar namanya.

3. Labil sesi 2

“Kowe masih kontak sama Irin?” tanyaku terkejut.

“Iyo. Udah putus kok dia.”

“Setelah yang dia lakukan sebelumnya.”

“Iyo bro. Kalau nggak sama dia, aku nggak bakal nyari yang satu fakultas lagi.”

“Tak catet omonganmu, Ko.”

Beberapa bulan kemudian, sisi labil terungkap.

“Wis ora?”

“Lha aku dicuekin terus. Pengen ketemu, terus tak sudahi wae,” ujar Chiko.

“Iyolah.”

Dan tak sampai 3 bulan.

“Wis jadian po kowe?”

“Wis.”

“Sama Cintia?”

“Iyo.”

“Lha, katanya nggak mau yang satu fakultas lagi.”

“Ya, setiap hal ada perkecualiannya lah,” kekeh Chiko, ala playboy. *halah*

Cowok yang punya rasa tidak akan punya keputusan yang menetap, semuanya relatif, termasuk perkecualiannya.

4. Kurang ajar edisi 2

“Lha Alin ki duwe bojo?”

“Iyo.”

“Ngopo kowe deket-deket?” berondong Chiko.

“Nggak apa-apa toh?”

“Pacar orang kuwi.”

“Iyo. Ngerti,” sahutku.

Hari-hari berikutnya.

“Masih kontak sama Alin?”

“Masih.”

“Awas wae kena batunya kowe.”

Dan cowok yang punya rasa itu hampir pasti kena batunya. Termasuk aku menemukan batu yang itu. Gede pula.

5. Konsisten

“Lha kowe ngopo kudu golek suku kuwi?” selidikku.

“Panjang ceritanya,” sahut Prima. Dengan tenang, panjang kali lebar kali tinggi, ia menjelaskan perihal seleranya terhadap cewek dari satu jenis ras.

“Yo terserah sih. Saranku sih, realistis wae.”

“Yo iki, wis realistis cah.”

Dan berikutnya, yang kudapati adalah Prima belum pernah berhasil mendapatkan kekasih dari etnis yang ia tetapkan. Cowok yang punya rasa itu cenderung konsisten. Meskipun outputnya adalah konsisten ditolak.

6. Tidak Percaya Sebelum Melihat

“Eh, eh, aku ono cerito,” bisik Bayu. Aku mendekat mendengarkan.

“Tadi, aku ke kosnya Putri. Malah ketemu Danu. Mana Putri lagi tidur di pahanya Danu pula.”

“Lha ngopo juga kowe kesana?” tanyaku.

“Ya, pengen aja.”

“Udah denger kan kalau Putri sama Danu?”

“Ya, pengen lihat.”

“Abis lihat? Terus galau kan?”

“…….”

Yah, meski pahit, cowok yang punya rasa cenderung ingin memastikan sendiri. Sekalian ingin memecahkan hatinya sampai berkeping-keping untuk kemudian membangunnya kembali.

Kira-kira begitu 🙂

 

Sebutlah Itu Panggilan

Cah! Aku nemu skenario Jomblo Box!”

Sebuah pesan singkat masuk di handphoneku yang bututnya minta ampun. Persis ketika pesan singkat dari Adan masuk, handphone-ku mati. Jadilah aku membuka baterai sejenak kemudian menyalakannya kembali. Selalu demikian setiap kali aku menerima pesan singkat. Selalu menderita. Dan jangan pula melakukan panggilan telepon denganku. Kecuali handphone-ku sedang tersambung charger, maka panggilan telepon akan membuatnya mati segera.

Mau beli baru? Tidak bisa. Maklum, sejak aku memutuskan untuk keluar dari farmasi dan beralih ke keguruan, minta duit ke orang tua menjadi tabu bagiku. Ah, keputusan ajaib itu.

“Kamu mau pindah jurusan?” tanya Papa dengan suara tinggi.

“Iya Pa,” jawabku berusaha tenang.

“Bahkan uang untuk kamu masuk farmasi saja belum lunas, Leon!”

“Baik Pa, nanti Leon ganti kalau sudah ada uang.”

“Memangnya apa masalahmu?”

“Leon nggak enjoy Pa. Sangat sangat tidak menikmati. Leon nggak bisa bergaul dengan apalah itu namanya reaksi kimia. Nggak bisa, Pa.”

“Itu kan baru dasar Leon. Nanti ke depan pasti lebih menarik.”

“Nggak Papa. Buat Leon jadi guru lebih menarik dan menantang.”

“Maksudmu Leon?”

“Aku mau pindah keguruan Pa!”

“Jadi guru?”

“Ya!” ujarku mantap.

“Ya ampun Leon. Kapan kamu kaya kalau cita-cita kamu begitu?”

“Emang hidup hanya untuk kaya ya Pa? Nggak Pa. Hidup itu lebih dari itu!”

“Anak kecil ngomong hidup. Nggak usah sok-sokan Leon. Nggak ada cerita kamu pindah jurusan, apalagi ke keguruan. Titik.”

“Tapi, Pa..”

“Tidak ada sanggahan. Tidak adalah tidak.”

Aku beranjak. Entah apa yang ada di pikiran Papa sehingga aku tidak boleh pindah jurusan. Tapi aku adalah aku, sama kerasnya dengan Papa.

“Tidak adalah tidak juga berlaku untuk Leon, Pa.”

“Ngeyel kamu?” bentak Papa.

“Untuk kebaikan Leon sendiri. Leon akan tetap pindah jurusan.”

“Anak durhaka.”

Aku pergi. Dan sejak itu, pulang ke rumah serasa pulang ke kuburan. Sunyi. Tidak ada hubungan yang apik antara aku dan Papa, antara anak dan orang tuanya. Aku tahu, Papa masih sering mencari tahu tentang kemajuan akademisku dari Mama.

Yah, hanya Mama yang memberi sedikit kehangatan di tempat aku tumbuh besar ini. Dan Mama sendiri takluk pada kerasnya Papa, sehingga cenderung tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu punya uang Leon? Ini kan sudah semester baru,” tanya Mama suatu kali saat tiba-tiba masuk ke kamarku.

“Tenang Ma. Leon sudah menyiapkan semuanya.”

“Kamu yakin?”

“Pasti Ma. Tenang saja.”

“Baiklah, kalau kamu ada kesulitan, bilang sama Mama ya. Berapa IP kamu semester kemarin.”

“Lumayan Ma. IPS-nya 3.88, jadi IPK Leon 3.50. Belum Cum Laude Ma. Semester depan Leon usahakan.”

“Anak Mama memang pintar. Sayangnya, keras kepala,” risau Mama sambil mengelus-elus kepalaku.

“Sama kayak Papa. Turunan persis. Iya kan?” kataku sambil tersenyum, “Percaya Ma. Leon pasti akan berhasil di sini. Tenang saja.”

“Kamu keras, tapi kamu kuat Leon. Nggak sia-sia Papa kasih nama kamu Leonard.”

Aku tersenyum, berupaya tampak tak ada masalah dalam hidupku. Mama lantas beranjak pergi. Aku kembali dalam lamunanku di atas kasur.

Michael Leonard, itulah nama lengkapku. Kalau kata Mama, kedua nama itu adalah gabungan nama dua petinju terkenal. Michael itu diambil Papa dari Michael Moorer, petinju kelas berat. Sedangkan Leonard diambil dari nama Sugar Ray Leonard, legenda tinju pada masanya. Dan begitulah, Michael Leonard melekat pada akte kelahiranku, meski lantas panggilanku menjadi imut, Leon.

Etimologis nama itu tampak juga mempengaruhi karakterku. Aku keras, persis petinju, dan persis Papa. Jadi, kalau sudah berdebat dengan Papa, maka rumah akan menjadi sangat bising. Seringkali Mama menengahi dengan memintaku untuk mengalah, sesekali meminta Papa yang mengalah. Tapi, dua keras yang bertemu tentu tidak akan dengan mudah mengalah, meski demi Mama sekalipun.

Aku tahu, pada dasarnya Papa keras padaku karena sayang. Tidaklah ada orang tua yang membenci anaknya, separah apapun kelakuan anaknya. Untuk keputusanku pindah ke keguruan, aku yakin itu hanya kesalahan perspektif Papa saja. Papa sampai sekarang adalah seorang guru, namun entah mengapa perspektifnya berbeda dengan guru-guru lain. Teman-teman Papa dengan rela dan suka hati menyekolahkan anaknya yang bercita-cita menjadi guru, tapi Papa tidak.

“Pendidikan itu bisnis Leon. Nggak usah kamu ikut dalam arus macam ini,” sebut Papa dalam suatu diskusi keras bersamaku.

“Tapi bukankah itu pengabdian, Pa?”

“Apakah kamu bilang pengabdian kalau konsep-konsep ujian nasional, remidi, dan segala pendekatan yang mendewakan siswa itu dilakukan?”

“Bukankah pendidikan itu untuk memintarkan siswa, Pa?”

“Papa akan sangat setuju kalau kamu jadi guru pada jaman Papa, bukan sekarang. Ada berapa banyak siswa kurang ajar sekarang? Ada berapa banyak siswa yang menganggap tidak mengerjakan PR itu biasa? Ada berapa banyak siswa yang datang ke sekolah hanya untuk pameran mobil barunya? Ini realitasnya Leon. Papa tahu, dan Papa ingin kamu hidup lebih baik.”

“Bagaimana kalau ini panggilan Leon, Pa?”

“Panggilan itu soal mendengar dan melakukan Leon. Kamu bisa saja mendengar, tapi toh kamu tak harus melakukan. Percaya sama Papa, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Sebagian dari kisah Papa pada akhirnya aku temui benar. Aku tidak dapat menyalahkan Papa sepenuhnya soal ini. Aku membiayai kuliahku dengan mengajar privat kimia. Sebagai mahasiswa keguruan kimia, tentu tidak sulit bagiku mendapat anak didik. Bahkan aku sampai menolak tawaran privat, saking padatnya jadwal.

Aku mengamati fenomena anak didik yang betul-betul tidak peduli pada tugas yang diterimanya di sekolah. Aku juga mengamati rasa malas-malasan sepulang dari sekolah. Aku menangkapnya dengan jelas. Tapi bukankah itu bisa diubah? Itulah panggilanku, maka aku memilih berdiri di tempatku sekarang.

Wey sombong. Ora bales SMS!”

Pesan singkat lagi, kali ini handphone-ku tidak mati karena memang sedang bertemu charger. Handphone butut ini sudah semacam telepon rumah. Kalau telepon rumah tidak bisa lepas dengan kabel koneksi, maka handphone ini tidak lagi bisa lepas dari charger. Maka, buatku, charger adalah kebutuhan primer keempat selain sandang, pangan, dan papan. Anak-anak lesku juga paham soal ini karena aku selalu mencari colokan listrik setiap kali sampai ke rumah mereka.

Ngerti dewe hp-ku. Lha piye? Digawe po?”

Pesan singkat balasan dariku meluncur ke Adan.

“Hahaha.. Biasa.. Isu tanpa konsep. Itulah kita.”

Ya, itulah kita, selalu begitu balasan Adan. Aku, Adan, Ola, dan Yo adalah pertemanan yang penuh dengan ide, namun minim realisasi. Tapi aku menikmati pertemananku dengan mereka, meski sekarang statusku adalah adik kelas mereka.

Adan dan aku adalah teman satu kelompok waktu inisasi fakultas. Aku sendiri sekelas dengan Ola dan bahkan satu kelompok praktikum dengan Yo. Ketika aku memutuskan keluar farmasi sesudah semester dua, mereka sempat kaget.

“Yakin kowe?” tanya Ola lembut, sesuai takdirnya sebagai satu-satunya hawa dalam persahabatan kami.

“Kudu yakin, La.”

Ora eman?” kali ini Yo yang bertanya, “Tukang cuci kayak aku wae bertahan kok. Nanti yang gawe laporan siapa nek kowe keluar Le?”

Yo, dalam kemalasannya, memang menjadi tukang cuci alat gelas ketika praktikum dan selalu meminjam laporanku untuk dicontek pada H-1 pengumpulan laporan.

“Diatur wae Yo!” tandasku ringan.

Adan menambahkan, “Ya, kalau itu pilihanmu Le, silahkan saja. Aku sih bisanya bilang gitu. Sebutlah itu panggilan, yo kudu dituruti Le.”

“Sip! Kalian memang teman paling joss sedunia.”

Pria Yang Setia Pada Janjinya

Adit tampak gundah, tangannya sesekali mampir ke kepala dan merusak tatanan rambutnya. Raut mukanya juga lesu. Betul-betul tanpa gairah sama sekali. Sendirian, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di taman belakang kampus.

Tiba-tiba kakinya seperti terantuk sesuatu.

“Asem!” teriaknya. Mahasiswa Jogja memang selalu punya cara untuk mengakomodasi umpatan sehingga tampak lebih halus.

Adit menunduk, memegangi kakinya yang hanya tertutup sepatu sandal. Bagaimanapun, itu sakit. Untunglah Adit tidak melihat adanya luka pada kakinya. Menyadari kakinya baik-baik saja, Adit penasaran pada benda yang mendadak mampir ke kakinya. Adit hobi jalan-jalan sendiri di taman belakang kampus dan paham setiap detail di tempat ini. Baginya, terantuk sesuatu di tempat yang sangat dikenal, adalah keanehan.

Raut muka gundah dan lesu segera bertambah ekspresi penasaran. Rasa itu muncul ketika Adit melihat sebuah kotak kayu kuno tergeletak manis ditutupi dedaunan.

“Sejak kapan ada barang begini disini?” gumam Adit sambil membersihkan kotak itu dari dedaunan. Tangannya menelusuri setiap bagian dari kotak kayu kuno dan mendapati sebuah buah gembok disana.

“Kotak itu akan menjawab mimpimu, anak muda.”

Adit kaget sejadi-jadinya melihat seorang pria berjenggot putih 1 meter sudah ada di hadapannya. Alih-alih bertanya lebih lanjut, Adit mengambil langkah seribu. Kabur.

Dengan nafas terengah-engah, Adit terkapar di Lorong Cinta yang terletak di tengah kampus. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang berharap pria berjenggot putih 1 meter itu tidak mengikutinya. Kampus di sore hari pada hari Minggu tentu saja sepi. Adit berada di area maha besar itu sendirian.

Ketika nafasnya mulai tertata rapi, Adit mengambil posisi duduk yang lebih nyaman, bersandar pada pilar Lorong Cinta. Tangannya menimang kotak kayu kuno dengan sebuah gembok. Pikirannya melayang pada perkataan pria berjenggot putih 1 meter.

“Kotak ini akan menjawab mimpimu!”

“Kudu dibuka kalau gitu,” kata Adit, tentu kepada dirinya sendiri, “Tapi piye?”

Adit membolak-balik kotak kayu kuno itu, berharap ada metode lain membuka kotak tersebut tanpa harus mendapatkan gemboknya. Lima belas menit dan puluhan kali bolak-balik, Adit berhenti pada keputusasaan.

“Dit!” Tiba-tiba Vita datang dan menepuk bahu Adit dari belakang.

“Eh!” Antara kaget, malu, senang, dan bingung, Adit kehilangan diksi.

“Ngapain di kampus minggu-minggu?” tanya Vita sambil melontarkan senyum manisnya.

Sebuah senyum yang menjadi mimpi Adit.

“Nggak apa-apa. Maklum lagi galau.”

“Pantes tak cari ke kos nggak ada. Aku mau balikin kunci lab nih,” ujar Vita sambil menjulurkan tangan putihnya yang bertaut serenteng kunci.

“Oke! Habis ini mau kemana, Vit?”

“Ya pulang kos lah. Kenapa?”

“Tunggu sebentar.”

Vita menatap bingung. Adit dengan tergesa-gesa mencoba satu persatu dari serenteng kunci yang diberikan Vita untuk membuka gembok kota kayu kuno yang ada di hadapannya.

“Kamu ngapain, Dit?”

Adit tidak menjawab, fokusnya tertuju sepenuhnya pada kotak kayu kuno dan mimpinya untuk memiliki senyum manis Vita.

“Yes!” teriak Adit. Kunci ke-17 alias percobaan terakhir dari serenteng kunci dari Vita berhasil membuka kotak kayu kuno itu. Vita semakin mengernyitkan dahinya, bingung. Adit semakin bersemangat membuka kotak itu.

“Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah. Jikalau mimpi itu harus dikejar, kejarlah. Jikalau mimpi itu butuh pengorbanan, berkorbanlah. Jikalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah.”

Adit terkesiap. Vita kebingungan. Dua fenomena makhluk hidup yang tampak absurd untuk terjadi pada saat yang sama.
“Kalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah,” bisik Adit.

“Ngomong apa, Dit?” tanya Vita heran.

“Aku sayang kamu.”

“Apa?”

“Aku sayang kamu, Vita.”

Lorong Cinta, Adit, Vita, dan sebuah ungkapan mimpi. Angin bertiup ringan menembus dedaunan, memberi kesejukan untuk sebuah penantian akan jawaban.

Aku menyunggingkan senyum termanis. Tangan dan mataku belum bisa lepas dari selembar kertas yang kupegang. Mataku mulai berkaca-kaca kala kembali memandangi judul yang tertera pada selembar kertas itu, JOMBLO BOX.  Pikirku lantas melayang ke masa  lampau.

Cah, gawe film yuk!” kata Yo sambil tiduran di kasurku.

“Sok. Gawe tugas wae nggak kelar-kelar,” sergah Ola sambil tetap asyik main Snake.

“Hiburan, La. Mosok hidup dengan tugas terus,” ujar Yo membalas argumen Ola.

“Tapi boleh juga tuh. Dan, gawe skenario yo!” timpal Leon sambil tetap asyik memandangi layar monitor yang sedang beralih fungsi jadi televisi.

“Tenan yo! Ojo jadi isu tanpa konsep ini.”

“Justru kamu yang bikin konsepnya, Dan,” racau Yo di balik guling.

Dua bulir air mata menyelinap turun membasahi kulit wajah gelapku, seorang pria sentimentil. Rekaman percakapan asal muasal cerita yang barusan kubaca membawa kenanganku kembali ke masa silam, tepatnya tiga tahun yang lalu.

Film Jomblo Box itu tidaklah pernah menjadi realisasi. Bahkan naskahnya saja terselip manis di dalam tumpukan laporan praktikum di dalam kardus. Aku memang hobi menyimpan semua dokumen, meskipun pada kenyataannya sebagian besar adalah sampah. Setidaknya, ketika aku membongkar kamar, aku bisa sejenak tersenyum seperti ini. Konsekuensinya, kamarku menjadi laksana gudang atau mungkin tempat sampah.

Biarlah, nyatanya tiga sahabatku bisa dengan tenang beristirahat di ruangan 3 kali 3 meter ini. Kamar ini adalah peraduan dari empat orang yang berusaha memulai mimpi dengan langkah, persis seperti yang kutulis di naskah Jomblo Box. Meski cerita itu menjadi isu tanpa konsep, setidaknya aku berhasil menemukan sebuah frase yang menguatkan. “Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah” kemudian menempel manis di styrofoam orange yang melekat di dinding kamarku.

“Rrrrttttttt…. Rrrrrttttttt….,” kasurku bergetar.

Sebuah pesan singkat dari Nia, pacarku.

“Say, udah makan?”

Pertanyaan klasik standar yang selalu dipakai untuk memulai percakapan.

“Udah say. Lagi ngapain?” balasku. Ini juga menu standar.

Aku dan Nia bertemu di awal kuliah dalam sebuah kepanitiaan lintas fakultas.  Itu sudah tiga tahun yang lalu. Sudah setahun ini Nia bekerja di Palembang. Pendidikannya sebagai guru SD yang hanya butuh dua tahun tentu berbeda denganku yang masih harus berkutat dengan teori di kampus. Ketika Nia berkisah tentang realita kerjanya, aku hanya bisa menjawab dengan kutipan buku-buku. Sungguh tidak berimbang.

Beginilah aku dan Nia sekarang, puluhan pesan singkat terkirim setiap hari. Kalau malam menjelang, aku dan Nia akan menghabiskan waktu hingga kuping panas atau salah satu dari kami tertidur. Realita Long Distance Relationship. Untunglah hubungan ini masih bisa bertahan.

Tidak ada balasan dari Nia. Mungkin pacarku itu sedang sibuk mengajar atau koreksi. Aku berusaha memahaminya, seperti Nia memahamiku. Mungkin itulah yang menyebabkan hubungan pisah laut yang kami lakoni bisa bertahan.

Cerita Jomblo Box tadi tiba-tiba menggelorakan niatku untuk memasukkannya ke dunia maya. Aku blogger aktif yang sayangnya belum punya laptop dan modem sendiri. Maka aku dengan rutin dan senang hati menghabiskan uang kirimanku untuk sekadar 1-2 jam berkelana di dunia maya. Blogku dikunjungi setidaknya 50 kali per hari. Aku ingin pengunjung di blogku membaca kisah lama yang tidak pernah terwujud itu.

Pandanganku terhenti sejenak pada kondisi kamar yang lebih parah daripada kapal pecah. Tadinya aku hendak mengumpulkan bahan-bahan selama kuliah Profesi Apoteker guna persiapan ujian komprehensif. Tapi tampaknya menulis blog menjadi hal yang paling menarik saat ini. Perkara kamar berantakan biarlah diurus nanti.

Beginilah kehidupanku, Adan Setia Dharma. Entah mengapa orang tuaku tidak memakai saja istilah umum untuk menamaiku. Adan itu sejatinya sama dengan Adam. Mungkin orang tuaku tidak menginginkanku berkumis macam Om Adam suaminya Tante Inul.

Namaku tidaklah mengandung arti yang sangat berat. Orang tuaku hanya menginginkanku menjadi seorang pria yang setia pada janjinya. Itulah prinsip yang selalu aku junjung tinggi karena bagaimanapun seluruh dunia akan menangkap langsung dari namaku bahwa aku ini selalu setia pada janjiku sendiri. Itulah sebabnya aku berusaha lulus secepat mungkin untuk bisa mewujudkan janjiku membantu orang tua. Adikku empat dan masih sekolah semua, jadi aku harus cepat-cepat menjadi apoteker, cepat-cepat bekerja, dan cepat-cepat membantu orang tua.

Aku selalu merasa kesasar setiap kali hendak lulus karena jiwaku sejatinya bukanlah di farmasi. Seperti karyaku yang terselip di dalam tumpukan, aku lebih nyaman menulis. Bahkan mimpiku adalah menjadi penulis, sungguh tidak nyambung dengan keadaanku sebagai calon apoteker.

Kadang memang hidup harus realistis. Aku selalu berusaha memahami itu sambil tetap berupaya mencari langkah untuk mewujudkan mimpiku.

Telepon genggamku bergetar lagi. Nia membalas pesan singkatku.

“Lagi kangen kamu, sayang :)”

Pulang, Ke Hati Yang Bertuan

Aku pulang
setelah pencarian akan sebuah peraduan
setelah penyadaran akan sebuah kenyataan
setelah peringatan yang (mungkin) datang dari Tuhan

Aku pulang
setelah aku tidak menemukan tujuan
setelah aku tidak melihat masa depan
setelah aku tidak merasa nyaman

sumber: socialmediaforsmartpeople.com

Aku pulang
ke tempat yang masih sama
ke ruang yang tetap tiada
ke hati yang tetap tidak terbuka

Aku pulang
karena cinta memintaku pulang
karena hati ini merindu ruang
karena jiwa ini merasa sayang

Aku pulang
ya, aku pulang

Aku pulang
ke hati yang bertuan
ke hati penuh buncah kerinduan
ke hati pencari kesetiaan

Aku pulang
ke tempat yang tuannya bukan aku
ke tempat yang tidak merinduku
ke tempat yang tidak mencariku

Aku pulang
karena aku ingin pulang
karena aku masih berharap akan sebuah ruang
karena aku merasa menyerah sebelum berjuang

Aku pulang
untuk sebuah rasa yang tak terkatakan
pada sebuah hati yang jelas-jelas bertuan
demi sebuah rasa yang tak tertahankan

Aku pulang,
demi cinta.

Dalam sebuah permenungan, 030912

Batak Itu Satu Keluarga

Berawal dan bermula dari mau bikin rancangan plot yang sudah jelas bab 1-nya, tapi terkendala masalah plot lanjutan berikut kejutan yang maunya ada surprise. Hmmm… malah lari ke sejarah BATAK. Hahahaha..

Eh, tapi Batak itu unik loh. Asli. Sejak kapan orang yang tidak saling kenal bisa ‘dianggap’ bersaudara semata-mata karena kesamaan marga? Ehm, ternyata dari sononya, memang sudah begitu. Nggak percaya?

Saya coba kulik-kulik dari sini dan mencoba menerjemahkannya dalam excel. Heleh, kotak lagi 🙂

Jadi Si Raja Batak punya dua anak yakni Raja Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Nah, turunan Raja Tatea Bulan adalah sbb:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Kalau dari Raja Isombaon, sebagai berikut:

sumber: reka-reka @ariesadhar

Jadi silahkan dicari marga masing-masing. Itu yang kuning itu sebenarnya satu rangkaian tapi bakal jadi rempong kala saya deret ke bawah, puanjanggg.. Kalau mau lebih jelas, silahkan datang ke lapo-lapo terdekat, biasanya ada TAROMBO yang bisa dilihat.

Ini mirip sebuah lagu: aku Batak, kamu juga Batak, kita Batak yang satu keluarga… *nyanyi mode on*

🙂

Antologi Mayor Berikutnya

Kalau teman-teman sekalian melihat pojok kanan atas blog ini, dan teman-teman sekalian adalah pengunjung setia blog sederhana ini, pastinya ngelihat ada perbedaan.

Yup, ada gambar lain yang muncul disana, tidak hanya foto buku “Kebelet Kawin, Mak!”. Ada tambahan, namanya “Radio Galau FM Fans Stories”.

Syukur kepada Tuhan bahwa saya disempatkan untuk ngecek TL ketika lomba “Radio Galau FM Fans Stories” ini di-tweet. Kala itu, saya sudah capek menulis galau. Tapi, saya lantas berpikir, nggak apa-apalah, sekali-sekali ini. Kalau masuk, kan bisa jadi buku.

Maka, saya hanya membuka sebuah cerita di blog ini juga, tanpa mengganti judulnya. Silahkan search FOTO DALAM DOMPET. Yak, cerpen mini di tanggal 24 Januari 2012 itu yang saya rekarasa untuk kemudian dikirim ke penerbit Wahyumedia.

Well, silahkan berargumen soal copy paste dan lainnya. Bagi saya, ini cerita saya yang tulis, jadi ya suka-suka saya mau diapakan. Iya kan?

Dan saya memilih untuk mengganti tokoh dalam cerita itu plus mengganti endingnya. Ending itupun ditemukan persis ketika mengetik. Ya, saya memang penulis dengan inspirasi sambil jalan. Sungguh berbanding terbalik dengan keseharian saya sebagai orang planning.

Lama, dan lamaaaaaa… akhirnya ada pengumuman. @ariesadhar menembus lomba itu. Syukurlah. Tapi lama dan lamaaaaa baru dapat kabar. Sebenarnya saya bahkan hampir lupa sebelum kemudian ada yang SMS minta alamat untuk pengiriman hadiah. Terus saya kepo ke linimasa, dan ternyata itu buku sudah ada sejak tengah bulan. KEMANE AJE?

Hmmm, pas kemarin saya ke Central Park, ada reuni sama anak-anak PSM CF. Jadi mampir ke Gramedia, dan menemukan buku itu. Seperti biasa, saya beli lebih dari 1, walaupun nanti pasti dapat bukti terbit dan saya toh nggak dapat royalti (karena sudah include di hadiah), tapi saya ya begitu memang. Nanti buku itu kan bisa saya kirim ke ortu, buat nambah-nambah koleksi di rumah. Cinta Membaca (indie) dan Kebelet Kawin, Mak! (Gradien) juga saya kirim ke rumah kok.

Uniknya, buku ini ada di rak BEST SELLER. Wew! Setelah saya berburu “Kebelet Kawin, Mak!” di rak TERBARU Plaza Semanggi, kini saya menemukan buku yang ada tulisan saya-nya di rak BEST SELLER Central Park.

Oke. Masalahnya sekarang, tidak ada lagi pendingan lomba yang saya punya. Sejak Mei saya kehilangan sentuhan menulis. Harus bagaimana ini? Bagaimana dengan cita-cita saya punya buku sendiri?

Itu juga ada kisahnya. Agak sedih sih. Tapi, penulis bagus-pun pernah ditolak kan? Ya anggap saja ini jalan menjadi penulis bagus.

Masalahnya, 2 bulan sesudah mengirim naskah buku, saya ditelepon sama editor, katanya naskahnya oke, tapi menunggu meeting dulu. Karena saya sabar, jadi ya saya tunggu. Dan sampai sekarang saya menunggu. Akhir Agustus itu persis 4 bulan naskah saya dikirim. Artinya? Ya itu bermakna penolakan. Ya sudah. Mari berkarya lagi kalau begitu 🙂

Oh iya, soal tokoh, saya harus mengucapkan terima kasih kepada teman saya yang namanya saya pakai sebagai tokoh di kedua cerpen, baik di “Kebelet Kawin, Mak!” dan di “Radio Galau FM Fans Stories”. Thanks a lot! Apa itu bermakna namanya harus dipakai sebagai tokoh di novel supaya buku saya bisa diterima? Hehehe, entahlah.