“Cah! Aku nemu skenario Jomblo Box!”
Sebuah pesan singkat masuk di handphoneku yang bututnya minta ampun. Persis ketika pesan singkat dari Adan masuk, handphone-ku mati. Jadilah aku membuka baterai sejenak kemudian menyalakannya kembali. Selalu demikian setiap kali aku menerima pesan singkat. Selalu menderita. Dan jangan pula melakukan panggilan telepon denganku. Kecuali handphone-ku sedang tersambung charger, maka panggilan telepon akan membuatnya mati segera.
Mau beli baru? Tidak bisa. Maklum, sejak aku memutuskan untuk keluar dari farmasi dan beralih ke keguruan, minta duit ke orang tua menjadi tabu bagiku. Ah, keputusan ajaib itu.
“Kamu mau pindah jurusan?” tanya Papa dengan suara tinggi.
“Iya Pa,” jawabku berusaha tenang.
“Bahkan uang untuk kamu masuk farmasi saja belum lunas, Leon!”
“Baik Pa, nanti Leon ganti kalau sudah ada uang.”
“Memangnya apa masalahmu?”
“Leon nggak enjoy Pa. Sangat sangat tidak menikmati. Leon nggak bisa bergaul dengan apalah itu namanya reaksi kimia. Nggak bisa, Pa.”
“Itu kan baru dasar Leon. Nanti ke depan pasti lebih menarik.”
“Nggak Papa. Buat Leon jadi guru lebih menarik dan menantang.”
“Maksudmu Leon?”
“Aku mau pindah keguruan Pa!”
“Jadi guru?”
“Ya!” ujarku mantap.
“Ya ampun Leon. Kapan kamu kaya kalau cita-cita kamu begitu?”
“Emang hidup hanya untuk kaya ya Pa? Nggak Pa. Hidup itu lebih dari itu!”
“Anak kecil ngomong hidup. Nggak usah sok-sokan Leon. Nggak ada cerita kamu pindah jurusan, apalagi ke keguruan. Titik.”
“Tapi, Pa..”
“Tidak ada sanggahan. Tidak adalah tidak.”
Aku beranjak. Entah apa yang ada di pikiran Papa sehingga aku tidak boleh pindah jurusan. Tapi aku adalah aku, sama kerasnya dengan Papa.
“Tidak adalah tidak juga berlaku untuk Leon, Pa.”
“Ngeyel kamu?” bentak Papa.
“Untuk kebaikan Leon sendiri. Leon akan tetap pindah jurusan.”
“Anak durhaka.”
Aku pergi. Dan sejak itu, pulang ke rumah serasa pulang ke kuburan. Sunyi. Tidak ada hubungan yang apik antara aku dan Papa, antara anak dan orang tuanya. Aku tahu, Papa masih sering mencari tahu tentang kemajuan akademisku dari Mama.
Yah, hanya Mama yang memberi sedikit kehangatan di tempat aku tumbuh besar ini. Dan Mama sendiri takluk pada kerasnya Papa, sehingga cenderung tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kamu punya uang Leon? Ini kan sudah semester baru,” tanya Mama suatu kali saat tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Tenang Ma. Leon sudah menyiapkan semuanya.”
“Kamu yakin?”
“Pasti Ma. Tenang saja.”
“Baiklah, kalau kamu ada kesulitan, bilang sama Mama ya. Berapa IP kamu semester kemarin.”
“Lumayan Ma. IPS-nya 3.88, jadi IPK Leon 3.50. Belum Cum Laude Ma. Semester depan Leon usahakan.”
“Anak Mama memang pintar. Sayangnya, keras kepala,” risau Mama sambil mengelus-elus kepalaku.
“Sama kayak Papa. Turunan persis. Iya kan?” kataku sambil tersenyum, “Percaya Ma. Leon pasti akan berhasil di sini. Tenang saja.”
“Kamu keras, tapi kamu kuat Leon. Nggak sia-sia Papa kasih nama kamu Leonard.”
Aku tersenyum, berupaya tampak tak ada masalah dalam hidupku. Mama lantas beranjak pergi. Aku kembali dalam lamunanku di atas kasur.
Michael Leonard, itulah nama lengkapku. Kalau kata Mama, kedua nama itu adalah gabungan nama dua petinju terkenal. Michael itu diambil Papa dari Michael Moorer, petinju kelas berat. Sedangkan Leonard diambil dari nama Sugar Ray Leonard, legenda tinju pada masanya. Dan begitulah, Michael Leonard melekat pada akte kelahiranku, meski lantas panggilanku menjadi imut, Leon.
Etimologis nama itu tampak juga mempengaruhi karakterku. Aku keras, persis petinju, dan persis Papa. Jadi, kalau sudah berdebat dengan Papa, maka rumah akan menjadi sangat bising. Seringkali Mama menengahi dengan memintaku untuk mengalah, sesekali meminta Papa yang mengalah. Tapi, dua keras yang bertemu tentu tidak akan dengan mudah mengalah, meski demi Mama sekalipun.
Aku tahu, pada dasarnya Papa keras padaku karena sayang. Tidaklah ada orang tua yang membenci anaknya, separah apapun kelakuan anaknya. Untuk keputusanku pindah ke keguruan, aku yakin itu hanya kesalahan perspektif Papa saja. Papa sampai sekarang adalah seorang guru, namun entah mengapa perspektifnya berbeda dengan guru-guru lain. Teman-teman Papa dengan rela dan suka hati menyekolahkan anaknya yang bercita-cita menjadi guru, tapi Papa tidak.
“Pendidikan itu bisnis Leon. Nggak usah kamu ikut dalam arus macam ini,” sebut Papa dalam suatu diskusi keras bersamaku.
“Tapi bukankah itu pengabdian, Pa?”
“Apakah kamu bilang pengabdian kalau konsep-konsep ujian nasional, remidi, dan segala pendekatan yang mendewakan siswa itu dilakukan?”
“Bukankah pendidikan itu untuk memintarkan siswa, Pa?”
“Papa akan sangat setuju kalau kamu jadi guru pada jaman Papa, bukan sekarang. Ada berapa banyak siswa kurang ajar sekarang? Ada berapa banyak siswa yang menganggap tidak mengerjakan PR itu biasa? Ada berapa banyak siswa yang datang ke sekolah hanya untuk pameran mobil barunya? Ini realitasnya Leon. Papa tahu, dan Papa ingin kamu hidup lebih baik.”
“Bagaimana kalau ini panggilan Leon, Pa?”
“Panggilan itu soal mendengar dan melakukan Leon. Kamu bisa saja mendengar, tapi toh kamu tak harus melakukan. Percaya sama Papa, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.”
Sebagian dari kisah Papa pada akhirnya aku temui benar. Aku tidak dapat menyalahkan Papa sepenuhnya soal ini. Aku membiayai kuliahku dengan mengajar privat kimia. Sebagai mahasiswa keguruan kimia, tentu tidak sulit bagiku mendapat anak didik. Bahkan aku sampai menolak tawaran privat, saking padatnya jadwal.
Aku mengamati fenomena anak didik yang betul-betul tidak peduli pada tugas yang diterimanya di sekolah. Aku juga mengamati rasa malas-malasan sepulang dari sekolah. Aku menangkapnya dengan jelas. Tapi bukankah itu bisa diubah? Itulah panggilanku, maka aku memilih berdiri di tempatku sekarang.
“Wey sombong. Ora bales SMS!”
Pesan singkat lagi, kali ini handphone-ku tidak mati karena memang sedang bertemu charger. Handphone butut ini sudah semacam telepon rumah. Kalau telepon rumah tidak bisa lepas dengan kabel koneksi, maka handphone ini tidak lagi bisa lepas dari charger. Maka, buatku, charger adalah kebutuhan primer keempat selain sandang, pangan, dan papan. Anak-anak lesku juga paham soal ini karena aku selalu mencari colokan listrik setiap kali sampai ke rumah mereka.
“Ngerti dewe hp-ku. Lha piye? Digawe po?”
Pesan singkat balasan dariku meluncur ke Adan.
“Hahaha.. Biasa.. Isu tanpa konsep. Itulah kita.”
Ya, itulah kita, selalu begitu balasan Adan. Aku, Adan, Ola, dan Yo adalah pertemanan yang penuh dengan ide, namun minim realisasi. Tapi aku menikmati pertemananku dengan mereka, meski sekarang statusku adalah adik kelas mereka.
Adan dan aku adalah teman satu kelompok waktu inisasi fakultas. Aku sendiri sekelas dengan Ola dan bahkan satu kelompok praktikum dengan Yo. Ketika aku memutuskan keluar farmasi sesudah semester dua, mereka sempat kaget.
“Yakin kowe?” tanya Ola lembut, sesuai takdirnya sebagai satu-satunya hawa dalam persahabatan kami.
“Kudu yakin, La.”
“Ora eman?” kali ini Yo yang bertanya, “Tukang cuci kayak aku wae bertahan kok. Nanti yang gawe laporan siapa nek kowe keluar Le?”
Yo, dalam kemalasannya, memang menjadi tukang cuci alat gelas ketika praktikum dan selalu meminjam laporanku untuk dicontek pada H-1 pengumpulan laporan.
“Diatur wae Yo!” tandasku ringan.
Adan menambahkan, “Ya, kalau itu pilihanmu Le, silahkan saja. Aku sih bisanya bilang gitu. Sebutlah itu panggilan, yo kudu dituruti Le.”
“Sip! Kalian memang teman paling joss sedunia.”