Cinta

Mario berdiri mematung di dekat papan pengumuman kampus. Matanya awas memandang ke ujung lorong yang menuju ke tempatnya berdiri. Sudah dua puluh menit ia berdiam disana. Benar-benar berdiri diam sambil sesekali melihat pengumuman dan pada kali lain melihat jam tangannya.

Dua puluh dua menit sesudah Mario berdiri, yang dinanti tiba. Sesosok gadis berambut lurus, memakai behel, dan agak bungkuk muncul dari kejauhan. Mario bersiap, matanya tak lepas menatap gadis itu. Jantungnya berdetak lebih kencang pertanda sirkulasi darahnya meningkat. Ia hendak melangkah, namun mendadak tercekat.

Jarak Mario dan gadis itu tinggal sepuluh meter. Perlahan menipis menjadi sembilan, delapan, enam, empat, dua, satu, dan… satu, dua, empat, enam, delapan, sembilan, dan seterusnya.

Gadis itu berjalan, berlalu di hadapan Mario yang berdiri berdiam tercekat tanpa daya. Mario hanya menatap lekat gadis itu, dari kejauhan hingga dekat dan lantas menjauh lagi. Kepalanya mengikuti langkah gadis yang menjauh itu, kali ini dengan pemandangan tampak belakang. Hanya tas biru dongker dan rambut lurus yang tampak semakin mengecil, menjauh, dan perlahan hilang di kejauhan.

Itulah keseharian Mario. Berdiri di papan pengumuman dengan kaos panitia penerimaan mahasiswa baru, celana jeans longgar, dan tas sandang yang tidak pernah dicuci. Tidak sepanjang waktu Mario ada disana. Ia punya jadwal untuk itu, tentunya menyesuaikan jadwal kuliah gadis yang hendak dilihatnya.

Gadis itu tidak bisa dibilang cantik, tapi harus dibilang menarik. Ia bukanlah gadis yang mempesona dengan dandanan rapi. Lihatlah, hanya baju kaos, celana jeans, dan sepatu sporty. Tas yang dipakai juga jenis ransel. Tidak ada aksesoris berlebihan selain sebuah jam tangan di lengan kirinya. Sesederhana itulah definisi Mario tentang gadis yang menarik. Sesederhana itu pula definisi Mario terhadap jatuh cinta.

Mario beranjak dari tempatnya berdiri untuk duduk di kursi taman kampus. Ia bersiap untuk penantian 2 jam ke depan. Ya, 2 jam adalah waktu kuliah yang diambil gadis tadi. Mario akan menanti dengan sabar guna menyaksikan gadis menarik itu muncul dari kejauhan, mendekat ke arahnya, dan kemudian berlalu lantas pergi menjauh untuk kembali hilang di kejauhan. Mario menikmati hari-harinya. Ia sungguh nyaman dengan hanya memandang, mengamati, dan melakukan hal-hal lain dari kejauhan. Mario tahu benar, jatuh cinta tanpa tendensi memiliki akan tataran tertinggi dalam jatuh cinta.

Advertisement

Senja

Butir-butir pasir itu terhempas pilu. Air garam dalam jumlah dan tekanan yang besar datang menghampiri dan menerpa tanpa ampun. Hanya  sisa debur yang membahana ke studio maha luas yang terhampar disana. Ada pula angin yang membelai lembut butir-butir pasir yang sudah terhempas tanpa ampun itu.

Kupandangi semua sudut dengan sendu. Mataku menyipit oleh terang. Cahaya terhampar begitu luasnya, tanpa dibatasi oleh apapun. Semuanya sampai ke mataku dan itu cukup menjadi alasan aku memicingkan mata. Tentunya, selain karena genangan air mata masih ada di sana, dalam jumlah yang cukup. Genangan itu sedang bersiap untuk tumpah.

Sudut demi sudut melintas di mataku lewat sebuah gerakan kepala melingkar. Ah! Selalu ada sudut yang siap menumpahkan genangan air mata yang volumenya semakin bertambah ini. Sebuah pondokan kecil, sebongkah batu besar, hingga sebiji kelapa yang terkapar manis di dermaga kecil. Tiga sudut itulah yang mampu meruntuhkan pertahanan akan genangan yang ada di kelopak mataku.

Terang perlahan meredup. Sebuah bongkahan kuning kemerahan tampak di ujung horison. Ujung inilah yang membuat Colombus pergi mencari kebenaran. Ujung inilah yang terus dilihat Colombus dalam setiap pencariannya. Ujung yang ternyata tidak berujung. Sebuah silogisme yang lantas menjelma menjadi kebenaran.

Ujung itu pula yang aku lihat, ketika berada di pondokan kecil yang bersebelahan dengan batu besar sambil memegang kelapa muda. Waktu itu aku tidak sendiri, tidak pula beramai-ramai. Aku dan dia, berdua, terdiam menatap ujung yang sama.

“Jadi kita selesai?” tanyaku sambil menunduk dan memutar-muar buah kelapa yang sudah kosong itu.

“Iya, Mas.”

“Nggak ada kesempatan untukku memperbaiki sesuatu?”

“Nggak. Aku sudah kasih kesempatan itu, tapi kamu masih mengulanginya.”

“Yah, baiklah.”

Momen yang sama. Tiupan angin, debur air asin yang bergantian sampai ke daratan, suasana, hingga warna menjelang temaram. Semuanya sama. Bedanya, aku kini sendirian. Tidak ada si cantik itu lagi di sebelahku. Aku hanya sibuk mengingat-ingat peristiwa yang seharusnya tidak diingat. Untuk apa sebuah kejadian pahit itu diingat? Bukankah lebih baik aku bangkit dan memperbaiki diri serta melanjutkan hidup?

Kalaulah hidup ini semudah berkata-kata, pasti aku sudah melakoninya. Akan tetapi, jiwaku masih pada si cantik itu. Itulah sebabnya aku kembali ke pantai ini, pada waktu yang serupa, pada suasana yang sama, saat aku harus melepaskannya.

Objek kuning yang terang itu semakin redup ditelan horison. Gelap mulai menggantikan hadirnya. Sebuah pertanda untuk meninggalkan tempat ini, dan memulai kehidupan baru yang sebenarnya.

“Mas, kok disini?”

Aku mengenali suara itu dengan jelas.

“Kamu juga, kok disini?”

Si cantik ada disini, di tempat yang sama ketika ia memutuskan untuk berpisah denganku. Jantungku berdegup kencang, mendadak asa membuncah dalam diri.

“Ngobrol yuk!” ajakku.

Si cantik mengangguk. Sisa-sisa terang membuatku masih bisa melihat anggukannya. Aku beranjak dalam harapan baru. Pada saat yang sama, sang mentari menghilang di ujung horison untuk datang lagi esok hari.