Pria Yang Punya Rasa

“Jangan pernah mau disentuh-sentuh cowok, apalagi yang lebih jauh,” ujar temanku berkali-kali, dan kebetulan diulang lagi.

“Emang kenapa?”

“Pasti nanti diceritain sama temen-temennya. Eh, gue udah nyium dia, gue uda ngapa-ngapain dia.”

Aku terdiam. Selintas kemudian, aku bersyukur. Setidaknya aku berada di pergaulan yang benar.

“Nggak semua cowok kayak gitu kali.”

Nggak semua, karena proses pendewasaanku mengajari demikian. Cerita antar lelaki yang aku tahu adalah tidak jauh-jauh dari rasa, bukan nafsu. Karena, ada yang bilang, sesejati-sejatinya lelaki, adalah lelaki yang mengandalkan rasa alih-alih nafsunya.

Nah, mau tahu tipe-tipe obrolan cowok berbasis rasa. Berikut paparannya.

1. Labil sesi 1

“Piye, Bon?” tanya Chiko sambil menepuk bahu Bona.

“Mbohlah.”

“Lha piye?”

“Yo, mboh.”

“Putus wae po?”

“Nggak. Kalo nggak sama dia, mending aku jadi homo.”

Beberapa hari kemudian, Chiko dan Bona bertemu lagi.

“Piye?”

“Wis ah, sekarang realistis wae,” ujar Bona, dengan pandangan tetap menerawang.

Cowok yang punya rasa memiliki kecenderungan labil, antara mempertahankan atau realistis.

2. Kurang Ajar edisi 1

“Ko, pinjem motor?” teriak Roman dari depan kos.

“Meh nangndi?” tanya Chiko, sambil tetap tiduran.

“Sono.” Roman menunjuk arah utara.

“Belok kiri opo kanan?”

“Lha ngopo emang?”

Cowok yang punya rasa, pasti akan berpura-pura soal ini. Ya begitulah, ke kanan itu menuju arah kos Adel. Kalau ke kiri itu menuju kos Eny, TTM-nya Roman.

“Kiri kanan?”

“Kiri lah,” rapal Roman sambil menyambar kunci motor Chiko.

Cowok yang punya rasa, cenderung tidak menutupi sesuatu atas nama kepura-puraan, meskipun itu tetap kurang ajar namanya.

3. Labil sesi 2

“Kowe masih kontak sama Irin?” tanyaku terkejut.

“Iyo. Udah putus kok dia.”

“Setelah yang dia lakukan sebelumnya.”

“Iyo bro. Kalau nggak sama dia, aku nggak bakal nyari yang satu fakultas lagi.”

“Tak catet omonganmu, Ko.”

Beberapa bulan kemudian, sisi labil terungkap.

“Wis ora?”

“Lha aku dicuekin terus. Pengen ketemu, terus tak sudahi wae,” ujar Chiko.

“Iyolah.”

Dan tak sampai 3 bulan.

“Wis jadian po kowe?”

“Wis.”

“Sama Cintia?”

“Iyo.”

“Lha, katanya nggak mau yang satu fakultas lagi.”

“Ya, setiap hal ada perkecualiannya lah,” kekeh Chiko, ala playboy. *halah*

Cowok yang punya rasa tidak akan punya keputusan yang menetap, semuanya relatif, termasuk perkecualiannya.

4. Kurang ajar edisi 2

“Lha Alin ki duwe bojo?”

“Iyo.”

“Ngopo kowe deket-deket?” berondong Chiko.

“Nggak apa-apa toh?”

“Pacar orang kuwi.”

“Iyo. Ngerti,” sahutku.

Hari-hari berikutnya.

“Masih kontak sama Alin?”

“Masih.”

“Awas wae kena batunya kowe.”

Dan cowok yang punya rasa itu hampir pasti kena batunya. Termasuk aku menemukan batu yang itu. Gede pula.

5. Konsisten

“Lha kowe ngopo kudu golek suku kuwi?” selidikku.

“Panjang ceritanya,” sahut Prima. Dengan tenang, panjang kali lebar kali tinggi, ia menjelaskan perihal seleranya terhadap cewek dari satu jenis ras.

“Yo terserah sih. Saranku sih, realistis wae.”

“Yo iki, wis realistis cah.”

Dan berikutnya, yang kudapati adalah Prima belum pernah berhasil mendapatkan kekasih dari etnis yang ia tetapkan. Cowok yang punya rasa itu cenderung konsisten. Meskipun outputnya adalah konsisten ditolak.

6. Tidak Percaya Sebelum Melihat

“Eh, eh, aku ono cerito,” bisik Bayu. Aku mendekat mendengarkan.

“Tadi, aku ke kosnya Putri. Malah ketemu Danu. Mana Putri lagi tidur di pahanya Danu pula.”

“Lha ngopo juga kowe kesana?” tanyaku.

“Ya, pengen aja.”

“Udah denger kan kalau Putri sama Danu?”

“Ya, pengen lihat.”

“Abis lihat? Terus galau kan?”

“…….”

Yah, meski pahit, cowok yang punya rasa cenderung ingin memastikan sendiri. Sekalian ingin memecahkan hatinya sampai berkeping-keping untuk kemudian membangunnya kembali.

Kira-kira begitu 🙂

 

Advertisement

Sebutlah Itu Panggilan

“Cah! Aku nemu skenario Jomblo Box!”

Sebuah pesan singkat masuk di handphoneku yang bututnya minta ampun. Persis ketika pesan singkat dari Adan masuk, handphone-ku mati. Jadilah aku membuka baterai sejenak kemudian menyalakannya kembali. Selalu demikian setiap kali aku menerima pesan singkat. Selalu menderita. Dan jangan pula melakukan panggilan telepon denganku. Kecuali handphone-ku sedang tersambung charger, maka panggilan telepon akan membuatnya mati segera.

Mau beli baru? Tidak bisa. Maklum, sejak aku memutuskan untuk keluar dari farmasi dan beralih ke keguruan, minta duit ke orang tua menjadi tabu bagiku. Ah, keputusan ajaib itu.

“Kamu mau pindah jurusan?” tanya Papa dengan suara tinggi.

“Iya Pa,” jawabku berusaha tenang.

“Bahkan uang untuk kamu masuk farmasi saja belum lunas, Leon!”

“Baik Pa, nanti Leon ganti kalau sudah ada uang.”

“Memangnya apa masalahmu?”

“Leon nggak enjoy Pa. Sangat sangat tidak menikmati. Leon nggak bisa bergaul dengan apalah itu namanya reaksi kimia. Nggak bisa, Pa.”

“Itu kan baru dasar Leon. Nanti ke depan pasti lebih menarik.”

“Nggak Papa. Buat Leon jadi guru lebih menarik dan menantang.”

“Maksudmu Leon?”

“Aku mau pindah keguruan Pa!”

“Jadi guru?”

“Ya!” ujarku mantap.

“Ya ampun Leon. Kapan kamu kaya kalau cita-cita kamu begitu?”

“Emang hidup hanya untuk kaya ya Pa? Nggak Pa. Hidup itu lebih dari itu!”

“Anak kecil ngomong hidup. Nggak usah sok-sokan Leon. Nggak ada cerita kamu pindah jurusan, apalagi ke keguruan. Titik.”

“Tapi, Pa..”

“Tidak ada sanggahan. Tidak adalah tidak.”

Aku beranjak. Entah apa yang ada di pikiran Papa sehingga aku tidak boleh pindah jurusan. Tapi aku adalah aku, sama kerasnya dengan Papa.

“Tidak adalah tidak juga berlaku untuk Leon, Pa.”

“Ngeyel kamu?” bentak Papa.

“Untuk kebaikan Leon sendiri. Leon akan tetap pindah jurusan.”

“Anak durhaka.”

Aku pergi. Dan sejak itu, pulang ke rumah serasa pulang ke kuburan. Sunyi. Tidak ada hubungan yang apik antara aku dan Papa, antara anak dan orang tuanya. Aku tahu, Papa masih sering mencari tahu tentang kemajuan akademisku dari Mama.

Yah, hanya Mama yang memberi sedikit kehangatan di tempat aku tumbuh besar ini. Dan Mama sendiri takluk pada kerasnya Papa, sehingga cenderung tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu punya uang Leon? Ini kan sudah semester baru,” tanya Mama suatu kali saat tiba-tiba masuk ke kamarku.

“Tenang Ma. Leon sudah menyiapkan semuanya.”

“Kamu yakin?”

“Pasti Ma. Tenang saja.”

“Baiklah, kalau kamu ada kesulitan, bilang sama Mama ya. Berapa IP kamu semester kemarin.”

“Lumayan Ma. IPS-nya 3.88, jadi IPK Leon 3.50. Belum Cum Laude Ma. Semester depan Leon usahakan.”

“Anak Mama memang pintar. Sayangnya, keras kepala,” risau Mama sambil mengelus-elus kepalaku.

“Sama kayak Papa. Turunan persis. Iya kan?” kataku sambil tersenyum, “Percaya Ma. Leon pasti akan berhasil di sini. Tenang saja.”

“Kamu keras, tapi kamu kuat Leon. Nggak sia-sia Papa kasih nama kamu Leonard.”

Aku tersenyum, berupaya tampak tak ada masalah dalam hidupku. Mama lantas beranjak pergi. Aku kembali dalam lamunanku di atas kasur.

Michael Leonard, itulah nama lengkapku. Kalau kata Mama, kedua nama itu adalah gabungan nama dua petinju terkenal. Michael itu diambil Papa dari Michael Moorer, petinju kelas berat. Sedangkan Leonard diambil dari nama Sugar Ray Leonard, legenda tinju pada masanya. Dan begitulah, Michael Leonard melekat pada akte kelahiranku, meski lantas panggilanku menjadi imut, Leon.

Etimologis nama itu tampak juga mempengaruhi karakterku. Aku keras, persis petinju, dan persis Papa. Jadi, kalau sudah berdebat dengan Papa, maka rumah akan menjadi sangat bising. Seringkali Mama menengahi dengan memintaku untuk mengalah, sesekali meminta Papa yang mengalah. Tapi, dua keras yang bertemu tentu tidak akan dengan mudah mengalah, meski demi Mama sekalipun.

Aku tahu, pada dasarnya Papa keras padaku karena sayang. Tidaklah ada orang tua yang membenci anaknya, separah apapun kelakuan anaknya. Untuk keputusanku pindah ke keguruan, aku yakin itu hanya kesalahan perspektif Papa saja. Papa sampai sekarang adalah seorang guru, namun entah mengapa perspektifnya berbeda dengan guru-guru lain. Teman-teman Papa dengan rela dan suka hati menyekolahkan anaknya yang bercita-cita menjadi guru, tapi Papa tidak.

“Pendidikan itu bisnis Leon. Nggak usah kamu ikut dalam arus macam ini,” sebut Papa dalam suatu diskusi keras bersamaku.

“Tapi bukankah itu pengabdian, Pa?”

“Apakah kamu bilang pengabdian kalau konsep-konsep ujian nasional, remidi, dan segala pendekatan yang mendewakan siswa itu dilakukan?”

“Bukankah pendidikan itu untuk memintarkan siswa, Pa?”

“Papa akan sangat setuju kalau kamu jadi guru pada jaman Papa, bukan sekarang. Ada berapa banyak siswa kurang ajar sekarang? Ada berapa banyak siswa yang menganggap tidak mengerjakan PR itu biasa? Ada berapa banyak siswa yang datang ke sekolah hanya untuk pameran mobil barunya? Ini realitasnya Leon. Papa tahu, dan Papa ingin kamu hidup lebih baik.”

“Bagaimana kalau ini panggilan Leon, Pa?”

“Panggilan itu soal mendengar dan melakukan Leon. Kamu bisa saja mendengar, tapi toh kamu tak harus melakukan. Percaya sama Papa, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Sebagian dari kisah Papa pada akhirnya aku temui benar. Aku tidak dapat menyalahkan Papa sepenuhnya soal ini. Aku membiayai kuliahku dengan mengajar privat kimia. Sebagai mahasiswa keguruan kimia, tentu tidak sulit bagiku mendapat anak didik. Bahkan aku sampai menolak tawaran privat, saking padatnya jadwal.

Aku mengamati fenomena anak didik yang betul-betul tidak peduli pada tugas yang diterimanya di sekolah. Aku juga mengamati rasa malas-malasan sepulang dari sekolah. Aku menangkapnya dengan jelas. Tapi bukankah itu bisa diubah? Itulah panggilanku, maka aku memilih berdiri di tempatku sekarang.

“Wey sombong. Ora bales SMS!”

Pesan singkat lagi, kali ini handphone-ku tidak mati karena memang sedang bertemu charger. Handphone butut ini sudah semacam telepon rumah. Kalau telepon rumah tidak bisa lepas dengan kabel koneksi, maka handphone ini tidak lagi bisa lepas dari charger. Maka, buatku, charger adalah kebutuhan primer keempat selain sandang, pangan, dan papan. Anak-anak lesku juga paham soal ini karena aku selalu mencari colokan listrik setiap kali sampai ke rumah mereka.

“Ngerti dewe hp-ku. Lha piye? Digawe po?”

Pesan singkat balasan dariku meluncur ke Adan.

“Hahaha.. Biasa.. Isu tanpa konsep. Itulah kita.”

Ya, itulah kita, selalu begitu balasan Adan. Aku, Adan, Ola, dan Yo adalah pertemanan yang penuh dengan ide, namun minim realisasi. Tapi aku menikmati pertemananku dengan mereka, meski sekarang statusku adalah adik kelas mereka.

Adan dan aku adalah teman satu kelompok waktu inisasi fakultas. Aku sendiri sekelas dengan Ola dan bahkan satu kelompok praktikum dengan Yo. Ketika aku memutuskan keluar farmasi sesudah semester dua, mereka sempat kaget.

“Yakin kowe?” tanya Ola lembut, sesuai takdirnya sebagai satu-satunya hawa dalam persahabatan kami.

“Kudu yakin, La.”

“Ora eman?” kali ini Yo yang bertanya, “Tukang cuci kayak aku wae bertahan kok. Nanti yang gawe laporan siapa nek kowe keluar Le?”

Yo, dalam kemalasannya, memang menjadi tukang cuci alat gelas ketika praktikum dan selalu meminjam laporanku untuk dicontek pada H-1 pengumpulan laporan.

“Diatur wae Yo!” tandasku ringan.

Adan menambahkan, “Ya, kalau itu pilihanmu Le, silahkan saja. Aku sih bisanya bilang gitu. Sebutlah itu panggilan, yo kudu dituruti Le.”

“Sip! Kalian memang teman paling joss sedunia.”

Pria Yang Setia Pada Janjinya

Adit tampak gundah, tangannya sesekali mampir ke kepala dan merusak tatanan rambutnya. Raut mukanya juga lesu. Betul-betul tanpa gairah sama sekali. Sendirian, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di taman belakang kampus.

Tiba-tiba kakinya seperti terantuk sesuatu.

“Asem!” teriaknya. Mahasiswa Jogja memang selalu punya cara untuk mengakomodasi umpatan sehingga tampak lebih halus.

Adit menunduk, memegangi kakinya yang hanya tertutup sepatu sandal. Bagaimanapun, itu sakit. Untunglah Adit tidak melihat adanya luka pada kakinya. Menyadari kakinya baik-baik saja, Adit penasaran pada benda yang mendadak mampir ke kakinya. Adit hobi jalan-jalan sendiri di taman belakang kampus dan paham setiap detail di tempat ini. Baginya, terantuk sesuatu di tempat yang sangat dikenal, adalah keanehan.

Raut muka gundah dan lesu segera bertambah ekspresi penasaran. Rasa itu muncul ketika Adit melihat sebuah kotak kayu kuno tergeletak manis ditutupi dedaunan.

“Sejak kapan ada barang begini disini?” gumam Adit sambil membersihkan kotak itu dari dedaunan. Tangannya menelusuri setiap bagian dari kotak kayu kuno dan mendapati sebuah buah gembok disana.

“Kotak itu akan menjawab mimpimu, anak muda.”

Adit kaget sejadi-jadinya melihat seorang pria berjenggot putih 1 meter sudah ada di hadapannya. Alih-alih bertanya lebih lanjut, Adit mengambil langkah seribu. Kabur.

Dengan nafas terengah-engah, Adit terkapar di Lorong Cinta yang terletak di tengah kampus. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang berharap pria berjenggot putih 1 meter itu tidak mengikutinya. Kampus di sore hari pada hari Minggu tentu saja sepi. Adit berada di area maha besar itu sendirian.

Ketika nafasnya mulai tertata rapi, Adit mengambil posisi duduk yang lebih nyaman, bersandar pada pilar Lorong Cinta. Tangannya menimang kotak kayu kuno dengan sebuah gembok. Pikirannya melayang pada perkataan pria berjenggot putih 1 meter.

“Kotak ini akan menjawab mimpimu!”

“Kudu dibuka kalau gitu,” kata Adit, tentu kepada dirinya sendiri, “Tapi piye?”

Adit membolak-balik kotak kayu kuno itu, berharap ada metode lain membuka kotak tersebut tanpa harus mendapatkan gemboknya. Lima belas menit dan puluhan kali bolak-balik, Adit berhenti pada keputusasaan.

“Dit!” Tiba-tiba Vita datang dan menepuk bahu Adit dari belakang.

“Eh!” Antara kaget, malu, senang, dan bingung, Adit kehilangan diksi.

“Ngapain di kampus minggu-minggu?” tanya Vita sambil melontarkan senyum manisnya.

Sebuah senyum yang menjadi mimpi Adit.

“Nggak apa-apa. Maklum lagi galau.”

“Pantes tak cari ke kos nggak ada. Aku mau balikin kunci lab nih,” ujar Vita sambil menjulurkan tangan putihnya yang bertaut serenteng kunci.

“Oke! Habis ini mau kemana, Vit?”

“Ya pulang kos lah. Kenapa?”

“Tunggu sebentar.”

Vita menatap bingung. Adit dengan tergesa-gesa mencoba satu persatu dari serenteng kunci yang diberikan Vita untuk membuka gembok kota kayu kuno yang ada di hadapannya.

“Kamu ngapain, Dit?”

Adit tidak menjawab, fokusnya tertuju sepenuhnya pada kotak kayu kuno dan mimpinya untuk memiliki senyum manis Vita.

“Yes!” teriak Adit. Kunci ke-17 alias percobaan terakhir dari serenteng kunci dari Vita berhasil membuka kotak kayu kuno itu. Vita semakin mengernyitkan dahinya, bingung. Adit semakin bersemangat membuka kotak itu.

“Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah. Jikalau mimpi itu harus dikejar, kejarlah. Jikalau mimpi itu butuh pengorbanan, berkorbanlah. Jikalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah.”

Adit terkesiap. Vita kebingungan. Dua fenomena makhluk hidup yang tampak absurd untuk terjadi pada saat yang sama.
“Kalau mimpi itu harus diungkap, ungkaplah,” bisik Adit.

“Ngomong apa, Dit?” tanya Vita heran.

“Aku sayang kamu.”

“Apa?”

“Aku sayang kamu, Vita.”

Lorong Cinta, Adit, Vita, dan sebuah ungkapan mimpi. Angin bertiup ringan menembus dedaunan, memberi kesejukan untuk sebuah penantian akan jawaban.

Aku menyunggingkan senyum termanis. Tangan dan mataku belum bisa lepas dari selembar kertas yang kupegang. Mataku mulai berkaca-kaca kala kembali memandangi judul yang tertera pada selembar kertas itu, JOMBLO BOX.  Pikirku lantas melayang ke masa  lampau.

“Cah, gawe film yuk!” kata Yo sambil tiduran di kasurku.

“Sok. Gawe tugas wae nggak kelar-kelar,” sergah Ola sambil tetap asyik main Snake.

“Hiburan, La. Mosok hidup dengan tugas terus,” ujar Yo membalas argumen Ola.

“Tapi boleh juga tuh. Dan, gawe skenario yo!” timpal Leon sambil tetap asyik memandangi layar monitor yang sedang beralih fungsi jadi televisi.

“Tenan yo! Ojo jadi isu tanpa konsep ini.”

“Justru kamu yang bikin konsepnya, Dan,” racau Yo di balik guling.

Dua bulir air mata menyelinap turun membasahi kulit wajah gelapku, seorang pria sentimentil. Rekaman percakapan asal muasal cerita yang barusan kubaca membawa kenanganku kembali ke masa silam, tepatnya tiga tahun yang lalu.

Film Jomblo Box itu tidaklah pernah menjadi realisasi. Bahkan naskahnya saja terselip manis di dalam tumpukan laporan praktikum di dalam kardus. Aku memang hobi menyimpan semua dokumen, meskipun pada kenyataannya sebagian besar adalah sampah. Setidaknya, ketika aku membongkar kamar, aku bisa sejenak tersenyum seperti ini. Konsekuensinya, kamarku menjadi laksana gudang atau mungkin tempat sampah.

Biarlah, nyatanya tiga sahabatku bisa dengan tenang beristirahat di ruangan 3 kali 3 meter ini. Kamar ini adalah peraduan dari empat orang yang berusaha memulai mimpi dengan langkah, persis seperti yang kutulis di naskah Jomblo Box. Meski cerita itu menjadi isu tanpa konsep, setidaknya aku berhasil menemukan sebuah frase yang menguatkan. “Tidak ada mimpi yang terwujud tanpa sebuah langkah” kemudian menempel manis di styrofoam orange yang melekat di dinding kamarku.

“Rrrrttttttt…. Rrrrrttttttt….,” kasurku bergetar.

Sebuah pesan singkat dari Nia, pacarku.

“Say, udah makan?”

Pertanyaan klasik standar yang selalu dipakai untuk memulai percakapan.

“Udah say. Lagi ngapain?” balasku. Ini juga menu standar.

Aku dan Nia bertemu di awal kuliah dalam sebuah kepanitiaan lintas fakultas.  Itu sudah tiga tahun yang lalu. Sudah setahun ini Nia bekerja di Palembang. Pendidikannya sebagai guru SD yang hanya butuh dua tahun tentu berbeda denganku yang masih harus berkutat dengan teori di kampus. Ketika Nia berkisah tentang realita kerjanya, aku hanya bisa menjawab dengan kutipan buku-buku. Sungguh tidak berimbang.

Beginilah aku dan Nia sekarang, puluhan pesan singkat terkirim setiap hari. Kalau malam menjelang, aku dan Nia akan menghabiskan waktu hingga kuping panas atau salah satu dari kami tertidur. Realita Long Distance Relationship. Untunglah hubungan ini masih bisa bertahan.

Tidak ada balasan dari Nia. Mungkin pacarku itu sedang sibuk mengajar atau koreksi. Aku berusaha memahaminya, seperti Nia memahamiku. Mungkin itulah yang menyebabkan hubungan pisah laut yang kami lakoni bisa bertahan.

Cerita Jomblo Box tadi tiba-tiba menggelorakan niatku untuk memasukkannya ke dunia maya. Aku blogger aktif yang sayangnya belum punya laptop dan modem sendiri. Maka aku dengan rutin dan senang hati menghabiskan uang kirimanku untuk sekadar 1-2 jam berkelana di dunia maya. Blogku dikunjungi setidaknya 50 kali per hari. Aku ingin pengunjung di blogku membaca kisah lama yang tidak pernah terwujud itu.

Pandanganku terhenti sejenak pada kondisi kamar yang lebih parah daripada kapal pecah. Tadinya aku hendak mengumpulkan bahan-bahan selama kuliah Profesi Apoteker guna persiapan ujian komprehensif. Tapi tampaknya menulis blog menjadi hal yang paling menarik saat ini. Perkara kamar berantakan biarlah diurus nanti.

Beginilah kehidupanku, Adan Setia Dharma. Entah mengapa orang tuaku tidak memakai saja istilah umum untuk menamaiku. Adan itu sejatinya sama dengan Adam. Mungkin orang tuaku tidak menginginkanku berkumis macam Om Adam suaminya Tante Inul.

Namaku tidaklah mengandung arti yang sangat berat. Orang tuaku hanya menginginkanku menjadi seorang pria yang setia pada janjinya. Itulah prinsip yang selalu aku junjung tinggi karena bagaimanapun seluruh dunia akan menangkap langsung dari namaku bahwa aku ini selalu setia pada janjiku sendiri. Itulah sebabnya aku berusaha lulus secepat mungkin untuk bisa mewujudkan janjiku membantu orang tua. Adikku empat dan masih sekolah semua, jadi aku harus cepat-cepat menjadi apoteker, cepat-cepat bekerja, dan cepat-cepat membantu orang tua.

Aku selalu merasa kesasar setiap kali hendak lulus karena jiwaku sejatinya bukanlah di farmasi. Seperti karyaku yang terselip di dalam tumpukan, aku lebih nyaman menulis. Bahkan mimpiku adalah menjadi penulis, sungguh tidak nyambung dengan keadaanku sebagai calon apoteker.

Kadang memang hidup harus realistis. Aku selalu berusaha memahami itu sambil tetap berupaya mencari langkah untuk mewujudkan mimpiku.

Telepon genggamku bergetar lagi. Nia membalas pesan singkatku.

“Lagi kangen kamu, sayang :)”