WhatsApp. Siapa yang kenal istilah itu sekarang? Hampir semua orang punya smartphone, dan aplikasi WhatsApp adalah aplikasi wajib yang terinstall di telepon pintar tersebut. Aplikasi besutan Brian Acton dan Jan Koum ini kemudian menjadi sangat jamak digunakan. Okelah ada Line atau Kakao yang iklannya begitu masif, apalagi soal stikernya, tapi nyatanya WhatsApp tetap menjadi pilihan. Menurut saya, pilihan WhatsApp adalah karena dia menjadi pemain pertama di aplikasi chatting lintas platform. WhatsApp awalnya dibuat untuk iOS, dan kemudian merambah ke Android dan lainnya. Apalagi, pada saat yang sama Blackberry masih asyik dengan ide eksklusivitas BBM. Jadilah, WhatsApp menjadi solusi chatting bagi pemilik BB dan ponsel lainnya.
Salah satu fenomena yang kemudian menjadi relevan adalah grup WhatsApp. Sekarang orang-orang sekantor pasti punya grup WhatsApp. Grup WhatsApp juga digunakan oleh rekan-rekan segenerasi. Ada grup WhatsApp yang isinya adalah eks murid TK Pertiwi tahun 1976. Ada grup WhatsApp yang isinya orang-orang yang tumbuh dan besar di Kampung Ngadirejo. Ada grup keluarga besar Ompung Raja. Ada juga grup WhatsApp berisi mantan-mantan seorang gadis yang sama. Bahkan, semacam terlalu over, grup WhatsApp itu menjadi sangat banyak tergantung keperluan. Grup orang kantor berisi level manajer sampai OB, dibuat oleh bos untuk tujuan kemudahan komunikasi. Pada saat yang sama, para level kroco kemudian membuat grup WhatsApp sendiri untuk nge-share guyonan garing hingga gambar PNS Bandung yang ternyata bukan PNS, bahkan juga bukan CPNS.
Nah, terkait dengan fenomena maraknya grup WhatsApp ini, ternyata ada beberapa kebiasaan unik. Hmm, unik disini dapat dimaknai aneh, dapat dimaknai menggemaskan, bisa juga menggelikan, bisa juga bikin kita ngelus dada Jupe. Apa sajakah itu?
Di-invite tidak dibilang, di-kick pun demikian
Grup WhatsApp terbentuk oleh adanya admin, dan suka-suka admin mau mengundang siapapun untuk masuk ke dalam grup. Juga suka-suka yang diundang untuk terlibat aktif di grup atau hanya sebagai silent reader atas informasi yang beredar. Pada umumnya, sangat jarang admin yang menanyakan kesediaan bergabung terlebih dahulu kepada orang yang diundang. Tahu-tahu sudah masuk ke dalam suatu grup dan chatting berjalan dengan kencangnya. Untuk menyikapi hal ini, saya memang memasang notifikasi silent pada grup WhatsApp sehingga badan saya nggak akan terganggu getaran hati ponsel ketika di perjalanan, padahal itu cuma grup. Nah, sudah nggak minta ijin masuk, kadang-kadang para silent reader itu dibuang seketika. Saya sendiri pernah mengalaminya. Masuk ke grup tanpa kehendak diri sendiri, kemudian pada suatu malam saya mendapat saya sudah keluar dari grup tersebut. Saya sendiri mengadmin beberapa grup, namun tidak bertindak sekehendaknya. Kalaulah ada yang saya kick, itu semata online-nya sudah beberapa minggu/bulan yang lalu. Jadi kemungkinan dia sudah nggak pakai ponsel itu.
Soalnya, berasa nggak sopan dan nggak jelas maunya si admin apaan. Sudah ng-invite, eh terus nge-kick tanpa pemberitahuan apapun. Nggak ada sopan-sopannya, gitu.
Chatting Di Grup
Punya grup WhatsApp? Pasti pernah ada yang bertanya satu hal dengan harapan banyak alternatif jawaban. Akan tetapi, sering terjadi bahwa yang menjawab itu hanya satu. Jawaban itu kurang lengkap, dan kemudian ditanya sana sini, terus menerus hingga semacam bicara di WhatsApp pribadi.
Sekarang bayangkan penghuni grup itu yang kemudian tidak membuat pengaturan silent pada notifikasi grup. Ponselnya akan bergetar terus-terusan, padahal tidak ada informasi yang sangat penting dari setiap getaran itu. Apakah sulitnya untuk meneruskan percakapan secara pribadi, setelah pertanyaan tadi sudah mendapat jawaban awal yang butuh penjelasan? Apalagi kalau konteksnya adalah keperluan pribadi, dan bukan terkait dengan kepentingan anggota grup yang lain
Ada Apa Ya?
Seringkali kita melihat percakapan WhatsApp tiba-tiba sudah banyak. Sering saya membuka ponsel sepulang gereja dan tahu-tahu sudah 210 pesan hanya dari 1 grup WhatsApp. Umumnya, percakapan sejenis itu bisa diabaikan. Cuma, ada beberapa kasus yang tidak bisa diabaikan. Misalnya ketika ada teman yang sakit dan jiwa kepo melanda untuk mengetahui kondisi teman tersebut. Kisah kondisi kemudian panjang dan lebar, sementara ada yang belum mengetahui informasi itu.
Nah, sekarang bayangkan perasaan orang yang sudah menjelaskan panjang lebar, lalu tetiba dua jam kemudian muncul seseorang dengan pertanyan, “Eh, memangnya dia sakit apa?”
WOI! SCROLL KE ATAS WOI! Kalau saya pribadi, sebisa mungkin saya scroll dulu ke atas untuk mengetahui percakapan barang sekilas. Atau kalau tidak, ya PM ke teman yang ada di grup, dan sebisa mungkin nggak menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah dijelaskan panjang lebar sebelumnya.
Grup Sebelah
Seperti saya bilang di atas bahwa ada kalanya 1 perkumpulan manusia punya beberapa grup. Misal grup gaul saya di Farmasi dulu. Versi isinya lelaki doang ada. Versi yang ada ceweknya ada. Versi yang lelaki doang dan isinya cuma ngomongin bola juga ada. Demikian pula dengan kelompok orientasi saya di pekerjaan baru ini. Grup satu kelompok tugas ada, grup dari jaman belum kopi darat ada dua malahan, pun grup yang isinya lelaki doang juga tersedia. Kalau di grup lelaki umumnya percakapan terjadi tanpa norma.
Nah, saking banyaknya grup ini, terkadang informasi yang disampaikan tidak diterima oleh anggota grup lainnya secara menyeluruh. Misal menyampaikan di grup lelaki yang ngomongin bola, maka lelaki yang tidak ikut ngomongin bola jadi nggak tahu informasinya.
lelaki ngerti bola 1: perkembangan si Anu gimana?
Lelaki ngerti bola 2: Ya gitu-gitu aja
Lelaki nggak ngerti bola: Emang ada apa sih?
Lelaki ngerti bola 1: Loh, kan udah dijelasin di grup sebelah
Padahal si lelaki nggak ngerti bola itu nggak ikutan di grup sebelah. Jadi mau tahu darimana ceritanya? Hmmm.
Mengucapkan Selamat/Belasungkawa, Padahal yang Dituju NGGAK ADA DI GRUP!
Ini kebiasaan paling absurd menurut saya, dan hanya di terjadi di grup WhatsApp. Seringkali percakapan di grup WhatsApp berisi tentang informasi kelahiran, ulang tahun, dan utamanya kabar duka. Nah, masalahnya seringkali begini:
Joko: Temans, kucing teman kita Paijo wafat kemaren karena panu.
Tukirin: Turut berduka ya!
Supoyo: Astaga! Ikut berduka ya!
Alex: WOY! PAIJO NGGAK ADA DI GRUP INI!
Logika pikir saja, sih. Kalau memang yang punya kabar nggak ada di grup, lalu tujuan ucapan turut berduka, turut bahagia, selamat, dan sejenisnya itu ditujukan kepada siapa? Ini adalah bentuk salah alamat paling fatal yang mungkin Oom Koum juga nggak akan menduga bakal terjadi.
Kalau kasus seperti ini, alangkah lebih baiknya disikapi dengan menginformasikan nomor HP manusia yang sedang bahagia/berduka saja. Jadi bisa disampaikan secara langsung, personal, dan tepat pada sasaran yang dituju. Daripada mengucapkan sesuatu yang jelas-jelas nggak ada gunanya.
Yah, begitulah beberapa fenomena yang saya tangkap. Bagi yang ngerasa mungkin bisa mencerna sisi baik dan buruk dari kebiasaan-kebiasaan yang saya capture. Oya, bagaimanapun WhatsApp membantu saya mendapatkan pacar. Terima kasih klinik Tong Fang!
wa oh wa deritanya tiada akhir… banyak bener grup celantang celentung tiap waktu, mau keluar takut nggak up date berita.. yo wis di silent
LikeLike
makanya notif grup tak off, daripada tangtingtung sepanjang waktu.. hehe..
LikeLike
Yang oke soal grup whatsapp dibandingin sama grup line itu adalah grup whatsapp cukup oke karena kemungkinan perang sticker terjadi lebih kecil.
LikeLike
Hahaha.. itu makanya di LINE notifnya off total..
LikeLike
level kroco hmmm…agak gimanaa gitu bacanya
LikeLike
Hmmmm….
LikeLike
Betul betul betul, trims…
LikeLike
Sami-sami.
LikeLike
saya keluar dari group kerjaan di kantor. Krn bos hobi salah krm pesan. Salah krm urusan kerja ke big bos nya yg ga ada di group. salah krm ucapan ultah ke mahluk yg ga ada di group. Salah krm ucapan makasi ke organisme yg ga ada di group. yg paling aneh bin ajaib pny habit krm info ke group dan ke chat pribadi dgn pesan yg sama.
LikeLike
Nggak apa-apa sama bosnya?
LikeLike