Choir Instan

Tidak hanya mie yang instan di jaman sekarang ini. Sesuatu yang berlabel instan sudah menggejala di segala sisi kehidupan. Sebut saja artis-artis yang hamilnya instan. Dengan prengas-prenges sana sini nikah bulan Januari, eh bulan Mei sudah punya anak pertama. Begitulah contoh hamil instan. Tapi anak pertama itu nggak prematur juga sih. Jadi, ya saya bingung.

Salah satu jenis instan yang lantas saya cicipi adalah dengan menjadi anggota choir instan!

Jadi ceritanya saya diajakin sama seorang teman untuk ikut koor paroki, dalam rangka mau ikut sebuah lomba yang bahkan saya nggak tahu lomba apaan. Berhubung kebetulan jadinya tanggal 7 kemaren saya kosong jadwalnya, ya sudah saya ikut. Apalagi sebagai seorang jomblo berkualitas, malam minggu saya juga kosong. Nah, konfirmasi saya ikut itu adalah tanggal 6 jam 4 sore. Lalu saya baru ikut latihan pertama dan terakhir tanggal 6 jam 8 malam. Dan naik panggungnya? Tanggal 7 jam 12 siang.

Kalau mau dirunut kembali, saya mulai gabung tanggal 6 jam 8 malam, sampai kemudian turun panggung di tanggal 7 siang, itu bahkan belum 24 jam saya bergabung dengan koor ini. Benar-benar instan. Orang PDKT aja nggak banyak yang secepat itu langsung jadian.

Kebetulan, ini lomba choir pertama yang saya ikuti tanpa embel-embel Cantus Firmus. Memang, waktu di Palembang, saya ikut choir juga, tapi tidak untuk kepentingan lomba. Waktu bareng-bareng Veronica juga nggak boleh ikutan lomba.

Nah, berkebetulan lokasi lombanya adalah tempat yang sama dengan lokasi penyisihan Mix Choir sebuah mall yang saya ikuti bareng CFX setahun yang lalu. Rasanya sih tanggalnya mirip, pokoknya minggu pertama Desember. Semacam mengulang memori kemenangan. Iya, seperti yang pernah saya tulis juga bahwa di lomba itu CFX lolos ke final dan kemudian jadi juara 1. Jangan lupakan prosesnya berupa baru lengkapnya anggota choir pertama kalinya ya di ruang transit menjelang naik ke panggung. Sebelumnya? Nggak pernah komplet dong.

Lalu koor yang saya ikuti menang nggak?

Tentu saja, tidak.

Ketika 15 kompetitor nggak pakai teks, dan hanya koornya saya yang pakai teks, kalau sampai ikutan menang, itu justru tragedi. Jadi ya sudahlah. Dengan orang-orang seperti saya yang bahkan baru join beberapa jam, bisa menyanyi dengan mulus saja sudah merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. Saya sih lebih memilih menikmati peserta-peserta lainnya. Termasuk teman-teman dari Surya University yang menyanyikan Mazmur 8, versi Inggris. Belum lagi kompetitor yang usianya sudah lebih tua dari Bapak, tapi tetap eksis ber-choir ria.

wpid-IMG_20131207_105458.jpg

Lalu apa yang kami dapat?

Enggg… Dalam pengakuan ke paroki, dan dibuktikan dengan medali yang diperoleh, pencapaian koor yang saya ikuti adalah SILVER MEDAL!

wpid-IMG_20131207_170605.jpg

Berarti, juara dua?

Jawabannya jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling: TIDAK.

Lah, terus piye?

Ya pokoknya begitu. Kami dapat SILVER, bukan juara DUA, dan yang juara SATU dapatnya GOLDEN MEDAL. Silakan disimpulkan sendiri.

wpid-IMG_20131207_172220.jpg

Yang jelas, keikutsertaan saya dalam lomba choir kali ini agak aneh. Soalnya peserta minimal adalah 20 orang, dan kedatangan saya menggenapkan orang menjadi 20. Jadi kalau nggak ada saya, koor ini nggak boleh ikut lomba. Ya, anggap saja demikian. Dua puluh orang mewakili 45 lingkungan di gereja (yang kata orang-orang oon adalah terbesar se-Asia Tenggara), tanpa official atau bahkan yang menunggui tas sekalipun? Tampak miris, sebenarnya. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah berlalu kok.

Satu hal yang bikin saya mengelus dada adalah tampilnya choir yang dikalahkan oleh CFX persis setahun yang lalu, di kategori Champion pula. Dan bahkan mereka meraih golden pada akhir acara. Bahwa sebenarnya, CFX layak mengikuti bagian Champion itu tadi. Termasuk ketemu lagi dengan Romo A. Soetanta yang pernah bilang begini ke CF pas di Golden Voice, “nama dan suaranya cocok.”

Pun lomba ini sebenarnya mengundang keheranan pribadi bagi saya. Opung saya dulu convert karena ogah memuji Maria. Lah, ini lombanya merupakan pujian bagi Bunda Maria. Belum lagi, saya melihat beberapa peserta justru berjilbab.

Ah, daripada heran, saya justru angkat jempol. Bahwa sebenarnya inilah Indonesia yang kita cari. 😀

Salam Instan!

Advertisement

7 thoughts on “Choir Instan”

      1. Hahaha..bahkan kami gak sempat nyiapin alat musik (dan memainkannya) untuk lagu kategori folklore. Gerakan tarian baru dilatih setelah sampe Palangkaraya (which is H-minus-sekian). Tapi kami boleh berbangga dalam kategori gospel&spiritual dan musica sacra. Bayar pelatihnya mahal bok!!

        Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.