Bukan hal mudah melupakanmu
Adalah sulit untuk tidak lagi sendu
Setelah tak lagi bertukar kata rindu
Ketika rasa harus disimpan rapat di kalbu
Jelas, semuanya itu tak mudah
Karena rangkaiannya terlanjut indah
Meski kemudian satu per satu patah
Terhampar berkeping berbalut perih
Tapi ketika semesta bertindak
Apakah aku bisa berkata tidak?
Apakah aku punya daya untuk menolak?
Ataukah aku layak bersorak?
Kamu muncul saat aku hendak melupakanmu
Kamu hadir di saat aku susah payah tidak merindu
Kamu ada ketika hati ini terlanjur pilu
Dan hati ini mendadak menjadi ragu
Ah, mungkin semua hanya kebetulan saja
Itu pikiran yang terlintas tiba-tiba
Meski lantas aku menangkap sebuah makna
Bahwa tidak ada kebetulan bagi semesta
Jadi, kubiarkan semuanya berjalan
Meski itu teramat sangat pelan
Agar aku lantas bisa mendapat pengertian
Bahwa kehendak semesta adalah acuan
Tidak ada lagi mencoba realistis
Bukan pula hendak menahan tangis
Aku hanya menerka segala rencana magis
Yang aku yakini pasti akan manis
Ketika semesta berbicara, tidak ada yang bisa membantah
Ketika semesta menulis, kadang malah banyak rona merah
Ketika semesta bekerja, pada dasarnya semua itu indah
Ketika semesta itu tentang kamu, maka aku hanya pasrah
Ah, pagi! Di era modern ini mungkin ayam asli sudah tidak berkehendak untuk berkokok subuh-subuh. Untunglah ada alarm yang punya bunyi seperti suara klasik pembangun tidur itu. Semata hendak mengenang masa lalu, maka bunyi itu yang kupilih untuk alarmku.
Aku berguling lemas, ini sama saja dengan pagi-pagi lainnya. Malas.
Yah, dulu pagiku penuh warna di ibukota, sampai kemudian sebuah perusahaan di kota ini menawariku pindah. Bosan dengan hiruk pikuk ibukota, akupun terbujuk.
Apa iya itu alasanku?
Tidak juga. Hal yang utama, karena Dila bekerja di kota ini. Mungkin menjadi hal absurd bagi seorang eksekutif muda berkarier gemilang memutuskan pindah dengan mempertimbangkan seorang gadis yang dicintai secara diam-diam.
Absurd? Bisa jadi. Akan tetapia aku percaya, dalam cinta, semua hal ada logikanya, termasuk hal absurd sekalipun.
Pagiku perlahan menjadi suram karena perlahan asa untuk mencintai itu semakin pudar. Dila bahkan memutuskan komunikasi denganku tanpa aku tahu sebabnya.
“Ilfil kali sama lu. Lagian, karier udah bagus-bagus disini, pake acara pindah gara-gara gebetan. Otak lu kemana bro?”
Demikian Joni, partnerku di tempat lama, pernah bilang kepadaku.
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu apartemenku diketuk. Ah, siapa pula yang datang sepagi ini. Bahkan ini belum jam 7 pagi.
Sejak Dila memutuskan komunikasinya denganku, aku sungguh tanpa daya. Malas adalah nama tengah di setiap aktivitas yang aku lakoni. Semuanya berjalan, tapi tanpa jiwa. Semuanya selesai, tapi nyaris tanpa makna. Syukurlah aku masih bisa menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik, meski tanpa jiwa dan makna.
Malas itu merembet sampai ke pagi hari. Bergerak adalah kesulitan terbesar bagiku di pagi hari. Aku lebih baik berguling kesana kemari alih-alih berdiri dan menuju pintu.
Tok.. Tok.. Tok..
Ya ampun! Aku menggerutu pahit. Ini sungguh menggangguku. Jadilah aku menyeret badanku menuju pintu yang sebenarnya tidak cukup jauh dari tempat tidurku. Kuusap wajahku sekilas, siapa tahu kotoran-kotoran selama tidur bisa berkurang sedikit.
Tok.. Tok.. Tok..
“Sebentar,” gerutuku.
Tanganku menggapai gagang pintu, kantuk membuatku lupa mengintip terlebih dahulu di lubang yang ada di pintu apartemenku.
Ayunan tanganku dengan ringan membuat pintu bergerak, menuju arahku, dan itu sama saja dengan terbuka. Pintu itu terbuka, memperlihatkan objek yang tidak aku kira sama sekali.
“Kamu? Ngapain?”
“Hai! Mau sarapan bareng?”
Tiba-tiba otakku memainkan sebuah film pendek, menutup semua fakta yang berdiri di sekitarku. Film pendek itu bernama kenangan.
“Mas, tukeran mau nggak?” ujar Dila, yang berdiri persis di sebelahku.
“Curang. Hmm, ya udah, sini.”
Aku dan Dila lantas bertukar beban. Latihan fisik paduan suara ini begitu beratnya sehingga setiap orang harus membawa beban untuk dibawa sambil bernyanyi. Dan terkadang bebannya tidak tanggung-tanggung, bisa 3 buah barbel dimasukkan ke dalam tas.
Parahnya lagi, beban itu harus dipertukarkan antar anggota paduan suara.
“Baik hati sekali kamu, Mas,” kata Dila sambil mengunyah pecel lele. Aku dan Dila makan bersama sepulang latihan yang gila itu.
“Yah, apa sih yang nggak buat Dila.”
“Gombalnya kamu, Mas.”
Dila yang cantik ini selalu ada di dekatku, karena memang aku selalu berusaha mendekat. Tapi tak sedikitpun aku berani bertindak lebih selain dekat dan perlahan menjadi sosok kakak bagi Dila.
Dila yang sama yang menjadi pertimbanganku
Film pendek bernama kenangan itu perlahan memudar dan menjelma menjadi sebuah kenyataan. Dila persis berdiri di depanku, ngajak sarapan pula.
“Mas? Mas? Kamu sadar nggak sih?”
Dila bertanya menyelidik. Sebuah tanya yang pasti keluar karena melihat tampangku yang absurd. Senyum mengembang, tatapan kosong menarawang. Ah, aku yakin siapapun yang berada di posisiku, pasti akan berlaku serupa.
Sahabat sejatiku Hilangkah dari ingatanmu Di hari kita saling berbagi
Tiba-tiba lagu “Sahabat Sejati” terngiang di telingaku, semata-mata karena mataku menangkap rangkaian huruf “Diutus Untuk Berbagi” di mobil yang masuk parkir persis di depanku.
Semesta memang pintar mengatur situasi. Bahkan setiap kejadian di semesta itu penuh dengan sebab dan akibat, logika dan keniscayaan. Kini terjadi, lagu itu terlintas keluar dari arsip otak karena hal sepele tapi pada momen yang tepat.
Kulihat BB-ku, sudah berulang kali kulihat pesan yang sama di Whatsapp ini dalam satu jam terakhir.
UGD, dekat pintu tembus ke Elisabeth
Kuletakkan kembali BB-ku di dashboard mobil sambil menanti mobil di depan bergerak.
Dengan kotak sejuta mimpi
Aku datang menghampirimu
Kuperlihatkan semua hartaku
Rumah sakit ini mungkin paling laku, hingga mencari tempat parkir mobil saja susahnya setengah mati. Mobil di depan beringsut perlahan. Aku menguntit dengan sabar.
Rumah sakit ini juga menyajikan setting yang kurang asyik. Begitu masuk ke area dalam, ada rumah duka di sisi kanan. Emosi langsung diaduk-aduk. Beberapa puluh meter kemudian, tampak makam para suster pada sisi yang sama dengan rumah duka. Ah, jadi ingat berita kecelakaan mobil bertahun silam yang menewaskan beberapa orang suster. Mereka beristirahat abadi di tempat ini.
Sampai titik ini aku belum mendapat tempat parkir. Itu berarti sebentar lagi aku akan melewati UGD. Aku pernah ada di tempat itu, jadi tahu tempat dan rasanya.
Sudah dimana?
Lewat UGD, nyari parkir 😦
Kita slalu berpendapat kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah Aku raja kaupun raja, aku hitam kaupun hitam
Arti teman teman lebih dari sekadar materi
Lagu yang sama masih terngiang di telingaku ketika aku menemukan celah di dekat poli anak. Langsung kuparkir mobilku disana dan bergegas turun berlari ke UGD.
Sayup-sayup terlintas berbagai peristiwa yang terpisah satu sama lain, namun terkoneksi oleh tokoh. Yah, aku dan Adit.
Terbayang ketika aku diantar ke tempat ini, terhuyung lemas di depan pintu UGD dan bertumpu pada punggung Adit. Teringat ketika belum lama ini aku dan Adit ngobrol panjang di kafe dekat Kambang Iwak. Terlintas pula segala obrolan panjang lebar soal masa depan, mimpi-mimpi masing-masing, dan banyak hal lainnya.
Pegang pundakku jangan pernah lepaskan
Bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar
Remas sayapku jangan pernah lepaskan
Bila ku ingin terbang, terbang meninggalkanmu
Aku memasuki pintu UGD. Sebagai mantan pasien, dan pernah berkali-kali kesini, aku tahu benar celahnya. Pintu itu memang selalu tertutup, tapi bisa dibuka oleh siapapun tanpa kecuali. Siapa pula yang hendak menutup pintu yang menjadi tumpuan masa depan orang banyak itu? Siapa yang hendak menghilangkan harapan orang lain akan kesembuhan di tempat itu?
Aku slalu membanggakanmu, kaupun slalu menyangjungku
Aku dan kamu darah abadi
Demi bermain bersama, kita duakan sgalanya
Merdeka kita-kita merdeka
Lagu yang sama mengiringi langkahku mencari bed tempat Adit berada. Terlintas sedikit saat-saat bahagia aku dan sahabatku itu. Memori ini muncul di saat yang tidak pas!
May melambai, aku berlari menghampiri. Dan kulihat tubuh Adit di tempat itu. Sungguhpun aku tidak sanggup berkata-kata.
Tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini Tak usah kita pikirkan akhir perjalanan ini
*terinspirasi oleh lagu Sahabat Sejati (Sheila on 7)
Mario berdiri mematung di dekat papan pengumuman kampus. Matanya awas memandang ke ujung lorong yang menuju ke tempatnya berdiri. Sudah dua puluh menit ia berdiam disana. Benar-benar berdiri diam sambil sesekali melihat pengumuman dan pada kali lain melihat jam tangannya.
Dua puluh dua menit sesudah Mario berdiri, yang dinanti tiba. Sesosok gadis berambut lurus, memakai behel, dan agak bungkuk muncul dari kejauhan. Mario bersiap, matanya tak lepas menatap gadis itu. Jantungnya berdetak lebih kencang pertanda sirkulasi darahnya meningkat. Ia hendak melangkah, namun mendadak tercekat.
Jarak Mario dan gadis itu tinggal sepuluh meter. Perlahan menipis menjadi sembilan, delapan, enam, empat, dua, satu, dan… satu, dua, empat, enam, delapan, sembilan, dan seterusnya.
Gadis itu berjalan, berlalu di hadapan Mario yang berdiri berdiam tercekat tanpa daya. Mario hanya menatap lekat gadis itu, dari kejauhan hingga dekat dan lantas menjauh lagi. Kepalanya mengikuti langkah gadis yang menjauh itu, kali ini dengan pemandangan tampak belakang. Hanya tas biru dongker dan rambut lurus yang tampak semakin mengecil, menjauh, dan perlahan hilang di kejauhan.
Itulah keseharian Mario. Berdiri di papan pengumuman dengan kaos panitia penerimaan mahasiswa baru, celana jeans longgar, dan tas sandang yang tidak pernah dicuci. Tidak sepanjang waktu Mario ada disana. Ia punya jadwal untuk itu, tentunya menyesuaikan jadwal kuliah gadis yang hendak dilihatnya.
Gadis itu tidak bisa dibilang cantik, tapi harus dibilang menarik. Ia bukanlah gadis yang mempesona dengan dandanan rapi. Lihatlah, hanya baju kaos, celana jeans, dan sepatu sporty. Tas yang dipakai juga jenis ransel. Tidak ada aksesoris berlebihan selain sebuah jam tangan di lengan kirinya. Sesederhana itulah definisi Mario tentang gadis yang menarik. Sesederhana itu pula definisi Mario terhadap jatuh cinta.
Mario beranjak dari tempatnya berdiri untuk duduk di kursi taman kampus. Ia bersiap untuk penantian 2 jam ke depan. Ya, 2 jam adalah waktu kuliah yang diambil gadis tadi. Mario akan menanti dengan sabar guna menyaksikan gadis menarik itu muncul dari kejauhan, mendekat ke arahnya, dan kemudian berlalu lantas pergi menjauh untuk kembali hilang di kejauhan. Mario menikmati hari-harinya. Ia sungguh nyaman dengan hanya memandang, mengamati, dan melakukan hal-hal lain dari kejauhan. Mario tahu benar, jatuh cinta tanpa tendensi memiliki akan tataran tertinggi dalam jatuh cinta.
Butir-butir pasir itu terhempas pilu. Air garam dalam jumlah dan tekanan yang besar datang menghampiri dan menerpa tanpa ampun. Hanya sisa debur yang membahana ke studio maha luas yang terhampar disana. Ada pula angin yang membelai lembut butir-butir pasir yang sudah terhempas tanpa ampun itu.
Kupandangi semua sudut dengan sendu. Mataku menyipit oleh terang. Cahaya terhampar begitu luasnya, tanpa dibatasi oleh apapun. Semuanya sampai ke mataku dan itu cukup menjadi alasan aku memicingkan mata. Tentunya, selain karena genangan air mata masih ada di sana, dalam jumlah yang cukup. Genangan itu sedang bersiap untuk tumpah.
Sudut demi sudut melintas di mataku lewat sebuah gerakan kepala melingkar. Ah! Selalu ada sudut yang siap menumpahkan genangan air mata yang volumenya semakin bertambah ini. Sebuah pondokan kecil, sebongkah batu besar, hingga sebiji kelapa yang terkapar manis di dermaga kecil. Tiga sudut itulah yang mampu meruntuhkan pertahanan akan genangan yang ada di kelopak mataku.
Terang perlahan meredup. Sebuah bongkahan kuning kemerahan tampak di ujung horison. Ujung inilah yang membuat Colombus pergi mencari kebenaran. Ujung inilah yang terus dilihat Colombus dalam setiap pencariannya. Ujung yang ternyata tidak berujung. Sebuah silogisme yang lantas menjelma menjadi kebenaran.
Ujung itu pula yang aku lihat, ketika berada di pondokan kecil yang bersebelahan dengan batu besar sambil memegang kelapa muda. Waktu itu aku tidak sendiri, tidak pula beramai-ramai. Aku dan dia, berdua, terdiam menatap ujung yang sama.
“Jadi kita selesai?” tanyaku sambil menunduk dan memutar-muar buah kelapa yang sudah kosong itu.
“Iya, Mas.”
“Nggak ada kesempatan untukku memperbaiki sesuatu?”
“Nggak. Aku sudah kasih kesempatan itu, tapi kamu masih mengulanginya.”
“Yah, baiklah.”
Momen yang sama. Tiupan angin, debur air asin yang bergantian sampai ke daratan, suasana, hingga warna menjelang temaram. Semuanya sama. Bedanya, aku kini sendirian. Tidak ada si cantik itu lagi di sebelahku. Aku hanya sibuk mengingat-ingat peristiwa yang seharusnya tidak diingat. Untuk apa sebuah kejadian pahit itu diingat? Bukankah lebih baik aku bangkit dan memperbaiki diri serta melanjutkan hidup?
Kalaulah hidup ini semudah berkata-kata, pasti aku sudah melakoninya. Akan tetapi, jiwaku masih pada si cantik itu. Itulah sebabnya aku kembali ke pantai ini, pada waktu yang serupa, pada suasana yang sama, saat aku harus melepaskannya.
Objek kuning yang terang itu semakin redup ditelan horison. Gelap mulai menggantikan hadirnya. Sebuah pertanda untuk meninggalkan tempat ini, dan memulai kehidupan baru yang sebenarnya.
“Mas, kok disini?”
Aku mengenali suara itu dengan jelas.
“Kamu juga, kok disini?”
Si cantik ada disini, di tempat yang sama ketika ia memutuskan untuk berpisah denganku. Jantungku berdegup kencang, mendadak asa membuncah dalam diri.
“Ngobrol yuk!” ajakku.
Si cantik mengangguk. Sisa-sisa terang membuatku masih bisa melihat anggukannya. Aku beranjak dalam harapan baru. Pada saat yang sama, sang mentari menghilang di ujung horison untuk datang lagi esok hari.
Okelah, masih dengan pertanyaan, siapa saya sampai harus MELUPAKAN sebuah show. Ehm, ya begini-begini saya ini pernah-lah tampil di depan umum, mulai dari depan papan pengumuman sampai depan WC umum. Jadi adalah beberapa koleksi penampilan yang BENAR-BENAR HARUS DILUPAKAN. Lha, dilupakan kok malah ditulis disini.
Sebut saja itu anomali. Hehehehe..
So, ini dia..
1. Senandung Masa Puber (antara 2000 hingga 2001)
Sudah jelas lagi puber, sudah jelas tone suara menurun, masih pede jaya memilih lagu tinggi pas sesi menyanyi di kelas. Mau tahu lagunya? Yakin mau tahu? Bener?
“Kita jadi bisa, menulis dan membaca, karena siaaaaapaaaa…”
Dan di bagian terakhir yang meninggi itulah, saya slip sakpole ngisin-ngisini. Malu, malu, malu. Hahaha..
2. Anak Yang Hilang (juga sekitar 2000 hingga 2001)
Ide lomba dramatisasi kisah anak yang hilang versi kitab suci bagi saya merupakan ide yang terkutuk. Lebih terkutuk lagi ketika kemudian rayon St. Matheus yang notabene mengambil nama santo pelindung ketua rayon yang sejatinya adalah Bapak saya sendiri, kemudian memilih SAYA sebagai lakon utama: SI ANAK YANG HILANG!
Dan memang dasar saya nggak bisa akting, penampilan di aula yayasan prayoga itu kemudian menjadi derita sepanjang hayat. Mana nggak menang pulak. Sesudah turun panggung, rasanya saya mau hilang dari peredaran dunia saja.
3. Tentara Ora Cetho (tahun 1996)
Ini ceritanya class meeting, lalu bikin drama-dramaan gitu. Nah, kelas VA waktu itu juga ikut bikin drama perang. Dan syukur alhamdulilah saya didaulat main, SEBAGAI FIGURAN.
Dan yang paling mengenaskan dari penampilan ini adalah… saya sendiri nggak nemu inti ceritanya apa, kenapa saya ada, kenapa saya lewat, dan kenapa tanpa ditembak tiba-tiba tangan saya terbalur obat merah tanda habis kena tembak.
Sebuah misteri sampai sekarang, beneran!
4. Romo Ono Maling (sepertinya sih 2008)
Tampil total dengan make up di event sebuah kelompok agama di kampus, saya takjub melihat ekspresi masyarakat yang nonton dengan penampilan don dap dap yang dibawakan. Lha, sebagai kelompok paduan suara yang punya fans, kita nggak biasa mendapati orang melongo diam tanpa tepuk tangan ketika tampil *songong session dimulai kembali*
Makin parah ketika kemudian disuruh tampil lagi, dan dibawakanlah lagu ROMO ONO MALING.
Masih suram suasananya. Lha saya bingung, ini pada pernah nonton paduan suara belum je? Akhirnya lagu ROMO ONO MALING ini diakhiri dengan akting Budi sebagai maling yang lari dan dikejar sama yang lain. Nah, sesi berlari ke belakang ini benar-benar dimanfaatkan sebenar-benarnya untuk lari. Lari malu. Huhuhuhu…
5. Victorious (Oktober 2009)
Jauh-jauh diongkosi ke Jakarta untuk nyanyi, dikasih baju bagus, diinepin di hotel Shantika. Untuk apa? Untuk nyanyi. Ini kemajuan besar karena selama ini paling mentok saya nginap di rumah retret. Jadi begitu nemu hotel yang pintunya pakai kartu, berasa ajaib gitu.
Sebenarnya sudah gamang karena tampil tanpa dirigen. Tapi karena personel dikit jadilah. Tampil di sebuah teater baru milik kantor. Membawakan lagu karangan manager Finance dalam rangka ultah ke-40 kantor yang baru 5-6 bulan saya masuki.
Sebenarnya sudah oke. “Thanks to God, today we celebrate… bla..bla…”
Tetap oke sampai kemudian ketika sebuah interlude menjelang refren penutup tiba-tiba berubah menjadi ending. Ini ibarat ngejar kereta lalu tiba-tiba keretanya cling ilang, bukan lari. Musiknya benar-benar stop pas interlude dan dinamika lagu jadi buyar. Mood buyar pula. Dan ya sudah. BUBAR JALAN.
Maka lagu berikutnya “Cup Mailang” kemudian menjadi pelengkap performa yang sempat membuat saya trauma menyanyi di depan umum itu. MALUNYA ITU LHO!
Yah, sudahlah.. Namanya juga harus dilupakan.. Hehehehe…
Stalking twitter GagasMedia ketemu ini, kalau mau sila lihat sendiri, saya mau mengkompilasi saja versi Christian Simamora (ini abang saya bukan ya?)
1. Tema menarik/baru/sesuai dengan target pembaca
2. Bab awal menarik perhatian pembaca
3. Karakterisasi kuat dan dikembangkan dengan baik
4. Setting cerita (setting tempat, waktu) hidup dan mendukung cerita
5. Plot rapi dan menuruti logika pembaca
6. Konflik dan solusi masuk akal/logis
7. Porsi deskripsi dan narasi diatur baik
8. Dialog tidak bertele-tele, hidup, dan bukan repetisi
9. Gaya penulisan dan pemilihan diksi menarik
10. Ending memuaskan (fokus membentuk keutuhan cerita)
11. Memperhatikan efektivitas kalimat dan ejaan berbahasa
12. Memiliki nilai tambah yang bermanfaat bagi pembaca
13. Tren/update dalam cerita.
Kan sudah saya bilang, jiwa pertemanan saya itu tinggi *songong mode on* jadi ya sedikit-sedikit ada lah melakoni beberapa perjalanan untuk menunjukkan bahwa saya adalah teman yang baik *apa sih*. Nah berikut ini, saya pilih 5 perjalanan ketika saya “menjadi teman yang baik”. Hahahaha..
1. Wonosari (akhir 2007 atau 2008, saya lupa)
Jadi ceritanya, teman saya BBC punya pacar (sekarang istri) namanya CSA. Si CSA pulang ke rumah dengan bis dan hendak balik membawa motor dan nggak boleh bawa motor sendiri dari Wonosari. Jadilah Bapaknya CSA bilang supaya BBC yang mengambil motor itu.
Dan muncullah request ke saya, anterin ke Wonosari.
Hmmm, jadi deh Bang Revo saya yang kinyis-kinyis dibawa melaju ke Wonosari di sebuah tempat berinisial K. Hahaha..
Akhirnya?
Ya karena requestnya adalah mengambil motor, jadi deh, saya di belakang mengikuti pasangan pacaran ini dari belakang. Hmmm, semacam bikin pengen.. Hahahaha..
2. Pengantar Ke Bandara (sepertinya sih 2011)
Pak DJ, seperti biasa, 2 pekan sekali mengunjungi istri ke Jakarta. Waktu itu masih pasutri LDR. Nah, pada suatu pagi, saya bangun tidur lalu ke WC. Pulang-pulang dari WC (apa coba…), saya mendapati 2 missed call dari Pak DJ. Lha aneh, dia kan flight jam 6, kenapa jam segitu malah telepon?
Lalu saya telepon balik.
Dan ternyata, Pak DJ telat bangun! Hangus deh itu tiket. Jadilah saya mengantar Pak DJ ke bandara karena supir pribadinya (Koko Aliem) harus masuk di hari Sabtu.
Lumayan, ditraktir makan sama Pak DJ yang selalu baik hati kalau urusan traktir. Hehehe..
3. Kondangan Boris (1 Januari 2012)
Ini sampai dimarahin emak, sampai bikin Pak Uda Wilson tidak berulang tahun bersama keluarga pula. Tapi demi pertemanan, apa sih yang nggak? Hehe..
Jadi ceritanya, entah bagaimana pilihannya, si Boris nikah tanggal 1 Januari, padahal seminggu sebelumnya saya bertualang di belantara Sumatera. Hasrat ingin bertemu banyak teman akhirnya membuat saya mengambil opsi apik.
First flight dari Padang dan sampai Jogja jam 11, masih dapat resepsinya. Dan pakai Garuda agar ketepatan waktunya terjamin.
Dampaknya?
Jam 3 pagi, di dinginnya dini hari, saya berangkat dengan ortu dan Pak Uda dari Bukittinggi. Tapi seru juga sih. Seumur-umur baru itu bermalam tahun baru di jalan Bukittinggi-Padang. Di Jogja-nya ketemu banyak teman lama pula.
Joss!
4. Apartemen Merah (suatu hari di awal 2009)
Transaksi jual beli motor BE Robert sudah dilakukan di Lampung. Tinggal serah terima fisik yang belum. Nah, untuk keperluan ini, Robert perlu bantuan diantarkan menuju ke pembeli, seorang maba asli Lampung.
Jadi deh saya lagi yang kena.
Bang Revo yang tentunya mulai tumbuh dewasa ikut mengantar si BE Robert ini. Janjiannya di depan Apartemen Merah, Jogja. Semacam transaksi apa pula ini, sampai pakai janjian di suatu tempat terbuka pula.
Akhirnya?
Motor penuh kenangan (yang pernah saya putuskan tali gasnya itu) beralih tangan. Robert lantas jadi tuna motor. Minjam motor kemana-mana.
5. Jus Jambu Untuk Boni (suatu waktu di 2009)
Nasib seorang BCP adalah langsung opname pada kesempatan pertama. #eaaaa
Sebagai sesama sebatang kara di perantauan bumi Sriwijaya, saya dan Ando plus Agung ikut sibuk dengan opname-nya BCP. Salah satu yang utama adalah mengurus surat pertanggungan pembayaran dari kantor, dan tentu saja memberikan kebutuhannya.
Mulai dari membawakan pakaian hingga minuman-makanan.
Dan karena diagnosanya DBD, maka opsinya adalah membelikan jus jambu. Mudah?
Ternyata nggak!
Berkeliling ke beberapa mini market (waktu itu di Palembang belum ada -mart) nggak ada. Nyari di JM Kenten pun tak ada (which is itu adalah pertama dan sekali-kalinya saya masuk JM Kenten). Akhirnya putar sana, putar sini, jam besuk lewat.
Untunglah, kita membawa kartu keluarga penunggu. Jadi meskipun sudah nyaris jam 9, masih bisa masuk. Ya maaf kata, anak DSP itu sibuk cuy, jadi baru bisa pulang jam 7-an. *nggaya mode on lagi*
Tentu banyak kisah lainnya, tapi ini yang saya pilih sebagai 5 perjalanan ketika saya mencoba menjadi teman yang baik 🙂
Hiyah, nggaya bener. Hidup belum lama, traveling belum kemana-mana, pake nggaya nulis beginian. Eh, tapi saya ini ya termasuk kadang-kadang jalan-jalan ya. Jadi, ada lah beberapa perjalanan yang buat saya lantas berlangsung absurd. Entah absurd jadinya, prosesnya, atau apapun itu. Tapi, meski absurd, saya harus BERSYUKUR pada Tuhan, bahwa saya masih selamat. Itu yang jauh lebih penting 🙂
1. Perjalanan Berangkat Merantau (29 Juni – 2 Juli 2001)
Ini bukan pertama kali saya melakoni perjalanan jarak jauh, tapi paket komplet perjalanan berangkat merantau ini otomatis menjadi salah satu perjalanan paling DIINGAT dalam hidup saya. Dimulai dari Jumat siang yang sedih, saya naik Gumarang Jaya dari Bukittinggi bareng Bapak. Mobil berlogo kuda ini akan membawa saya ke Jakarta. Nah, keesokan harinya sampailah di Pulau Jawa, dan hampir tengah malam ketika kemudian saya tiba di terminal Kampung Rambutan.
sumber: google maps
Dari terminal ini, saya dan Bapak naik bis entah-apa-namanya ke Cirebon, waktu itu mau mampir ke tempat Pakde sebelum lanjut ke Jogja. Bis dari Cirebon ini formasi 3-3, entah masih ada atau tidak di jaman sekarang ini. Udah kotor, buluk, banyak pengasong, banyak yang ngerokok pula. Lengkap deritanya.
Sampai Cirebon dini hari dan lantas menuju tempat Pakde.
Nah, sisi paling absurd dari perjalanan ini adalah waktu step terakhir hendak menuju Jogja. Saya dan Bapak naik kereta api entah-apa-namanya dari Stasiun Cirebon dengan tiket bisnis. Saya sih curiganya ini Senja Utama, tapi pastinya lupa.
Kelas boleh bisnis. Ketika itu kereta nyampe, sama sekali nggak ada tempat duduk! Dan inilah salah satu momen ter-ghoib dalam hidup saya. Seorang anak unyu-unyu yang hendak menempuh pendidikan, terjongkok manis di sambungan antar gerbong sambil bersandar pada tas yang berisi barang bawaan dari Cirebon sampai Jogja.
Apa saya bisa tidur kalau begitu? Nggak! Dan ini salah satu momen saya berasa kalau jam itu nggak berputar sama sekali, saking nggak nyampe-nyampe-nya. Ya memang waktu nyampe-nya molor dari estimasi.
Dan belum cukup kegilaan ini, saya disuruh langsung mendaftar sekolah! Syukurlah saya tidak dites intelegensi, karena kejadian sebelumnya akan sangat berpengaruh pada kemampuan saya yang aslinya sudah pas-pasan ini *apa coba*
Dan syukurlah, lewat proses yang “tampak” mudah (karena amat sangat lancar sekali), saya diterima di SMA Kolese De Britto Jogjakarta 🙂
2. Perjalanan Menembus Erupsi (November 2010)
Ehm, ini perlu diceritakan nggak ya? Hahahaha.. Ah, namanya juga cerita. Toh, Tuhan itu menciptakan peristiwa itu pasti ada gunanya kan?
Jadi ceritanya sejak jauh-jauh waktu saya sudah izin cuti sama Pakbos untuk menghadiri wisudanya seseorang yang waktu itu jadi pacar saya. Bulan November wisudanya, saya izin dari awal September. Saking susahnya cuti kalau sama Pakbos. Huhuhu…
Mulai galau ketika saya beli tiket Palembang-Jogja, kok rasa-rasanya berat itu pas mbayar. Eh, ternyata mulai kerasa. Dua hari sesudah saya beli tiket, ada berita kalau gunung Merapi mulai beraktivitas tinggi hingga kemudian berita Mbah Maridjan tewas dilewati wedhus gembel dan segala berita lain sesudahnya.
Saya masih mencoba biasa saja, toh penerbangan belum ada masalah.
Apa iya? Iya, setidaknya sampai sebelum saya berangkat.
sumber; tribunnews.com
Jumat pagi jam 4 saya bangun dan siap-siap karena penerbangan pertama dari Palembang. Begitu menunggu Mas Sigit bangun, eh ada berita kalau Merapi baru meletus, terbesar selama berapa ratus tahun.
“Ow ow…”
Saya tetap berangkat, lha piye meneh. Penerbangan Palembang-Jakarta mulus pastinya, hingga sampai di ruang tunggu untuk transit ke Jogja.
“Penumpang sekalian, karena bandara di Jogja ditutup maka penerbangan dibatalkan.”
MATEK! Saya akhirnya memasuki fase mantap. Saya ikutan nongkrong sabar di depan loket Lion Air di terminal 1A Cengkareng. Saya sempat diwawancarai Bali TV. Dan saya capek. *halah*
Berikutnya saya capcus ke stasiun Senen untuk berharap ada tiket ke Jogja dari kereta tambahan, tentunya bersama kakaknya yang mau wisuda. *untung ada temennya* Akhirnya saya sampai Jogja pas di hari H, molor sehari. Hotel yang sudah dibayar akhirnya sia-sia semalam. Ya sudahlah. Sesudah menghadiri wisuda, saya segera ke stasiun beli tiket kereta, dampak dari firasat masih buruk. Saya dapat Senja Solo Extra. Padahal saya masih punya tiket pesawat Jogja-Palembang loh.
Ternyata saya benar! Minggu pagi saya dapat SMS kalau penerbangan dari bandara Jogja masih ditutup. Untung udah beli tiket. Tapi masalah belum kelar, saya kudu beli tiket baru Jakarta-Palembang supaya proses refund-nya ga ribet. Maklum, tiketnya Lion Air itu kan transit. Jadilah saya nggaya, beli tiket Jakarta-Palembang Garuda, 800 ribu. Hahaha.. *sok kaya*
Dari Jogja ke Senen mulus karena keretanya eksekutif. Saya lanjut ke Gambir dan dari sana ke bandara. Hmmm, kalau sadar urutannya, maka pasti kelihatan kalau saya belum mandi. Yak, saya adalah penumpang Garuda yang nggak mandi. Heuheuheu..
Mendarat di SMB II jam 12, sampai mess jam 13, saya langsung kerja. *maklum, pegawai teladan*
Selesai? Nggak juga, karena di bulan November itu saya kudu mati-matian bertahan hidup. Lha duit’e ntek kabeh je.. 😦
3. Kondangan Ke Belitang (Februari 2011)
Jiwa persahabatan saya memang tinggi. *congkak* Saking tingginya, waktu dinas ke Jakarta, saya sempatkan untuk langsung pulang ke Palembang pada flight terakhir karena besoknya mau pergi kondangan. Sampai Palembang itu sekitar jam 11 malam dan sebelum jam 6 sudah mau berangkat ke tempat yang katanya 6 jam jauhnya dari Palembang.
Kondangan ini didukung sama kantor dengan support mobil plus supir (Zul). Saya berangkat bersama Pakbos DJ, Koko Aliem, Koko Ahen (ini koko jadi-jadian), Pakbos Zae, dan Ando69 naik Kijang yang mirip punya ortu di rumah.
koleksi pribadi pake HP LG 🙂
Perjalanan ini panjang dan saya terpaksa nggak tidur (walau capek) karena harus meladeni obrolan asyik sepanjang jalan. Hahaha..
Sisi absurd-nya adalah ketika masuk Belitang. Kita-kita pada mikir kalau start gambar di undangan itu adalah jalan masuk Belitang. Ternyata….
“Abis ini ada nusa… nusa… nusa… baru nusa tenggara..”
Ebuset. Jauh aja ternyata!
Dan ternyata rumahnya itu memang masih jauh. Yah, peta yang mungil ini jadi tampak menipu. Hehehe.. *piss kak kus*
Sampai di tempat, rencana awal mau ikut misa udah nggak kekejar. Malah acara syukurannya udah mau kelar. Jadilah kita langsung ganti baju batik di dalam mobil dan kemudian turun lalu muntah-muntah eh salaman. Nongkrong 1,5 jam, lantas kita pulang. Rada nggak rela sebenarnya, masak 6 jam di jalan, di tempatnya 1,5 jam, apa kata dunia?
Dan ini menjadi satu-satunya perjalanan jauh di atas 12 jam pp yang saya tidak tidur sekejappun 🙂
4. Kantor Bernas-Rumah Simbah (2001)
Ini kayaknya pernah saya tulis di blog sini (kayaknya loh), waktu nulis soal Alfa. Ini terjadi waktu saya masih pakai sepeda dan masih jadi wartawan jadi-jadian di koran Bernas. Jadi ceritanya kumpul sabtu siang ke sore untuk pembekalan. Pulangnya udah malam gitu.
Nah, asyik-asyiknya saya mengayuh sepeda di sekitar UGM, tiba-tiba itu sepeda pedalnya los. Jadi mau diputer kayak gimana juga, nggak akan bikin rantainya ikut berputar.
Fuihhh, jadilah saya menuntun itu sepeda perlahan tapi pasti *pasti capek* menuju rumah simbah. Jadi ada agak 6-7 kilometer saya menuntun sepeda dengan baju seragam (waktu itu di JB hari Sabtu masih pakai seragam), dan itu terjadi di MALAM MINGGU. APA NGGAK BIKIN GALAU ITU? *keyboard mendadak caps lock semua*
5. Jogja-Wates (pada suatu hari di tahun 2007)
Ini mungkin paling absurd bagi saya dari sisi keamanan. Kenapa? Karena di perjalanan inilah saya pernah tidur sambil nyetir motor. Jadi ceritanya karena hasil pengundian abal-abal skripsi menujukkan sampling dan wawancara harus dilakukan di daerah Wates maka saya harus kesana. Anggota tim yang cewek ngekos disana. Saya dan Fandy nglaju.
Nah, kok ya pas skripsi ini, pas saya ada persiapan KPS Unpar di Bandung. Jadi, pas pulang dari ambil data *pasti capek lah wong keliling kampung* saya ikut latihan PSM *ini jelas nggak kalah capeknya*. Sampai kos tinggal tepar. Berikutnya? Besok bangun lagi, melakukan rutinitas yang sama.
Nah, yang tak tertahankan ketika pada hari kesekian, saya membawa Bang Revo dengan Fandy bonceng di belakang. Kalau pernah lewat Jalan Wates pasti tahu lurus-lurusnya mantap kan? Nah, ketika disitu, di sekitar Rewulu saya merasakan mata saya menjadi berat… berat… berat… dan lalu merem 1-2 detik.
Lanjut melek dikit, eh berat lagi.. merem lagi sejenak. Dan itu motor masih melaju 70-80 km/jam. Sampai sekarang saya bingung soal ini. Itu kenapa kalau jalan jauh saya prefer pakai headset. Setidaknya saya bisa nyanyi-nyanyi supaya nggak merem.
Hehehe..
Sebenarnya ada banyak perjalanan lain, mulai dari mengantar teman ke tempat pacarnya, perjalanan sama anak dolan-dolan, dan lainnya. Tapi ini adalah 5 kisah terpilih untuk kategori ABSURD. Hahahahaha… 😀
Di awal-awal kehidupan baru blog ini, saya sempat menulis soal DIRIGEN. Ceritanya mau kritik plus refleksi. Dan itu sudah lama. Dirigen yang itu di Sanfrades Palembang, dan kini saya sudah di Cikarang.
Dan, yak, saya kena batunya.
Kenapa?
Menjadi dirigen itu nggak mudah, bahkan cenderung sulit. Makanya saya bilang, jadi dirigen itu sulit loh!
Okeh, hal ihwal pertama saya mengenal soal dirigen itu adalah waktu kehabisan air di rumah karena PAM mati. Eh, itu jeringen. Maaf, salah.
Dulu banget, karena saya anak rajin yang bakal ‘habis’ kalau malas-malasan ke gereja, maka saya selalu bertemu sosok dirigen di hari minggu. Lantas juga di sekolah. Dan saya bingung, sebenarnya ini orang ngapain sih. Pakai acara menggoyang-goyangkan tangannya segala. Buat apa?
Percaya atau tidak, saya baru paham makna dan guna dirigen itu di kelas 2 SMP, sewaktu kelas 2A memenangkan lomba vokal grup se-Xaverius dengan lagu ‘Keliru’ dari Ruth Sahanaya. Hehehe… What a… Bisa jadi itu memalukan, tentunya memalukan karena kedua orang tua saya adalah dirigen rutin di gereja 😦
Sesudah itu saya mulai paham makna dirigen itu mengarahkan ketukan, menunjuk bagian mana yang hendak dinyanyikan, dan cuma sebatas itu. Baru ketika di-dirigen-i Mbak Ina, saya mulai tambah sadar gunanya dirigen itu ke arah ‘roh’ sebuah lagu yang lantas disebut DINAMIKA.
Dan anda harus percaya bahwa saya menyadari itu pada saat kuliah semester 2.. *tambah memalukan*
Dan berikutnya saya join ke PSM CF. Disinilah mulai intensif ketemu lagu, dinamika, tempo, dan tetek bengek lainnya *kasiannya sampe bengek*
Sesekali Mas Mbong waktu latihan juga memberikan teori musik. Nah, disitulah saya sedikit-sedikit belajar soal beda ketukan 4/4 dengan 3/4, dan berbagai ilmu lain yang dulu ketika SMP benar-benar saya abaikan karena emang nggak suka. *nyesel itu selalu belakangan*
Tugas demi tugas membuat saya semakin paham pentingnya dirigen dalam menyanyi. Apalagi kemudian di tahun 2009, saya mendapat insiden memalukan yang bikin nyaris trauma. Waktu itu nyanyi ber-10, tanpa dirigen! Dan benar-benar mati gaya. Alamak!
Berjalan dan terus berjalan, entah bagaimana cerita, tiba-tiba saya menjadi dirigen untuk tugas koor lingkungan.
*langsung pingsan*
Yak, tanggal 8 kemarin saya berdiri di atas podium 20 cm dan menggoyang-goyangkan tangan. Sesuatu yang belasan tahun silam saya anggap nggak bermakna. Sesuatu yang perlahan saya pahami di usia yang sudah sangat terlambat. Sesuatu yang 1,5 tahun lalu saya kritik.
Ya begitulah. Apalagi, si newbie ini bertemu langsung dengan lagu-lagu berketukan 2/2 (pembukaan), 3/4 (kudus), 2/4 (TK), dan baru ketemu 4/4 di persembahan. Salah ngabani pulak. Heleh.
Yak, begitulah. Saya mengenal soal paduan suara saya sudah terlambat. Mengenal not juga terlambat. Mengenal musik dan dinamika, apalagi, terlambat banget. Tapi entah kenapa, Tuhan Yang Maha Baik itu selalu memberi dengan tepat. Ya, tepat. Saya nggak akan bisa jadi dirigen kalau belum belajar curi-curi dari Mbak Ina, Ulit, Cik Lan, Mas Mbong, Bu Jin, Babi, Oon, sampai Santo. Saya nggak akan ngerti beda 4/4 dan 3/4 kalau nggak ikut latihan PSM. Dan dikasihnya sekarang ini. Kesempatan yang mungkin hanya akan terjadi 1 kali seumur hidup saya, karena apa? Hehehe.. Ada deh..