“Kukuruyukkkkkk…”
Ah, pagi! Di era modern ini mungkin ayam asli sudah tidak berkehendak untuk berkokok subuh-subuh. Untunglah ada alarm yang punya bunyi seperti suara klasik pembangun tidur itu. Semata hendak mengenang masa lalu, maka bunyi itu yang kupilih untuk alarmku.
Aku berguling lemas, ini sama saja dengan pagi-pagi lainnya. Malas.
Yah, dulu pagiku penuh warna di ibukota, sampai kemudian sebuah perusahaan di kota ini menawariku pindah. Bosan dengan hiruk pikuk ibukota, akupun terbujuk.
Apa iya itu alasanku?
Tidak juga. Hal yang utama, karena Dila bekerja di kota ini. Mungkin menjadi hal absurd bagi seorang eksekutif muda berkarier gemilang memutuskan pindah dengan mempertimbangkan seorang gadis yang dicintai secara diam-diam.
Absurd? Bisa jadi. Akan tetapia aku percaya, dalam cinta, semua hal ada logikanya, termasuk hal absurd sekalipun.
Pagiku perlahan menjadi suram karena perlahan asa untuk mencintai itu semakin pudar. Dila bahkan memutuskan komunikasi denganku tanpa aku tahu sebabnya.
“Ilfil kali sama lu. Lagian, karier udah bagus-bagus disini, pake acara pindah gara-gara gebetan. Otak lu kemana bro?”
Demikian Joni, partnerku di tempat lama, pernah bilang kepadaku.
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu apartemenku diketuk. Ah, siapa pula yang datang sepagi ini. Bahkan ini belum jam 7 pagi.
Sejak Dila memutuskan komunikasinya denganku, aku sungguh tanpa daya. Malas adalah nama tengah di setiap aktivitas yang aku lakoni. Semuanya berjalan, tapi tanpa jiwa. Semuanya selesai, tapi nyaris tanpa makna. Syukurlah aku masih bisa menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik, meski tanpa jiwa dan makna.
Malas itu merembet sampai ke pagi hari. Bergerak adalah kesulitan terbesar bagiku di pagi hari. Aku lebih baik berguling kesana kemari alih-alih berdiri dan menuju pintu.
Tok.. Tok.. Tok..
Ya ampun! Aku menggerutu pahit. Ini sungguh menggangguku. Jadilah aku menyeret badanku menuju pintu yang sebenarnya tidak cukup jauh dari tempat tidurku. Kuusap wajahku sekilas, siapa tahu kotoran-kotoran selama tidur bisa berkurang sedikit.
Tok.. Tok.. Tok..
“Sebentar,” gerutuku.
Tanganku menggapai gagang pintu, kantuk membuatku lupa mengintip terlebih dahulu di lubang yang ada di pintu apartemenku.
Ayunan tanganku dengan ringan membuat pintu bergerak, menuju arahku, dan itu sama saja dengan terbuka. Pintu itu terbuka, memperlihatkan objek yang tidak aku kira sama sekali.
“Kamu? Ngapain?”
“Hai! Mau sarapan bareng?”
Tiba-tiba otakku memainkan sebuah film pendek, menutup semua fakta yang berdiri di sekitarku. Film pendek itu bernama kenangan.
“Mas, tukeran mau nggak?” ujar Dila, yang berdiri persis di sebelahku.
“Curang. Hmm, ya udah, sini.”
Aku dan Dila lantas bertukar beban. Latihan fisik paduan suara ini begitu beratnya sehingga setiap orang harus membawa beban untuk dibawa sambil bernyanyi. Dan terkadang bebannya tidak tanggung-tanggung, bisa 3 buah barbel dimasukkan ke dalam tas.
Parahnya lagi, beban itu harus dipertukarkan antar anggota paduan suara.
“Baik hati sekali kamu, Mas,” kata Dila sambil mengunyah pecel lele. Aku dan Dila makan bersama sepulang latihan yang gila itu.
“Yah, apa sih yang nggak buat Dila.”
“Gombalnya kamu, Mas.”
Dila yang cantik ini selalu ada di dekatku, karena memang aku selalu berusaha mendekat. Tapi tak sedikitpun aku berani bertindak lebih selain dekat dan perlahan menjadi sosok kakak bagi Dila.
Dila yang sama yang menjadi pertimbanganku
Film pendek bernama kenangan itu perlahan memudar dan menjelma menjadi sebuah kenyataan. Dila persis berdiri di depanku, ngajak sarapan pula.
“Mas? Mas? Kamu sadar nggak sih?”
Dila bertanya menyelidik. Sebuah tanya yang pasti keluar karena melihat tampangku yang absurd. Senyum mengembang, tatapan kosong menarawang. Ah, aku yakin siapapun yang berada di posisiku, pasti akan berlaku serupa.
“Mas? Mas?”
Dan Dila masih terus bertanya.