Monmap kalau judulnya sangat tidak SEO-able, semata-mata karena itu adalah kutipan asli dari sebuah grup WhatsApp yang berisi mamak-mamak penuh kesibukan. Oh, tentu saja, saya rapikan sedikit supaya asyik dijadikan judul. Kalimat ini adalah pemicu saya menuliskan sesuatu di blog yang tadinya mau ganti tagar jadi #BlogBapakMillennial, tetapi kesibukan menjadi bapak sekaligus urgensi untuk mencari uang dari platform yang user generated content menjadi lebih tinggi. Heuheu.

Kalimat yang menjadi judul tulisan ini tentu sangat akrab bagi para millennial, terutama yang menjadi orangtua. Bukan apa-apa, data menyebutkan bahwa ada setidaknya 2 juta angkatan kerja perempuan di DKI Jakarta pada tahun 2015. Tahun 2018 tentunya nambah. Saya tadinya mau unduh data BPS, kok suruh bayar. Bapak millennial macam saya mending beli popok daripada bayar data BPS. Wong tulisan ini belum tentu viral juga.
Dari data itu ketahuan bahwa sangat banyak para orangtua millennial yang tidak mengasuh anaknya sehari-hari. Ya, termasuk saya dan istri. Artinya, anak akan diasuh oleh orang lain dan judul tulisan ini menjadi salah satu isi hati para orangtua, kepada siapapun anaknya dititipkan. FYI, BPS membagi pilihan pengasuhan anak jadi 10 yakni dititipkan ke ayah, kakak, kakek atau nenek, famili seperti bibi atau sepupu, baby sitter, Asisten Rumah Tangga, Tempat Penitipan Anak, tetangga, lainnya (misal: dititipkan ke teman atau ke orang lewat), serta pilihan terakhir yang tampak tidak manusiawi: ditinggal sendiri. Ngerik.
Kalimat “Itu Pasti Dibuangin, Soalnya Kalau Sama Saya Makannya Nggak Pernah Habis” menjadi wujud suudzon orangtua, justru pada achievement anaknya. Ya, orangtua nggak percaya kalau anaknya makan banyak dengan standar dirinya sendiri. Egois.
Benar bahwa sebagian pembantu atau TPA alias daycare yang kurang telaten. Bahkan saya juga kadang-kadang sama buruknya. Ada suatu waktu saat anak saya tidak mau makan dan menyuapinya sudah jauh lebih pelik daripada mengurusi pejabat, akhirnya makanannya saya makan saja. Kelar urusan. Akan tetapi, fakta bahwa anak bisa makan lahap bersama orang lain sementara sama mamaknya sendiri tidak adalah sesuatu yang biasa dan sama sekali tidak layak menjadi bahan suudzon.
Di daycare Istoyama, misalnya, saya mendapati laporan yang bervariasi setiap harinya. Ketika mamaknya Isto ke Korea seminggu lamanya, otomatis saya yang memantau tumbuh kembang si gundul berpipi gembul itu. Untuk parameter ‘habis separo lebih, tapi nggak habis-habis banget’, aunty di tempat Isto bahkan pernah menggambar profil proporsi sisa makanan. Kira-kira begini:
Sama ketika ada si Utin Sutini, bibik lulusan Kuwait dan Qatar yang lebih memilih menikah dengan Mas Aji daripada bekerja dengan saya–ya iyalah. Hampir selalu makanan Isto habis, sementara kalau disuapin emaknya, boro-boro. Persis juga ketika Isto ditinggal dengan eyangnya atau opungnya. Laporannya juga mayoritas habis.
Poinnya adalah bahwa laporan makanan habis dari aunty di daycare atau dari pembantu bukan selalu berarti itu makanan dibuang. Mungkin malah mamak-mamak yang berpikir demikian, perlu membuang kedengkiannya terlebih dahulu.
Mari berhitung. Dari 7 hari dalam seminggu, 5 hari dititpkan. Artinya, dari 21 kali makan dalam seminggu, 15 kali makan bukan sama orangtua. Ini dengan estimasi dua hari weekend itu benar-benar dipegang orangtua lho yha. Jadi bandingkan 6 kali makan dengan 15 kali makan. Ya si bayi jelas lebih terbiasa suasana makan tidak bersama orangtuanya.
Selain itu, coba refleksikan deh. Rata-rata yang namanya orangtua itu nggak sabaran. Maunya anak makan, lahap, kenyang, ginuk-ginuk, lucu, dan seterusnya. Padahal, orangtuanya sendiri juga nggak selalu punya selera makan. Butuh kesabaran ekstra dalam memberi makan bayi dan rata-rata itu tidak dimiliki secara paripurna oleh orangtua. Begitu anak dilaporkan makan lahap, malah ada orangtua curiga. “Jangan-jangan itu dibuangin.”
Maka, kepada orangtua yang tanpa punya informasi memadai dan kemudian punya pemikiran seperti ini, saya punya beberapa saran:
1. Coba Titip Anakmu Dengan Yang Lain
Ya, entah daycare lain atau bibik lain, coba saja sekali-kali ganti. Hipotesis saya, sih, nggak akan ada bedanya. Anak akan makan dengan lahap bersama orang yang bukan orangtua. Tapi kalau mau coba ya monggo.

2. Asuh Sendiri Anakmu
Risiko jadi orangtua bekerja ya harus percaya kepada siapapun yang kita titipi. Prinsipnya, kita yang butuh. Bukan berarti karena kita sudah membayar sejumlah uang, berarti kita bisa semena-mena. Kalau memang tidak ada yang bisa dipercaya, ya sudah resignlah, asuh anakmu sendiri.

Yha, sebagai orangtua millennial, sudah tentu pemikiran kita terbagi. Memiliki suudzon tinggi seperti halnya judul tulisan ini, sesungguhnya hanya akan menambah beban pikiranmu belaka. Kalau saya, selagi memang kita percaya sama yang kita titipi, ya sudah. Jangan bebani diri dengan suudzon berlebihan, apalagi tanpa bukti. Monmap, saya auditor jadi bukti adalah yang utama, bahkan buktinya harus yang material supaya jelas suatu kesalahan itu sistematis dan bukan kealpaan. Jadi, marilah kita menikmati indahnya jadi orangtua millennial dengan isi otak yang lebih tenang. Apalagi ini bulan puasa.