Jadi Dirigen Itu Sulit, Jenderal!

Di awal-awal kehidupan baru blog ini, saya sempat menulis soal DIRIGEN. Ceritanya mau kritik plus refleksi. Dan itu sudah lama. Dirigen yang itu di Sanfrades Palembang, dan kini saya sudah di Cikarang.

Dan, yak, saya kena batunya.

Kenapa?

Menjadi dirigen itu nggak mudah, bahkan cenderung sulit. Makanya saya bilang, jadi dirigen itu sulit loh!

Okeh, hal ihwal pertama saya mengenal soal dirigen itu adalah waktu kehabisan air di rumah karena PAM mati. Eh, itu jeringen. Maaf, salah.

Dulu banget, karena saya anak rajin yang bakal ‘habis’ kalau malas-malasan ke gereja, maka saya selalu bertemu sosok dirigen di hari minggu. Lantas juga di sekolah. Dan saya bingung, sebenarnya ini orang ngapain sih. Pakai acara menggoyang-goyangkan tangannya segala. Buat apa?

Percaya atau tidak, saya baru paham makna dan guna dirigen itu di kelas 2 SMP, sewaktu kelas 2A memenangkan lomba vokal grup se-Xaverius dengan lagu ‘Keliru’ dari Ruth Sahanaya. Hehehe… What a… Bisa jadi itu memalukan, tentunya memalukan karena kedua orang tua saya adalah dirigen rutin di gereja 😦

Sesudah itu saya mulai paham makna dirigen itu mengarahkan ketukan, menunjuk bagian mana yang hendak dinyanyikan, dan cuma sebatas itu. Baru ketika di-dirigen-i Mbak Ina, saya mulai tambah sadar gunanya dirigen itu ke arah ‘roh’ sebuah lagu yang lantas disebut DINAMIKA.

Dan anda harus percaya bahwa saya menyadari itu pada saat kuliah semester 2.. *tambah memalukan*

Dan berikutnya saya join ke PSM CF. Disinilah mulai intensif ketemu lagu, dinamika, tempo, dan tetek bengek lainnya *kasiannya sampe bengek*

Sesekali Mas Mbong waktu latihan juga memberikan teori musik. Nah, disitulah saya sedikit-sedikit belajar soal beda ketukan 4/4 dengan 3/4, dan berbagai ilmu lain yang dulu ketika SMP benar-benar saya abaikan karena emang nggak suka. *nyesel itu selalu belakangan*

Tugas demi tugas membuat saya semakin paham pentingnya dirigen dalam menyanyi. Apalagi kemudian di tahun 2009, saya mendapat insiden memalukan yang bikin nyaris trauma. Waktu itu nyanyi ber-10, tanpa dirigen! Dan benar-benar mati gaya. Alamak!

Berjalan dan terus berjalan, entah bagaimana cerita, tiba-tiba saya menjadi dirigen untuk tugas koor lingkungan.

*langsung pingsan*

Yak, tanggal 8 kemarin saya berdiri di atas podium 20 cm dan menggoyang-goyangkan tangan. Sesuatu yang belasan tahun silam saya anggap nggak bermakna. Sesuatu yang perlahan saya pahami di usia yang sudah sangat terlambat. Sesuatu yang 1,5 tahun lalu saya kritik.

Ya begitulah. Apalagi, si newbie ini bertemu langsung dengan lagu-lagu berketukan 2/2 (pembukaan), 3/4 (kudus), 2/4 (TK), dan baru ketemu 4/4 di persembahan. Salah ngabani pulak. Heleh.

Yak, begitulah. Saya mengenal soal paduan suara saya sudah terlambat. Mengenal not juga terlambat. Mengenal musik dan dinamika, apalagi, terlambat banget. Tapi entah kenapa, Tuhan Yang Maha Baik itu selalu memberi dengan tepat. Ya, tepat. Saya nggak akan bisa jadi dirigen kalau belum belajar curi-curi dari Mbak Ina, Ulit, Cik Lan, Mas Mbong, Bu Jin, Babi, Oon, sampai Santo. Saya nggak akan ngerti beda 4/4 dan 3/4 kalau nggak ikut latihan PSM. Dan dikasihnya sekarang ini. Kesempatan yang mungkin hanya akan terjadi 1 kali seumur hidup saya, karena apa? Hehehe.. Ada deh..

🙂

Advertisement

One thought on “Jadi Dirigen Itu Sulit, Jenderal!”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.